NovelToon NovelToon
Adik Tiri Kesayangan Si Kembar

Adik Tiri Kesayangan Si Kembar

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Kembar / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Hazelnutz

Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.

Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.

Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.

Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?

silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

Koridor sekolah masih ramai setelah kejadian dengan Veronica. Nama Elanor kembali jadi pusat perhatian, bukan karena hinaan seperti dulu, melainkan karena pesona barunya yang membuat banyak orang tak bisa berhenti membicarakan. Namun, di tempat lain…

Jauh dari hiruk pikuk sekolah, Daniel duduk di kantor mewahnya. Di atas meja, berkas-berkas kontrak menumpuk, menunggu tanda tangan dan persetujuan darinya. Biasanya, ia tidak pernah meleset satu huruf pun ketika membaca. Namun kali ini matanya hanya terpaku pada lembar-lembar kertas tanpa benar-benar melihatnya.

Pikirannya melayang kembali pada pagi tadi, saat Elanor turun dari tangga dengan langkah anggun. Rok mini yang membuat auranya semakin mencolok, rambut yang berkilau di bawah sinar lampu gantung, senyum manis yang entah kenapa menohok jantungnya.

Daniel mengerjap, wajahnya memanas.

"Astaga, apa yang gue pikirin? Itu adik gue sendiri…" gumamnya dalam hati. Dadanya berdegup kencang, hampir menyakitkan. Ia meraih rambutnya dengan satu tangan, memarahi dirinya dalam hati. "Sadar, Daniel! Luo gila kalau mikirnya ke arah sana. Itu nggak boleh."

Namun semakin ia mencoba menghapus bayangan itu, semakin jelas wajah Elanor muncul dalam benaknya. Senyumnya, sorot matanya, bahkan aroma samar parfum pagi tadi seakan masih menempel di udara. Daniel mengembuskan napas berat, berusaha kembali fokus pada berkas di depannya.

Tiba-tiba—

TRIIIINGGG! Telepon meja di depannya berdering keras.

Saking melamunnya, Daniel kaget bukan main. Kursinya tergelincir ke belakang, rodanya berputar tak terkendali. BRUK! Ia jatuh ke lantai dengan posisi tak elegan sama sekali.

“Aduh!” serunya, buru-buru bangkit dengan wajah merah padam. Sekretaris yang kebetulan lewat hanya bisa melongok dari pintu dengan ekspresi bingung, sementara Daniel menutupi wajahnya dengan tangannya menutupi rasa malunya

Di sisi lain, Dominic tengah jongkok di bengkel motornya. Suara mesin meraung, bau oli dan bensin bercampur di udara. Biasanya, ia paling teliti dan serius kalau sedang menyentuh motor kesayangannya. Tapi siang itu berbeda.

Tangannya gemetar ketika memegang kunci pas, matanya kosong. Bayangan Elanor pagi tadi terus menyelinap ke pikirannya, senyum manis itu, aura percaya diri yang memancar. Dadanya berdegup kencang, seperti ada sesuatu yang baru tumbuh di hatinya. Bukan lagi perasaan seorang kakak kepada adik… lebih dari itu. Dan itu membuatnya resah.

“Bos,” suara Rio, anak bengkel sekaligus tangan kanannya, terdengar sambil menyeka tangannya dengan lap kotor. “Kenapa lo bengong gitu? Dari tadi kunci nggak diputer-puter juga. Motor bisa protes kalau lo liatin doang.”

Dominic tidak menjawab, hanya menghela napas panjang sambil menunduk. Rio mengangkat alis, makin heran.

Saat itu Dominic mencoba kembali fokus, memasukkan tangannya ke sela mesin motor. Namun, nasib berkata lain. Tangannya malah kejepit di antara gear dan cover mesin.

“ARGHH! Sial!” teriaknya spontan.

Rio yang tadinya bingung langsung ngakak. “HAHA! Bos! Gila, lo kok bisa kejepit? Dari dulu gue kerja sama lo, baru kali ini liat lo kayak mekanik amatir!”

