NovelToon NovelToon
Dinikahi Cowok Cupu

Dinikahi Cowok Cupu

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Asma~~

​Calya, seorang siswi yang terpikat pesona Rion—ketua OSIS tampan yang menyimpan rahasia kelam—mendapati hidupnya hancur saat kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan Aksa. Aksa, si "cowok culun" yang tak sengaja ia makian di bus, ternyata adalah calon suaminya yang kini menjelma menjadi sosok menawan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asma~~, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

Aksa dan Calya kini sudah berada di dalam kamar. Gelap, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang samar-samar menembus jendela kaca yang basah. Wajah Aksa sudah merah padam, dan ia memunggungi Calya, mencoba menormalkan detak jantungnya yang menggila. Ia bisa mendengar Calya membuka lemari pakaiannya dan mengambil handuk.

​"Awas, jangan ngintip!" Suara Calya terdengar tegang, sebuah perpaduan antara kemarahan dan rasa malu.

​Aksa menelan ludah. "aku enggak ngintip," jawabnya, suaranya sedikit serak. "kamu pikir aku segitu kurang ajarnya? Santai aja, Cal."

​Di belakangnya, Calya mendengus kesal. Ia menggigit bibirnya, berusaha menutupi rasa canggungnya. Ia merasa bodoh. Di tengah semua kemalangan ini, ia harus berganti pakaian di depan pria yang ia benci. Namun, ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Aksa adalah satu-satunya orang yang ada di sini untuknya. Ia merasakan pandangan Aksa, meskipun ia tahu pria itu tidak benar-benar melihatnya. Ia merasa Aksa sedang melindunginya, dan perasaan itu membuatnya bingung.

​Aksa, di sisi lain, berusaha keras untuk tidak berbalik. Pikirannya melayang. Ia membayangkan Calya, kemeja basahnya, dan kulitnya yang dingin. Ia bisa saja berbalik dan melihatnya, tapi ia tidak mau. Ia tidak ingin mengambil keuntungan dari situasinya. Ia hanya ingin Calya merasa aman. "Udah selesai?" tanyanya, mencoba mengalihkan pikirannya.

​"Belum," jawab Calya singkat. Ia bisa merasakan kehangatan dari Aksa. Pria ini, yang ia anggap "culun", ternyata tidak seperti yang ia bayangkan.

Pria ini, yang ia maki-maki di bus, kini menjaganya, melindunginya dari petir dan kegelapan, bahkan dari dirinya sendiri.

​Hening kembali menyelimuti mereka. "Kenapa lo lakuin ini?" tanya Calya tiba-tiba, suaranya pelan dan penuh keraguan.

​Aksa terdiam. Pertanyaan itu membuatnya sadar. Ia memejamkan mata. "Karena kamh butuh, Cal," jawabnya. "aku enggak bisa biarin kamu sendirian di luar sana. Apalagi kamu lagi kayak gini."

​"Lo... enggak takut?"

​Aksa tersenyum tipis. "aku lebih takut kamu kenapa-napa dari pada takut sama amukan kamu, Cal," jawabnya, suaranya tulus.

​Calya terdiam. Ia baru saja selesai berganti pakaian, mengenakan kaus kebesaran Aksa dan celana pendek yang nyaman. Tiba-tiba, ia merasa semua beban yang ia pikul seharian ini lenyap. Ia berjalan mendekat ke arah Aksa, membiarkan Aksa membalikkan badannya. Mereka berhadapan.

​"Kenapa?" tanya Aksa.

​Calya hanya menatapnya, ada genangan air mata di matanya. "Makasih," bisiknya. Itu adalah satu-satunya kata yang bisa ia ucapkan. Di dalam hatinya, ia merasa sedikit lega, dan entah mengapa, ia merasa ada secercah harapan.

...----------------...

Mereka kini duduk di sofa. Calya meringkuk di satu sisi, sesekali tersentak setiap kali suara petir bergemuruh di luar. Aksa, di sisi lain, tampak tenang, matanya fokus pada buku di pangkuannya. Ia sesekali melirik Calya, memastikan wanita itu baik-baik saja, lalu kembali membaca.

​Calya memandanginya. Cara Aksa memegang buku, kerutan di dahinya saat membaca, dan keseriusan di wajahnya. Pemandangan itu tiba-tiba membuat bayangan lain muncul di benaknya: Rion yang dengan sengaja menjegal kaki Aksa, membuat pria itu jatuh tersungkur. Rasa bersalah menusuknya. Ia ingat bagaimana para siswa menertawakan Aksa, dan bagaimana ia, yang seharusnya menolongnya, malah menarik tangan Rion dan pergi. Ia merasa sangat malu.

​Calya menelan ludah, berusaha mengusir bayangan itu. Ia harus mengatakan sesuatu, apa pun itu, untuk mengalihkan pikirannya.

​"Lo... belajar apaan?" tanya Calya, suaranya pelan.

​Aksa mengangkat kepalanya dari buku, tersenyum tipis. "Matematika. Buat ujian." Ia melihat ke arah Calya, menyadari ada sesuatu yang berbeda. Calya tidak lagi terlihat marah atau sinis. "Kenapa? Mau ikut belajar?" godanya.

​Calya menggeleng cepat. "Enggak. Cuma... lo enggak marah?"

