Damian, duda muda yang masih perjaka, dikenal dingin dan sulit didekati. Hidupnya tenang… sampai seorang cewek cantik, centil, dan jahil hadir kembali mengusik kesehariannya. Dengan senyum manis dan tingkah 'cegil'-nya, ia terus menguji batas kesabaran Damian.
Tapi, sampai kapan pria itu bisa bertahan tanpa jatuh ke dalam pesonanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Numpang tidur
[Beberapa Hari Kemudian]
Keluarga Damian sedang berkumpul di meja makan, menikmati makan malam bersama di mana semua orang berkumpul malam ini. Edo dan anak istrinya, Erik, hingga Maya dan suaminya pun hadir dalam momen makan malam itu, suasana terasa hangat. Jika yang lain bercengkrama membahas banyak hal, Damian dan Erik yang sama-sama pendiam memilih untuk menikmati makanan mereka tanpa ikut campur dalam obrolan.
Di sela-sela suapan mereka, Erik tiba-tiba bertanya kepada Damian. "Lu nggak ada niatan buat nikah lagi?"
Damian menjawab tanpa menoleh, "Nggak ada. Kenapa Abang harus tanya itu ke gue? Abang aja yang udah berusia matang belum nikah."
"Karena gue belum menemukan orang yang tepat, masih sulit buat gue bisa percaya sama cewek."
"Ya sama, gue juga sulit percaya ke cewek."
"Lu nggak tertarik sama Aletha? Dia kayaknya suka banget sama lu. Kalau dari yang gue lihat, Aletha itu serius sama lu."
"Apanya yang serius? Dia masih bocah, dan gue nggak suka dengan sikapnya yang seenaknya. Di kantor gue adalah Bos, tapi dia selalu bersikap seolah-olah gue ini cuma teman dan nggak ada hormatnya sama sekali."
Erik tersenyum kecil, "Itu karena dia berusaha menyembunyikan rasa canggung setiap kali ketemu sama lu. Lu harus ngerti cewek seperti Aletha itu serius dengan perasaannya, cewek tipe itu adalah cewek yang beneran cinta, bukan sekedar main-main."
Damian menimpali, "Kalau gitu, kenapa bukan lu aja yang jadiin dia istri? Siapa tahu dia beda dari cewek yang ngecewain lu."
"Kalau Aletha sukanya ke gue, tentu gue mau jadiin dia istri. Tapi, faktanya dia itu sukanya sama lu, sama aja bohong kalau gue minta dia jadi istri gue."
"Bujuk aja, dia ceweknya gampang suka kalau cowoknya ganteng. Lu kan mirip sama gue, siapa tahu Aletha mau sama lu."
Erik menggeleng, "Gue gak ada rasa lagi ke cewek, sejak di kecewain gue jadi ngerasa cewek gak ada yang tulus ke gue. Perasaan gue setiap lihat cewek gak ada hasrat."
Damian langsung menatap kakaknya dan bertanya, "Lu gay?"
Erik mendengus dan menjitak adiknya, "Enak aja, gue normal. Cuma gue trauma aja."
"Gue kira gay, muka lu muka gay soalnya," ledek Damian, walaupun ekspresinya masih sama tapi Erik tahu adiknya hanya bercanda.
"Kalau lu bilang kayak gitu, sama aja lu juga gitu, muka lu dan gue mirip," Erik membalas adiknya.
"Sial... kenapa lu harus mirip gue sih?" kata Damian kesal tapi suaranya setengah berbisik.
"Harusnya gue yang ngomong kayak gitu, kenapa lu mirip sama gue? Gue sama lu lebih duluan gue yang lahir, itu artinya lu yang ikut-ikutan," timpal Erik merasa menang.
Damian mendelik, kakaknya benar, dirinya lah yang seolah meniru.
Maya yang baru selesai makan langsung menghampiri keduanya dan memeluk mereka bersamaan dari belakang.
"Lagi pada ngomongin apaan sih? Kalian kayaknya lebih akrab dari biasanya," tahu Maya dengan rasa ingin tahu yang besar.
Damian menjawab dengan datar, "Pengen tahu aja lu, yang pasti bukan ngomongin kejelekan orang kayak lu dan Mama."
"Hish! Nyebeli lu!" Maya kesal terhadap Damian.