Dominic mendelik dengan wajah kesal sambil menggoyangkan tangannya yang nyangkut. “Diam lo! Ambilin obeng cepat kalau nggak gue sumpel mulut lo pake oli!”

Rio masih cekikikan, tapi buru-buru menolong. Setelah tangannya berhasil bebas, Dominic menghela napas kasar, pipinya merah karena campuran rasa sakit dan malu. Dalam hatinya ia mengutuk dirinya sendiri.

"Kenapa gara-gara muka itu… gue sampai jadi kayak idiot begini?"

Bel masuk kelas baru saja berbunyi, namun suasana kelas 2A yang biasanya gaduh langsung mereda ketika pintu terbuka. Sang wali kelas masuk dengan langkah mantap, diikuti seorang pemuda asing yang membuat semua kepala serentak menoleh.

Pemuda itu tinggi, tegap, dengan bahu bidang dan seragam yang jatuh sempurna di tubuh atletisnya. Rambut hitamnya rapi namun sedikit berantakan, memberi kesan natural yang justru makin memikat. Wajahnya nyaris seperti dipahat: hidung mancung, rahang tegas, dan mata abu-abu dingin yang tampak seperti menyimpan rahasia gelap.

“Anak-anak,” suara guru bergema, “hari ini kita kedatangan murid pindahan. Tolong sambut baik teman baru kalian, Rafael Adrienne.”

Sejenak ruangan sunyi. Lalu, histeria pecah seperti ombak.

“KYAAAAA!!”

“Gila! Kayak keluar dari drama Korea!”

“Enggak, enggak, dia kayak aktor Hollywood, sumpah!”

“Gue nggak bisa napas, tolongin!!”

Beberapa siswi langsung berbisik heboh, ada yang berdiri dari kursinya sambil merapikan rambut, bahkan ada yang sudah sibuk menyalakan kamera ponsel untuk merekam. Rafael hanya mengangkat alis tipis, sikapnya dingin, seolah kegaduhan itu tak ada artinya. Senyum tipis sempat muncul di wajahnya, justru membuat jeritan semakin pecah.

Namun, semua itu hilang dari perhatiannya ketika matanya berhenti pada satu sosok.

Di bangku dekat jendela, duduk seorang gadis dengan aura berbeda dari seluruh ruangan. Gadis itu menunduk, menulis sesuatu di buku catatannya, sebelum perlahan mendongak karena merasa diperhatikan.

Rafael terpaku.

Itu Elanor.

Gadis yang sempat ia dengar reputasinya: polos, pemalu, dan menjadi bahan olok-olok. Tapi yang ia lihat di depannya sekarang sama sekali bukan Elanor yang ia bayangkan.

Rambutnya rapi tergerai, berkilau terkena sinar matahari pagi. Wajahnya, meski sederhana dengan make-up ringan, tampak segar, elegan, dan matang, menyembunyikan sisa luka yang pernah ia bawa. Seragamnya sudah dimodifikasi menjadi lebih modis, memberi kesan percaya diri, dan caranya duduk… tenang, anggun, seolah ia lah pusat gravitasi di kelas itu.

Rafael terbelalak. Dadanya berdegup lebih cepat tanpa alasan. Ada sesuatu yang menusuk kesadarannya, kejutan, kekaguman, sekaligus rasa ingin tahu yang intens.

Apa ini benar Elanor Cromwell yang dulu aku kenal? pikirnya. Bagaimana mungkin seorang gadis bisa berubah sedrastis ini…

Tatapan mereka bertemu. Sesaat dunia seakan berhenti. Elanor hanya mengangkat dagu tipis, bibirnya melengkung dalam senyum samar, senyum tipis yang memberikan rasa hangat di hati Rafael

Sang guru berdeham keras, memecahkan keheningan yang menggantung.

“Rafael, silakan duduk… di bangku kosong sebelah Elanor Cromwell.”

