Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Chandra duduk di kursi empuk ruang kerjanya, menekuni tumpukan dokumen yang berserakan di meja kayu besar. Perusahaan Chandra memang kecil dan tidak sebesar milik para konglomerat, tapi cukup untuk membuat Chandra hidup nyaman, dengan aliran uang yang stabil masuk ke kantong pribadinya.
Dia bisa mendirikan perusahaannya sekarang juga akibat Audy ikut turun tangan memberikan suntikan modal, dari hasil uang peninggalan almarhum sang ibu, yang bernilai fantastis saat Audy masih menyerahkan seluruh hatinya kepada Chandra.
Saat itu, Audy bisa saja ikut campur dalam management perusahaan, karena bisa dibilang perusahaan itu adalah miliknya, tapi dia tidak ingin melangkahi Chandra dan menghormati Chandra sebagai CEO perusahaan tersebut, dan memilih untuk bekerja di perusahaannya sekarang, sebagai suatu pekerjaan yang dia cintai.
Ketukan pelan di pintu memecah konsentrasi Chandra. Sesaat kemudian, Tiara, sekretarisnya yang muda dan berparas menawan, melangkah masuk. Senyumnya penuh arti, tubuhnya dibalut pakaian kerja yang ketat, menonjolkan lekuk-lekuk yang memanjakan mata Chandra.
Chandra mendongak, senyum senang sekaligus nakal menghiasi wajahnya.
“Hmmm, ada apa, cantik?” godanya, tepat ketika Tiara dengan santai mendudukkan dirinya di pangkuan bosnya itu.
“Ini, Pak…” Tiara mengangkat sebuah amplop cokelat dari tangannya. “Ada surat. Sepertinya penting.”
Chandra hanya melirik sekilas, lalu merebutnya tanpa minat dan meletakkannya sembarangan di meja. “Aku lagi nggak mood ngurusin kertas-kertas ini. Paling cuma penawaran kerja sama nggak penting.” Dia menatap wajah Tiara, jemarinya nakal mencolek pipi sang sekretaris. “Gimana kalau sekarang kita senang-senang di luar aja?”
Tiara tertawa kecil, genit tapi pura-pura menahan diri. “Ahhh, Bapak ini… jangan nakal dan godain saya gitu dong. Kalau Bu Audy tahu, gimana coba?”
Mata Chandra meredup dengan ejekan. “Audy?” Ia mendengus. “Udahlah, buat apa mikirin perempuan sombong dan arogan itu? Bentar lagi juga aku bakalan ceraiin dia. Lagi pula, emang salah kalau aku sedikit have fun di luar?”
Tawa keduanya pecah, lantang, seakan dunia milik mereka berdua. Mereka berdua lalu beranjak, melangkah keluar kantor sambil bergandengan dengan santai, tanpa peduli siapa yang melihat.
Beberapa karyawan yang duduk di sudut ruang terbuka hanya bisa saling pandang. Suara bisikan lirih pun terdengar.
“Duh, kasian banget Bu Audy. Punya suami begajulan begitu…” gumam salah seorang karyawan, matanya penuh iba.
Yang lain menghela napas, menatap punggung bosnya yang makin menjauh.
“Semoga aja mereka berdua cepat dapat karma.”
Sementara disudut lain, seorang karyawan perempuan tampak menatap Chandra dan Tiara yang pergi dengan tatapan mencurigakan.
"Laila, kamu ngeliatin apa sih? Sampai segitunya" tegur salah seorang rekan kerjanya.
"Eh, nggak ngeliatin apa-apa kok. Aku pergi dulu ya, mau ketemu klien" katanya kemudian.
Rekan kerjanya mengangguk, dan saat Laila menghilang dari pandangan, dia berkata, "Emang hari ini ada jadwal ketemu klien?" tanyanya pada yang lain.
"Nggak tahu juga tuh" kata mereka sambil menggeleng.
Didalam lift, Laila membuka ponselnya dan menelpon seseorang, "Bu Audy, ini saya" katanya kemudian.
...***...
Di tempat lain, Audy baru saja menutup telepon. Wajahnya tampak puas, namun sorot matanya tak bisa berbohong kalau dia sebenarnya sudah lelah dengan drama rumah tangganya sendiri. Di hadapannya, Yunita duduk dengan tangan terlipat, menatap sahabat sekaligus bosnya itu dengan tatapan penuh penasaran.
“Gimana, Dy?” tanya Yunita, suaranya hati-hati.