"Cuma ngomongin masalah kerjaan, cewek gak akan paham soal kerjaan kantor," Erik menimpali dengan berbohong, ia sangat tahu tantenya itu selalu ingin tahu apa saja yang dibahas olehnya dan Damian, yang tentu saja Erik tak suka orang seperti Maya.
"Oh, cuma soal kerjaan? Aku kira kalian lagi bahas tentang jodoh atau pacar gitu," ujar Maya.
"Bukan, kita gak pengen bahas soal itu."
Maya mendengus kesal. "Basi banget! Masa kalian nggak ada niatan buat nyari pasangan? Apalagi lu, Damian. Aletha udah jelas banget suka sama lu, tapi lu masih jual mahal."
Lagi-lagi yang dibahas adalah Aletha, membuat Damian malas.
Damian mendengus. "Gue nggak jual mahal, gue emang nggak tertarik."
"Kenapa? Aletha kan cakep, baik, dia juga sepupu lu. Kalau kalian nikah, itu bisa bikin dua keluarga bahagia dan makin erat."
"Justru karena Aletha itu sepupu gue, gue nggak mau menikahi sepupu. Kalau sampai pernikahan gue gagal lagi, itu malah bikin hubungan antara dua keluarga jadi buruk. Mending gue menduda seumur hidup, sendirian juga nyaman."
"Tapi lu nggak bisa selamanya sendiri, Dam. Kakak aja sampe khawatir lu nggak bakal nikah lagi," kata Maya sambil duduk di antara mereka, ikut nimbrung tanpa diundang.
"Dam, lu masih muda dan lu ganteng. Kenapa sih lu harus nyerah gitu aja setelah ngerasa gagal di pernikahan pertama? Lu kan masih bisa mencoba di pernikahan kedua. Siapa tahu pernikahan kedua lu bakalan bahagia," tambah Maya.
"Gue masih agak trauma, pernikahan juga bukan cuma main-main. Gue cuma pengen nikah lagi kalau suatu saat udah nemuin calon yang tepat, dan gue bisa memastikan kalau pernikahan gue nggak akan gagal lagi," jawab Damian.
Maya menghela napas, ia tak tahu sesakit apa Damian di pernikahan pertamanya. Tapi, ia tak ingin melihat Damian terus merasa bahwa setiap pernikahan itu menyakitkan.
"Dam, kalau lu nggak nikah-nikah juga, gimana lu bisa kasih keturunan buat penerus keluarga lu? Lu anak bungsu, dan orang tua lu sangat berharap dapat penerus dari lu. Kakak udah pengen banget dapet cucu dari lu," Maya berkata lagi seakan tak mau menyerah.
Erik menyeringai, melirik Damian sejenak sebelum berkata, "Iya tuh, Mama udah beberapa kali ngomong ke gue, katanya dia pengen Damian buru-buru kasih cucu."
Damian meletakkan sendoknya dan menatap Erik datar. "Terus? Gue harus kawin kontrak biar Mama dapet cucu? Harusnya lu yang lebih dulu nikah dan kasih cucu buat Mama, bukan gue."
Maya tertawa mendengar nada sinis Damian, sementara Erik hanya tersenyum kecil menanggapi adiknya, kemudian menjawab. "Lu pernah langkahin gue, dan mungkin itu juga yang jadi alasan gue sulit dapat jodoh. Jangan lupa, cowok yang pernah dilangkahi adiknya kadang-kadang nggak punya harapan buat menikah. Itu yang gue rasakan sekarang."
Damian terdiam, Erik benar, ia memang pernah melangkahi kakaknya karena sangat ingin menikahi Bella. Tanpa Damian tahu kalau itu akan berakibat buruk pada kakaknya. Dan, mungkin saja Erik enggan menikah karena efek dari itu, walaupun itu hanya mitos semata.
"Tapi beneran, Dam, gue liat Aletha itu tulus. Dia selalu perhatian ke lu, dan jelas banget kalau dia suka," Maya kembali membahas tentang Aletha.
Damian menghela napas, lalu bersandar ke kursinya. "Kalau dia tulus, dia harus tahu batasan. Gue bosnya, dia bawahannya di kantor. Gue nggak suka dicampuradukkan."
Maya mendecak. "Ah, lu ini kaku banget! Nggak semua hubungan kantor itu berakhir buruk, tahu."
"Dan nggak semua hubungan cinta itu berakhir bahagia," timpal Damian, membuat suasana hening sejenak. Damian seolah mengingatkan mereka pada kegagalan pernikahannya dengan Bella yang sama sekali tak berakhir bahagia.
