Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Keesokan paginya, sinar matahari yang menembus celah gorden membuat Aruna meringis. Ia menggeliat malas di tempat tidur, lalu meraih ponsel di nakas. Begitu layar menyala, matanya langsung melebar.
07.00.
“Ya Tuhan! Aku telat!” serunya panik.
Ia langsung meloncat dari ranjang, berlari ke kamar mandi tanpa sempat menata tempat tidur. Rambutnya masih berantakan, wajahnya kusut, tapi tak ada waktu untuk peduli. Aruna mandi dengan terburu-buru, hampir terpeleset saat bergegas keluar.
“Duh, duh, duh! Kenapa aku bisa kebablasan tidur sih?!” umpatnya sambil menyambar baju kerja. Dengan tergesa ia memasang kemeja, rok, lalu mengeringkan rambut seadanya dengan handuk.
Makeup? Hanya sempat polesan tipis. Sarapan? Sudah jelas terlupakan. Perutnya memang protes, tapi tidak ada waktu.
Setelah mengambil tas, Aruna siap keluar rumah. Namun baru beberapa langkah, ia berhenti mendadak. “Dompetku mana?!”
Ia panik. Segera membongkar tas, membuka laci meja, mengintip ke kolong ranjang, bahkan mengobrak-abrik sofa ruang tamu. “Ya ampun, jangan bilang aku ketinggalan di kantor kemarin…” gumamnya cemas.
Setelah hampir sepuluh menit mencari, ia menemukan dompet itu di bawah meja kecil di dekat ranjang. “Astaga, ternyata jatuh di sini.”
Ketika akhirnya keluar rumah, waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi. Aruna hampir menangis saat menatap jam di pergelangan tangannya. “Aduh… aku mati kali ini…”
Perjalanan ke kantor ia tempuh dengan serba buru-buru. Sesampainya di depan gedung, napasnya ngos-ngosan, kemeja yang ia kenakan sedikit kusut, dan wajahnya memerah karena panik.
Begitu masuk lobi, ia bisa merasakan tatapan beberapa karyawan lain yang sudah lebih dulu datang. Aruna menunduk, mencoba bergegas ke meja kerjanya. Namun langkahnya terhenti ketika seorang rekan mendekat.
“Aruna, Pak Arkan nyari kamu,” bisik salah satu teman sekantornya dengan wajah canggung.
Aruna langsung pucat. “S-sekarang?”
“Ya. Katanya begitu kamu datang, langsung ke ruangannya.”
Aruna menelan ludah. Tangannya yang menggenggam tas terasa dingin. “Astaga… mampus aku…”
Dengan langkah berat, ia menuju lantai atas. Setiap langkah terasa semakin mempercepat degup jantungnya.
Begitu sampai di depan pintu berlapis kaca dengan plakat bertuliskan Arkan Dirgantara – Direktur Utama, Aruna berhenti sebentar. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi tangannya tetap bergetar saat mengetuk pintu.
“Masuk.” Suara berat itu terdengar jelas dari dalam.
Aruna membuka pintu perlahan. Ruangan itu dingin, modern, dengan rak buku tinggi dan jendela besar menghadap kota. Arkan duduk di balik meja, jas hitamnya rapi, tatapannya tajam mengarah pada Aruna begitu gadis itu melangkah masuk.
“Selamat pagi, Pak…” ucap Aruna pelan, mencoba tersenyum sopan.
Arkan menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangan bertaut di depan dada. “Pagi?” Nada suaranya dingin. “Aruna, lihat jam berapa sekarang.”
Aruna menunduk dalam. “M-maaf, Pak… saya terlambat.”
“Jam sembilan lewat sepuluh menit.” Suara Arkan terdengar tenang, tapi justru semakin menekan. “Dan kau masih bisa bilang itu hanya terlambat?”
Aruna menggigit bibir bawahnya, tubuhnya kaku. Ia ingin memberi alasan—tentang ketiduran, dompet yang hilang—tapi semua kata rasanya sia-sia di depan tatapan lelaki itu.
Arkan terdiam sejenak, matanya tidak lepas menatap Aruna yang tampak gelisah. Lalu ia bangkit dari kursinya, berjalan perlahan mendekat.
“Aruna…” suaranya lebih rendah kali ini, tapi tetap tajam. “Kemarin kau sudah membuatku khawatir. Dan hari ini, kau datang seolah-olah aturan kantor ini tidak berlaku untukmu.”
Aruna menunduk semakin dalam, wajahnya memanas bukan hanya karena takut, tapi juga karena setiap kata Arkan menusuk perasaannya.
Suasana ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar detak jam dinding dan deru napasnya yang memburu. Arkan berdiri semakin dekat, hingga bayangannya menutupi tubuh Aruna. Gadis itu bisa merasakan hawa dingin bercampur aura tegas lelaki itu.
“Jadi menurutmu… apa yang pantas aku lakukan pada seorang karyawan yang datang terlambat lebih dari satu jam?” tanya Arkan pelan, nadanya tenang tapi menusuk.
Aruna meremas ujung roknya. “M-maaf, Pak… saya benar-benar tidak bermaksud—”
“Diam.” Arkan memotong, tatapannya menusuk. Ia berjalan memutari Aruna perlahan, seakan menilai gadis itu dari ujung kepala sampai kaki. “Alasan tidak akan mengubah fakta. Kau terlambat. Dan dalam aturan kantor, keterlambatan itu ada konsekuensinya.”
Jantung Aruna berdebar keras. Kepalanya dipenuhi bayangan buruk, surat peringatan, potong gaji, atau bahkan… pemecatan.
“Pak, tolong… jangan sampai saya—”
Arkan berhenti tepat di sampingnya. Tubuh tingginya menjulang, membuat Aruna merasa semakin kecil. Lelaki itu menundukkan kepala sedikit, wajahnya mendekat hingga hampir sejajar dengan telinga Aruna.
Gadis itu membeku. Aroma maskulin dari parfum Arkan tercium jelas, bercampur dengan hawa panas yang tiba-tiba memenuhi pipinya.
Lalu suara berat itu berbisik rendah, begitu dekat hingga membuat bulu kuduknya meremang.
“Hukumanmu…” jeda sebentar, bibir Arkan melengkung samar. “…menemani aku malam ini. Kita pergi ke bar.”
Aruna sontak menoleh, matanya melebar tak percaya. “A… apa?”
Arkan menatapnya lurus, ekspresinya tetap serius meski ada kilatan samar di matanya. “Kau dengar. Malam ini. Jangan buat alasan lagi. Anggap saja… itu ganti rugi atas keterlambatanmu.”
Aruna tercekat, wajahnya panas seketika. Ia hampir tak bisa menemukan kata. “T-tapi Pak… itu—”
“Kau menolak?” Nada suara Arkan terdengar berbahaya, meski senyumnya tipis menghiasi wajah. “Kalau kau lebih suka hukuman potong gaji, bisa saja.”
Aruna buru-buru menggeleng, wajahnya merah padam. “T-tidak, Pak…”
“Bagus.” Arkan berdiri tegak kembali, kembali ke mejanya seolah percakapan barusan tak pernah terjadi. “Kembali ke meja kerjamu. Siapkan laporan mingguan. Dan ingat…” ia menatap sekilas dengan tatapan dalam, “…malam ini aku tunggu.”
Aruna melangkah keluar dengan kaki gemetar. Jantungnya masih berdegup kencang, pikirannya kacau.
“Ya ampun…” ia menutup wajah dengan kedua tangannya begitu sampai di koridor. “Bareng bos ke bar… itu hukuman atau jebakan, sih?”