​Aksa menutup bukunya. "Marah kenapa?"

​Calya menunduk, memainkan ujung baju yang ia kenakan. "Tadi siang... di sekolah."

​Aksa mengerti. Ia menghela napas. "Oh, itu. Buat apa marah? Lagian, aku enggak apa-apa kok."

​"Tapi... lo jatuh. Itu sengaja, kan? Rion..."

​"aku tahu," potong Aksa lembut. Ia melihat sorot mata Calya yang kini dipenuhi rasa bersalah. "Dia emang sengaja."

​"Terus kenapa lo enggak lawan? Kenapa lo biarin dia kayak gitu?" tanya Calya, suaranya sedikit meninggi.

​Aksa tersenyum. Senyum itu tulus, tidak ada sedikitpun jejak kemarahan. "Buat apa, Cal? Itu cuma bikin masalah makin panjang. Lagian, itu bukan level aku. Dia cuma pengen nunjukin kalau dia lebih hebat. aku enggak butuh pengakuan dari orang lain, kok."

​Kata-kata Aksa menampar Calya. Ia membandingkan Aksa dengan Rion. Rion, yang sombong, arogan, dan suka mem-bully, berbanding terbalik dengan Aksa yang tenang, dewasa, dan tidak peduli dengan pengakuan orang lain. Calya merasa semakin bersalah.

​"Gue... gue minta maaf," ucap Calya, sangat pelan.

​"Maaf buat apa?" tanya Aksa.

​"Gue... gue enggak nolongin lo," jawab Calya, matanya berkaca-kaca. "Gue cuma lari... ninggalin lo. Maaf."

​Aksa mengulurkan tangannya, mengusap rambut Calya lembut. "Ssst... enggak apa-apa. aku tahu lo takut. Lagian, aku enggak butuh bantuan kok. Gue bisa urus diri gue sendiri."

​Calya menatapnya, hatinya terasa hangat. Pria di depannya ini, yang ia benci, yang ia maki, ternyata adalah satu-satunya orang yang peduli padanya.

Malam semakin larut. Di luar, suara hujan terdengar semakin deras, diiringi oleh gelegar guntur yang sesekali membuat Calya terlonjak. Ia duduk di sofa, bersandar pada bantal, matanya terasa berat, namun ia tak berani memejamkan mata. Setiap kali kilat menyambar, bayangan ketakutannya kembali muncul.

​Ia melirik Aksa yang duduk di sofa seberangnya, sibuk memainkan ponselnya. Sebuah ide gila melintas di benak Calya. Jika biasanya ia akan mencari perlindungan di samping ibunya, malam ini, ia hanya punya Aksa. Rasa malu dan gengsinya beradu dengan rasa takutnya yang begitu besar.

​Calya memberanikan diri. "Sa?" panggilnya, suaranya pelan.

​Aksa mendongak. "Kenapa, Cal?"

​Calya menelan ludah. Wajahnya memanas, ia bisa merasakan darah mengalir deras ke pipinya. "Hujannya... enggak berhenti-berhenti," bisiknya, mencoba basa-basi.

​Aksa mengangguk. "Iya, kayaknya bakal sampai pagi. kamu... udah ngantuk, kan? Sana tidur aja di kamar."

​Calya menggeleng cepat. Ia menggenggam ujung bajunya erat-erat. "Gue... gue takut."

​Aksa tersenyum, senyum yang begitu lembut dan menenangkan. "Enggak apa-apa. Ada aku di sini."

​Tiba-tiba, suara guntur menggelegar lebih keras dari sebelumnya. Calya berteriak, badannya gemetar hebat. Ia langsung memejamkan mata, memeluk lututnya.

​Aksa terkejut, ia segera bangkit dan duduk di samping Calya. Ia mengusap punggung Calya pelan. "Udah, udah. Jangan takut. Enggak apa-apa," bisiknya.

​Calya membuka matanya, menatap Aksa. Jarak mereka kini begitu dekat. Kehangatan tubuh Aksa terasa begitu nyaman. Dengan suara yang sangat pelan, hampir tak terdengar, Calya memberanikan diri.

​"Aksa... lo bisa... temenin gue tidur?"

​Aksa mematung. Kata-kata itu, diucapkan dengan suara yang begitu malu dan polos, membuatnya membeku di tempat. Wajahnya seketika memerah, jantungnya berdebar kencang. Ia menatap Calya, tak bisa berkata-kata.

​"gue.... gue enggak bisa tidur sendiri kalau ada guntur," bisik Calya lagi, matanya penuh harap. "Biasanya... sama Mama."

​Aksa menunduk, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Perasaannya campur aduk. Ia gugup setengah mati. "A-aku... tidur... sama kamu..."

​"iya lagian kita uda tidur barengkan sekali lagi gapapa," potong Calya, cepat. "gimana."

​Aksa mengangkat kepalanya, menatap mata Calya yang kini terlihat begitu rapuh dan sangat malu. Ia mengangguk pelan. "Iya. aku... gue temenin."

​Calya tersenyum, senyum tulus pertama yang ia berikan pada Aksa. Aksa merasakan kelegaan yang luar biasa. Malam itu, di tengah badai, mereka tahu bahwa mereka tidak lagi sendirian.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!