Irene Brilian Ornadi adalah putri sulung sekaligus pewaris keluarga konglomerat Ornadi Corp, perusahaan multi-nasional. Irene dididik menjadi wanita tangguh, mandiri, dan cerdas.
Ayahnya, Reza Ornadi, menikah lagi dengan wanita ambisius bernama Vania Kartika. Dari pernikahan itu, lahirlah Cassandra, adik tiri Irene yang manis di depan semua orang, namun menyimpan ambisi gelap untuk merebut segalanya dari kakaknya, dengan bantuan ibunya yang lihai memanipulasi. Irene difitnah dan akhirnya diusir dari rumah dan perusahaan.
Irene hancur sekaligus patah hati, terlebih saat mengetahui bahwa pria yang diam-diam dicintainya, bodyguard pribadinya yang tampan dan cekatan bernama Reno ternyata jatuh cinta pada Cassandra. Pengkhianatan bertubi-tubi membuat Irene memilih menghilang.
Dalam pelariannya, Irene justru bertemu seorang pria dingin, arogan, namun karismatik bernama Alexio Dirgantara seorang bos mafia pemilik kasino terbesar di Asia Tenggara.
Ikuti perjalanan Irene menuju takdirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ide Licik
Udara pagi itu dipenuhi embun tipis dan aroma bunga yang semerbak, menandai awal yang hening namun sarat makna. Irene Brilian Ornadi berdiri anggun di depan makam ibunya, Adellia Wiranata. Di tangannya tergenggam buket bunga lili putih yang masih segar, kelopaknya terbuka sempurna, seakan menyambut kehadiran sang putri dengan kelembutan tak bersuara. Irene mengenakan gaun hitam sederhana yang membingkai siluetnya dengan anggun. Tak ada riasan mencolok, hanya kesunyian dan kesetiaan yang berbicara lewat sorot matanya.
"Mama," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar, "apa Mama baik-baik saja di sana?"
Ia berlutut perlahan, menaruh bunga lili di atas pusara marmer putih yang berkilau diterpa cahaya matahari pagi. Di sisi pusara terukir nama Adellia Wiranata dengan elegan, bersama kalimat: "Ia hidup dalam cinta dan berpulang dalam tenang."
Namun di hati Irene, tidak ada yang tenang. Masih banyak luka yang menganga, dan pertanyaan yang belum terjawab. Ia membuka genggaman tangan kirinya, memperlihatkan dua pecahan liontin giok hijau yang bermotif bunga teratai.
"Liontin ini… Mama masih ingat?" ucapnya lembut, suaranya bergetar.
"Waktu Mama memberikan dua pecahan ini, Mama bilang... jika suatu hari nanti aku bertemu dengan seseorang yang bisa melihatku bukan sebagai pewaris, tapi sebagai Irene, yang sesungguhnya... aku boleh memberikan satu pecahannya."
Ia menunduk, menyeka sudut matanya yang basah oleh embun dan perasaan yang lama tertahan. Angin bertiup pelan, seolah alam pun turut mengerti makna percakapan sunyi itu.
Di kejauhan, sosok tegap Reno Wiratmaja berdiri diam. Seragam hitamnya menyatu dengan bayang-bayang pepohonan, namun tatapan matanya tertuju lurus pada Irene. Ia tak berkata apa-apa, hanya mengamati, namun cukup untuk membuat Irene sadar akan kehadirannya. Irene melirik ke arahnya, lalu kembali menggenggam dua pecahan liontin itu erat-erat.
Belum saatnya, gumamnya dalam hati, lalu berdiri dengan tenang.
Ia membalikkan badan dan berjalan perlahan meninggalkan makam, melewati Reno tanpa sepatah kata pun.
***
Malam itu, kediaman keluarga Ornadi kembali menunjukkan kilau kemewahannya. Ruang makan utama laksana ruang jamuan bangsawan Eropa. Meja panjang dari kayu jati tua berlapis pernis mengilap, di atasnya terhampar taplak sutra emas. Lilin kristal menyala redup dalam chandelier raksasa yang tergantung di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke dinding marmer bercorak elegan. Di sekeliling ruangan, lukisan klasik dan vas-vas porselen Tiongkok berdiri sebagai saksi bisu kekayaan keluarga ini.
Beberapa pelayan berpakaian seragam berdiri dengan tangan terlipat di dada, siap melayani kapan pun. Makanan tersaji dalam porselen putih berbingkai emas, bistik wagyu, salad eksotis, dan wine mahal yang hanya disajikan pada malam tertentu.
Di ujung meja duduk Reza Ornadi, dengan sikap tegas dan pandangan tajam. Di sebelahnya, duduk Vania yang tersenyum dengan manis palsunya, lalu Cassandra yang terlihat gelisah. Di sisi lain, Irene duduk tenang, anggun, dan tak tergoyahkan.
"Irene, Cassandra," suara Reza memecah kesunyian elegan, "menurut kalian, apa strategi terbaik dalam menghadapi fluktuasi saham sektor energi yang saat ini mulai melemah akibat ketegangan geopolitik global?"