Audy menarik napas panjang, lalu tersenyum miring. “Beres. Laila sekarang lagi ngikutin Chandra. Dan ternyata dugaanku benar, Nita. Selain sama Jenny, dia juga selingkuh sama sekretarisnya sendiri. Aku rasa aku udah cukup berdiam diri, lihat dia senang-senang. Udah saatnya aku ambil kembali uang yang dulu aku pakai buat invest ke perusahaannya itu.”
Yunita mengangguk mantap, meski ada rasa geram yang jelas terselip di wajahnya. “Aku setuju banget sama kamu, Dy. Toh kamu juga punya perjanjian resmi di depan notaris, kan, waktu pertama kali invest ke Chandra? Itu udah sah secara hukum. Dan jangan lupa, kamu juga pegang saham perusahaan Chandra hampir separuhnya—sekitar 48 persen. Jadi kalau kamu mau menarik semuanya, dia bakalan kalang kabut”
"Nggak sia-sia kamu punya mata-mata di perusahaan Chandra, buat mantau gerak geriknya" kata Yunita lagi.
Mendengar itu, senyum Audy semakin melebar. Ada rasa puas yang mulai mengalir di nadinya. “Kemarin aku udah kirim surat pemberitahuan lewat pengacaraku. Isinya soal aku mau narik semua investasiku dari perusahaan Chandra. Kalau ngeliat dia sekarang lagi senang-senang sama sekretarisnya, aku yakin kalau dia belum baca isi surat itu.”
Bayangan wajah Chandra yang panik, frustasi, bahkan mungkin ketakutan saat tahu separuh lebih kekuatan perusahaannya hilang dalam semalam, membuat dada Audy merasa lega. “Aku nggak bisa bayangin gimana ekspresi dia waktu akhirnya baca surat itu,” ucapnya dengan nada dingin, nyaris puas.
Yunita ikut tersenyum, meski ada nada getir. “Dia pikir bisa main-main sama kamu, Dy. Dia salah besar. Kali ini, giliran kamu yang bikin dia nyesel.”
Audy menatap keluar jendela kantornya, kota Jakarta terbentang sibuk di balik kaca bening. Hatinya tidak lagi bergetar oleh luka, melainkan oleh kekuatan yang perlahan kembali dia genggam.
...***...
Sore itu, Chandra baru saja kembali setelah “siang panas” bersama Tiara. Wajahnya masih menyimpan senyum puas, seolah hidup selalu memanjakan dirinya. Dengan santai, dia menjatuhkan tubuh ke kursi kulit empuknya, kakinya diangkat ke atas meja, dan mulai membuka ponselnya.
Matanya sempat melirik ke sebuah amplop cokelat yang sejak tadi tergeletak di meja. Amplop itu dia dapat dari Tiara siang tadi, namun dia abaikan begitu saja, merasa isinya tak lebih dari tawaran kerja sama biasa.
Dengan gerakan malas, Chandra meraih amplop itu. “Apalah isinya, paling cuma proposal nggak penting,” gumamnya sambil menyobek segelnya.
Namun, seiring matanya menelusuri baris demi baris surat resmi yang dicetak rapi dengan kop pengacara ternama, senyum di wajahnya perlahan menguap. Bahunya kaku. Darahnya terasa berhenti mengalir.
“...pemberitahuan penarikan investasi...”
Kata-kata itu seakan meninju dadanya. Matanya melebar, membaca ulang kalimat demi kalimat yang menegaskan bahwa Audy, istrinya—atau tepatnya yang akan menjadi mantan istrinya—berniat menarik seluruh investasinya dari perusahaan. Jumlahnya tidak main-main. Hampir separuh dari nilai perusahaannya sekarang.
Chandra melemparkan surat itu ke meja, berdiri terguncang. “Nggak mungkin... Dia nggak mungkin narik semua investasinya!!!” suaranya tercekat, antara marah dan panik.
Dia berjalan mondar-mandir, keringat dingin mulai merembes di pelipisnya. Semua kesenangan yang barusan dia nikmati bersama Tiara mendadak terasa hambar. Yang ada kini hanya bayangan kehancuran dirinya, dimulai dari kontrak kerja yang bisa batal karena kekurangan modal, karyawan yang bisa kabur, reputasinya yang dia bangun selama ini juga bisa hancur.
Dengan tangan bergetar, Chandra meraih ponselnya, berniat menelpon seseorang—entah pengacara, entah Audy langsung. Tapi jemarinya kaku, pikirannya kalut. Yang ada hanya suara hatinya yang penuh teror,
“Audy... wanita sialan itu... dia bener-bener mau ngehancurin aku...”
...***...