Maya dan Erik saling pandang. Mereka tahu Damian masih menyimpan luka dari pernikahan sebelumnya, dan mungkin itu sebabnya dia begitu menutup diri.
Erik menepuk bahu adiknya pelan. "Tapi bukan berarti lu harus menutup hati selamanya, Dam."
Damian tidak menjawab, hanya mengambil kembali sendoknya dan melanjutkan makan, mengabaikan topik yang menurutnya tidak perlu dibahas lebih jauh.
Maya mendesah, tahu percakapan ini tidak akan membawa hasil. "Yaudah deh, terserah. Tapi kalau nanti Aletha nyerah dan nikah sama cowok lain, jangan nyesel!"
Damian tetap diam, tapi Maya dan Erik bisa melihat kilatan aneh di matanya sesaat sebelum dia kembali fokus pada makanannya.
*****
Selepas makan malam dan berkumpul dengan keluarganya sebentar, Damian memilih untuk masuk ke kamarnya di lantai satu dan beristirahat. Edo beserta anak dan istrinya juga telah pulang, begitu juga dengan Erik dan Maya yang sama-sama pulang ke rumah masing-masing. Bu Santi dan Pak Pram juga masuk ke kamar mereka untuk beristirahat.
Damian berbaring, menatap langit-langit kamar yang tampak sedikit gelap setelah lampu di matikan dan hanya disinari cahaya bulan dari jendela yang terbuka. Damian tadinya ingin pulang ke rumah pribadinya, namun ia tiba-tiba merasa kesepian dan mengurungkan niatnya.
Damian kembali mengingat Bella, mengingat hari di mana Bella mengajaknya bertemu di hotel dan wanita itu mengajaknya untuk mencoba sebuah kontak fisik antara wanita dan pria. Damian tak habis pikir, mengapa Bella bisa melakukan hal semacam itu?
"Bella pasti punya masalah dengan pacarnya, tapi aku merasa kasihan padanya setelah aku menolaknya malam itu," gumam Damian, sedikit menyesal pernah menolak Bella.
Damian mulai berpikir gila, jika saja malam itu ia tidak menolak Bella, tentu saja ia akan mendapatkan kenikmatan surga dunia yang selama ini ia inginkan dari wanita yang sangat dicintainya. Namun, dengan cepat akal sehatnya kembali, membuat Damian mengusap wajah dengan kasar dan merasa dirinya terlalu terobsesi terhadap Bella.
Diluar, hujan tiba-tiba turun dan deras, udara malam cukup dingin, tetapi Damian tidak menutup jendela kamarnya dan membiarkannya tetap terbuka.
Damian terdiam, menatap langit-langit kamar dan tidak berniat melakukan apapun. Tiba-tiba Damian mendengar suara dari jendela kamarnya, hingga membuat Damian menoleh.
Saat itulah Damian melihat bayangan seseorang yang masuk dengan terburu-buru ke dalam kamarnya lewat jendela yang tak dipasangi teralis. Damian mengernyit, tubuhnya refleks bangkit dan mengambil sesuatu yang bisa digunakan sebagai senjata.
"STOP!" ucap orang itu, menghentikan langkah Damian.
"Siapa lu masuk kamar gue, hah?!" tanya Damian, mengangkat tinggi-tinggi tongkat golf di tangannya.
"Tolong jangan pukul, aku Aletha!" kata orang itu seolah takut.
Damian tidak percaya jika orang itu adalah Aletha, ia segera mendekati saklar lampu dan menyalakan lampunya. Ketika lampu menyala, ia melihat lebih jelas orang itu dengan tubuhnya yang basah kuyup.
"Aletha?" Suaranya terdengar ragu, hampir tidak percaya dengan pemandangan di depannya.
Aletha berdiri di dekat jendela, napasnya sedikit terengah dan tubuhnya gemetar karena kedinginan. Rambut panjangnya menempel di wajah dan bahunya yang basah, dan pakaiannya pun sudah lekat dengan tubuhnya.
"Kamu kenapa? Kenapa kamu masuk kamarku dan lewat jendela?" Damian menyimpan tongkat golf tadi dan berjalan mendekat dengan ekspresi penuh tanda tanya.
Aletha mengangkat wajahnya, matanya yang jernih menatap Damian dengan perasaan yang sulit diartikan. "Maaf… aku nggak ada tempat lain buat pergi, Dam. Maaf, aku lancang."