Kelas kembali meledak.

“Apa?! Di sebelah Lala?!”

“Gila! Gue iri mati-matian!”

“Kenapa harus dia sih?! Gue yang mau duduk sebelah Rafael!!”

Elanor hanya tersenyum samar, menikmati semua reaksi itu tanpa bicara. Dia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian baru-baru ini. Tapi di dalam hatinya, ada sedikit rasa aneh, karena tatapan Rafael yang terus mengikutinya sejak pertama kali masuk.

Rafael melangkah dengan tenang, setiap gerakannya bak model di panggung. Namun, hatinya masih belum tenang. Matanya lagi-lagi menatap Elanor, mencoba mencari jejak gadis pemalu yang pernah ia dengar… dan tidak menemukannya.

Dia duduk di kursi itu, tepat di samping Elanor.

Dan dalam hati, Rafael mengakui sesuatu:

Elanor Cromwell… bukan hanya berubah. Dia berevolusi. Dan aku senang melihatnya.

Bel istirahat berbunyi. Suara nyaring itu seketika membuat suasana kelas pecah. Bangku-bangku bergeser, suara langkah kaki berhamburan, dan hanya dalam hitungan detik Rafael sudah terkepung oleh hampir seluruh siswi di kelas.

“Rafael, kamu dari sekolah mana?”

“Tinggi kamu berapa, ya? Pasti di atas 180, kan?”

“Pacar udah punya belum?”

“Apa tipe cewek idaman kamu?”

Pertanyaan bertubi-tubi dilemparkan dengan suara cempreng penuh antusias, seperti sekumpulan penggemar yang baru bertemu idolanya. Ada yang nekat menyentuh lengan Rafael, ada yang pura-pura menjatuhkan pulpen supaya bisa mendekat, bahkan ada yang sibuk merekam dengan ponsel sambil bersorak-sorak.

Rafael hanya berdiri tegak dengan wajah datar. Jawabannya singkat, sopan tapi jelas menunjukkan ketidaknyamanan.

“Sekolah lama? Di luar negeri.”

“Tinggi? 183.”

“Pacar? Tidak.”

Namun setiap jawaban singkat justru makin membuat siswi-siswi itu histeris.

Di bangku belakang, Elanor duduk menyandarkan tubuhnya, tangan terlipat di dada. Bibirnya melengkung, lalu terdengar suara terkekeh kecil.

Terkekeh itu terdengar ringan, namun cukup untuk mencuri perhatian Rafael. Suara tawa itu berbeda dari riuh histeris siswi lain, lebih tenang, lebih anggun, seakan ia sama sekali tidak terpengaruh dengan kehadirannya.

Tanpa sadar Rafael menoleh, pandangannya jatuh pada Elanor. Saat itu juga, dadanya terasa bergetar aneh. Bukan lagi gadis pucat dan polos yang samar-samar ia ingat, melainkan sosok yang kini duduk penuh percaya diri, dengan aura yang berbeda. Senyum kecil, tatapan mantap, semuanya membuat Rafael terdiam.

Menarik, pikirnya singkat. Bukan sekadar menarik, Rafael mendapati dirinya lebih menyukai Elanor yang sekarang

“Lalaaa!” suara Bella memotong lamunan. Sahabat karibnya menepuk bahu Elanor dengan semangat. “Lala, ayo ke kantin. Gue udah laper banget, sumpah. Lo traktir gue, kan?”

Elanor menoleh, senyum tipisnya muncul. “Dasar lo, kalau soal makan pasti nomor satu. Oke deh, gue traktir. Tapi jangan kalalapan kayak kemarin ya.”

Bella langsung ngakak. “Hahaha, janji nggak! Tapi serius, Lala… hari ini gue makin nggak bisa percaya sama lo. Dari tadi gue lihat muka-muka cewek di kelas, semua kayak lupa cara napas gara-gara cowok baru itu. Tapi gue rasa—” Bella mendekat, menurunkan suara. “—yang paling bikin mereka panas sebenarnya lo.”