Cassandra buru-buru meletakkan garpu dan mulai bicara, suaranya dibuat seformal mungkin.
"Papa, menurutku... kita bisa mempertahankan likuiditas dengan melepas sebagian portofolio di sektor itu dan mengalihkan ke reksadana campuran."
Reza menyipitkan mata, tidak sepenuhnya puas.
"Tidak buruk, tapi itu terlalu reaktif. Di level direksi, kita perlu antisipasi, bukan sekadar adaptasi."
Sementara Cassandra terlihat menahan napas, Irene masih tenang mengunyah dengan sopan. Lalu dengan gerakan elegan, ia meletakkan garpunya dan menatap ayahnya dengan percaya diri.
"Papa, jika kita cermati pergerakan dana besar saat ini, mereka mulai mengamankan posisi dalam energi terbarukan, terutama solar dan bioenergi. Strategi terbaik bukan hanya menyesuaikan, tapi mengarahkan. Kita bisa mulai akuisisi kecil pada perusahaan rintisan energi hijau, lalu menciptakan narasi perubahan arah investasi. Bukan mundur dari sektor energi, tapi memimpin transisinya."
Sejenak ruangan hening.
Reza mengangguk lambat.
"Jawaban yang tajam dan futuristik. Aku bangga padamu, Irene."
Cassandra menunduk, matanya menghitam karena rasa iri. Ia hendak berdiri dan meninggalkan meja, namun Vania segera meliriknya tajam dengan kode mata. Gadis itu duduk kembali, menegakkan senyum palsunya.
"Irene," ucap Vania dengan senyum plastik yang dipoles elegansi, "kamu sungguh dewasa sekarang. Kami senang melihatmu kembali ke meja keluarga."
Cassandra ikut menambahkan, dengan nada manis palsu.
"Kak, ajari aku ya… soal transisi energi itu. Aku mau belajar dari kak Irene yang hebat."
Irene hanya tersenyum tipis.
"Tentu," jawabnya datar. "Kalau kamu siap belajar, aku akan mengajarkan apa yang aku tahu."
Namun dalam hatinya, ia tahu betul bahwa sandiwara belum berakhir. Di meja mewah itu, hanya rasa dingin yang benar-benar tulus.
***
Malam semakin larut. Di taman belakang rumah Ornadi, angin bertiup lembut menyapu dedaunan. Lampu-lampu taman menciptakan bayangan samar di atas batu kerikil dan rumput yang terpangkas rapi.
Reno duduk sendirian di bangku besi tempa, bersandar sambil menatap layar ponselnya. Matanya tampak tenang, namun cahaya di dalamnya menyimpan sesuatu yang dalam. Ia sedang melihat sebuah foto Cassandra, berdiri di depan gerbang panti asuhan bersama anak-anak panti, ia tersenyum cerah. Senyum polos yang entah kenapa, tertinggal dalam ingatannya. Di matanya, ada percikan rasa yang tak mudah dihapus waktu.
Dari balik semak yang tak jauh, Irene berdiri diam. Di tangannya, sebuah kotak kecil berbalut kertas biru tua dan pita perak. Isinya: dasi biru navy bermotif halus kado yang pernah ia beli untuk Reno, di saat hatinya masih percaya bahwa ia punya tempat di hati pria itu.
Ia menatap Reno dari kejauhan. Langkah Irene sempat maju, tapi hanya satu. Ia ragu. Lalu berhenti. Jemarinya menggenggam kotak itu lebih erat, seolah berharap bisa memaksa waktu berbalik arah dan dari arah beranda, Cassandra menyaksikan semua itu.
Ia tidak datang menghampiri. Tidak kali ini. Ia hanya berdiri di balik tirai jendela terbuka, menyandarkan bahu di dinding sambil tersenyum kecil. Matanya mengamati Reno, lalu menoleh pada Irene yang nyaris melangkah, lalu urung.
Dalam senyumnya, tumbuh sebuah niat baru. Jika dasi itu yang ingin Irene berikan, maka dasi itu pula yang akan ia berikan terlebih dulu. Dalam versi yang lebih mahal, lebih megah, lebih Cassandra.
Namun bukan hanya itu. Cassandra menyadari satu hal malam itu, Irene mulai rapuh dan keretakan kecil akan lebih mudah diperluas. Jika cinta bisa diganggu, maka reputasi Irene pun bisa digoyang. Nama baik, martabat, bahkan posisinya di keluarga Ornadi semua bisa menjadi target.
Ia tak akan terburu-buru. Tapi benih itu sudah tertanam dan Cassandra tahu cara menyiraminya dengan racun perlahan.
Sementara itu, di bangku taman, Reno masih menatap layar ponselnya. Ia mengusap gambar itu dengan jempol, tanpa sadar menghela napas panjang. Lalu ia menyandarkan kepala ke belakang, menatap langit.
Irene, di balik semak, menunduk. Menyimpan kembali kotak kado ke balik bajunya, dan berjalan perlahan kembali ke kamarnya. Tak ada kata malam itu. Hanya rasa yang makin dalam dan tak terucap dan di balik jendela, Cassandra tak berhenti tersenyum. Permainan baru saja dimulai.