Damian diam, ekspresinya tetap datar, tetapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia sedang mencerna kata-kata Aletha. "Maksud kamu apa?"
Aletha menggigit bibir bawahnya, tampak ragu, sebelum akhirnya menghela napas. "Aku kabur dari rumah, Dam."
Damian langsung melipat tangan di depan dada. "Jangan bilang kalau kamu kabur gara-gara hal sepele? Apa kali ini kamu ribut sama orang tua kamu cuma karena mereka nggak ngizinin kamu ngelakuin sesuatu yang kamu suka?"
Aletha menatapnya dengan kesal. "Aku nggak segitu kekanakannya, Dam! Aku punya alasan untuk melarikan diri!"
"Terus?" Damian menaikkan sebelah alis, menuntut penjelasan.
Aletha terdiam sejenak, menggigit bibirnya lagi. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tetapi sepertinya ia masih ragu.
Melihat Aletha menggigil kedinginan, Damian menghela napas panjang, kemudian berjalan ke lemari dan mengambil handuk bersih. Ia melempar handuk itu ke Aletha. "Lap badan kamu, kamu bisa sakit kalau terus kedinginan kayak gitu."
"Yang lembut dikit kenapa sih? Kasar banget!" protes Aletha setelah Damian melemparkan handuk padanya.
"Aku bukan tipe orang yang lembut, udah untung aku nggak ngusir kamu," jawab Damian tak peduli.
Aletha mendengus, menerima handuk itu dan segera mengeringkan wajah serta rambutnya. Damian memperhatikannya sebentar sebelum akhirnya bertanya lagi, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Sekarang kamu bisa jelasin kenapa kamu kabur?"
Aletha menatapnya sejenak, lalu dengan suara lirih ia berkata, "Orang tuaku mau jodohin aku sama cowok lain."
Damian terdiam. Perkataan itu seperti angin dingin yang tiba-tiba menerpa dirinya. Tapi, Damian sedikit tak percaya karena Aletha cukup sering berbohong padanya.
"Terus, kenapa kamu harus kabur dari rumah? Kamu kan bisa langsung menolak dijodohkan tanpa harus," tanya Damian.
Aletha mengangkat wajahnya, menatap Damian dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku udah nolak, Dam, tapi orang tuaku tetap mau menjodohkan aku dengan orang itu. Katanya, biar aku bisa jadi istri dari seorang CEO kata raya dan gak usah jadi bawahan kamu lagi. Gila! Mana mau aku sama orang pilihan orang tua? Aku tuh normal, dan aku pengen pilih calon suami yang sesuai tipeku!" jawab Aletha tegas.
"Kamu kan bisa mempertimbangkan dulu, siapa tahu memang papa kamu benar."
"Nggak benar sama sekali. Menjodohkan anak dengan orang lain itu bukan sesuatu yang baik. Aku bukan anak kecil lagi, aku berhak memilih calon suami yang aku mau. Yang menjalani kehidupan rumah tangga kan aku, bukan mereka."
Damian mendesah, "Ya, aku tahu. Tapi kalau menurut orang tua kamu pilihan mereka baik, bukankah nggak ada salahnya kamu mencoba lebih dekat dengan laki-laki itu dan mengenalinya dengan baik sebelum kalian menikah?"
Aletha menggeleng cepat, "Nggak mau, Damian. Aku nggak mau dijodohin sama siapa pun… karena aku cuma mau sama kamu. Walaupun kamu gak suka cewek, tapi aku gak akan menyerah!"
Damian mengerjap, hatinya tiba-tiba terasa aneh, seperti ada sesuatu yang meremasnya. Ia tidak langsung menjawab, hanya memandangi Aletha yang berdiri di depannya dengan ekspresi serius.
Aletha melangkah maju, mendekatinya sedikit. "Dam, aku serius. Aku beneran suka sama kamu sejak dulu. Kamu bisa nggak, setidaknya kasih aku kesempatan? Aku gak apa-apa kok, cuma jadi teman hidup tanpa kamu sukai, aku cukup jadi bagian dari hidup kamu aja."
Hujan di luar semakin deras, menciptakan suara gemuruh yang mengisi kesunyian kamar itu. Damian masih diam, tak tahu harus merespons seperti apa. Ia tahu Aletha menyukainya, tetapi mendengar pengakuan langsung seperti ini… membuatnya sedikit goyah.