Elanor terkekeh lagi, kali ini lebih lembut. “Masa sih?” katanya sambil merapikan bukunya, lalu berdiri dengan elegan. Aura percaya dirinya terpancar bahkan hanya dari cara ia mengambil tas.

Mereka berdua pun berjalan ke luar kelas, meninggalkan Rafael yang masih dikerubungi siswi-siswi haus perhatian.

Namun Rafael, meski sibuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang menjemukan, matanya tanpa sadar mengikuti langkah Elanor hingga gadis itu menghilang di balik pintu kelas. Ada semacam rasa kehilangan aneh di dadanya, perasaan yang membuatnya tiba-tiba ingin menyingkirkan semua siswi yang mengelilinginya.

Elanor dan Bella kini sudah berada di kantin, Kantin siang itu penuh sesak. Bau gorengan, nasi goreng, dan mie instan bercampur jadi satu. Suara riuh siswa yang mengantri terdengar sampai ke luar pintu. Bella, seperti biasa, langsung menyerbu ke depan antrian.

“Mas, satu nasi goreng pedes level lima, ayam goreng, sosis bakar, sama es teh jumbo. Oh iya, tambahin bakso kuahnya juga ya!” katanya cepat, membuat tukang kantin ternganga.

Elanor yang berdiri di belakang hanya bisa menatap sahabatnya itu dengan senyum miring, lalu menggeleng pelan. “Bel, lo tuh niat makan apa niat ngerampok kantin?”

Bella menoleh sambil cengengesan. “Hehe, Lala… lo kan traktir. Jadi sekalian aja gue manfaatin. Ini namanya memaksimalkan rezeki.”

Elanor mendesah, lalu mengambil pesanannya sendiri yang jauh lebih sederhana—hanya sepiring salad segar dan segelas jus jeruk.

Mereka pun berjalan perlahan melewati kerumunan murid lain, mencari meja kosong di pojok kantin. Suara tawa, sorakan, dan musik dari speaker tua bercampur, membuat suasana ramai tak karuan.

Namun ketika langkah Elanor menapak ke ubin licin yang baru saja dipel, tubuhnya kehilangan keseimbangan.

“Ahh!” serunya pelan, nampan makanannya hampir terlepas dari genggaman.

Dalam sekejap, seseorang meraih lengannya dari belakang. Tubuh Elanor terhenti sebelum benar-benar jatuh, napasnya tertahan karena begitu dekat dengan sosok yang menahannya.

Suara tenang dan lembut menyusul, terdengar jelas di telinganya.

“Nona Ela, kamu nggak apa-apa kan?”

Elanor terdiam. Waktu seperti berhenti sesaat, detik-detik terasa melambat, dan hanya suara itu yang menggema di kepalanya.

1
Nanabrum
Ngakakk woyy😭😭
Can
Lanjuuutttt THORRRRR
Andr45
keren kak
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭
Andr45
wow amazing 🤗🤗
Can
Lanjut Thor
Cikka
Lanjut
Ken
Semangaaat Authooor, Up yang banyakk
Ken
Udah ngaku ajaaa
Ken
Jangan tidur atau jangan Pingsan thor😭😭
Ken
Nahh kann, Mulai lagiii🗿
Ken
Wanita Kadal 02🤣🤣
Ken
Bisa hapus karakter nya gak thor🗿
Ken
Kan, Kayak Kadal beneran/Panic/
Ken
Apaan coba nih wanita kadal/Angry/
Vytas
mantap
Ceyra Heelshire
gak bisa! mending balas aja PLAK PLAK PLAK
Ceyra Heelshire
apaan sih si nyi lampir ini /Panic/
Ceyra Heelshire
wih, bikin novel baru lagi Thor
Hazelnutz: ehehe iyaa😅
total 1 replies
RiaChenko♥️
Rekomended banget
RiaChenko♥️
Ahhhh GANTUNGGGGG WOYYY
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!