"Kenapa harus aku? Banyak laki-laki diluar sana yang bakal suka sama kamu, Al," tanya Damian.
"Nggak tahu kenapa, tapi aku nggak bisa menyukai cowok lain selain kamu. Aku tahu kamu sukanya sama cowok juga, tapi orang tua kamu gak tahu tentang itu kan? Kamu bisa nikah sama aku buat sembunyikan kelainan kamu itu, biar mereka gak kecewa."
Damian terdiam kembali, Aletha tampaknya serius dengan perasaannya pada Damian. Haruskah ia membuka hati untuk Aletha?
Damian melihat Aletha menggigil kedinginan, hanya handuk yang ia berikan yang dijadikan selimut oleh Aletha.
"Mau aku antarkan pulang?" tawar Damian.
Aletha langsung menatap sengit padanya, "Sengaja ya, biar aku jadi nikah sama orang lain, hah?!"
Damian terkekeh, "Gitu aja ngambek, sana mandi, kamu bisa pakai bajuku dulu."
Aletha masih menatap sengit padanya, kemudian dia mendelik sebal dan masuk ke kamar mandi milik Damian. Pria itu keluar dari kamar, mengambil lap kering dan mengelap sisa air yang berasal dari tubuh Aletha yang basah.
"Dasar aneh, kalau gak mau di jodohkan harusnya gak usah kabur kayak gini. Dasar bocah," ucap Damian sambil mengelap lantai.
Tak lama kemudian, suara pintu kamar mandi terbuka, Damian mendongak dan melihat Aletha keluar dengan menggunakan handuk saja. Tentu saja Damian terkejut, gadis itu terlalu berani padahal di kamar seorang pria.
"Dam, mana bajunya?" tanya Aletha dengan wajah polos seakan tak merasa risih berpenampilan seperti itu di depan Damian.
"A-ambil aja di lemari," jawab Damian gugup, sembari memalingkan muka.
"Oke."
Aletha pergi ke arah lemari dan mengambil sebuah kaos, kemudian masuk ke kamar mandi untuk memakai bajunya. Sementara itu, Damian masih belum bisa berpikir jernih setelah Aletha berpenampilan hampir telanjang, ia merasa sesuatu terjadi dalam dirinya.
"Sial!" umpatnya.
Damian buru-buru menyimpan lap tadi ke dapur dan kembali ke kamarnya. Ia berbaring di tempat tidur, berusaha menghilangkan pikiran mesum dari benaknya.
Aletha keluar kamar mandi lagi dengan memakai kaos milik Damian yang cukup tebal, namun tidak bisa benar-benar menyembunyikan apa yang menyembul dari balik kaos, Damian semakin meradang. Aletha langsung naik ke tempat tidur tanpa meminta izin, ia menarik selimut menutupi tubuhnya.
"Hei, aku belum kasih kamu izin buat tidur di sini. Ngapain langsung tiduran aja?" tegur Damian.
"Terus, kamu mau aku pulang dalam keadaan hujan begini? Tega banget!"
"Bukan... maksudnya, kamu kan bisa tidur di tempat lain, jangan di sini."
"Aku pengen tidur sama kamu sesekali," jawab Aletha seenaknya.
Damian mendengus, di dunia ini hanya Aletha yang menurutnya gadis paling menyebalkan dan aneh. Akhirnya, Damian tak melarang Aletha tidur dengannya, dipaksa pindah pun hanya akan membuatnya marah.
"Kamu gak mau menyimpan bantal atau sesuatu di tengah-tengah kita?" tanya Damian.
"Nggak usah, buat apaan?"
"Kamu gak takut aku ngapa-ngapain kamu?"
"Kamu kan gak suka cewek!" jawab Aletha telak, sambil berbalik membelakangi Damian.
Damian menghela napas, ia lupa kalau dirinya pernah mengatakan pada Aletha mengenai dirinya yang tak suka perempuan.
Damian tak berkata-kata lagi, membiarkan Aletha tidur nyenyak di sisinya. Namun, malam ini membuat Damian serba salah, keberadaan Aletha di sisinya membuat ia takut kebablasan.
"Ya Tuhan... kenapa harus ada makhluk seperti Aletha di dunia ini?"
BERSAMBUNG...
padahal Damian sudah menemukan pelabuhannya
selesaikan dulu masa lalumu dam
kamu harus menggunakannya cara yang lebih licik tapi elegan untuk menjaga Damian yang sudah jadi milikmu