Seorang gadis berusia tujuh belas tahun secara tak sengaja menyelamatkan nyawa seorang raja mafia yang dingin dan penuh bahaya. Bukannya jadi korban dalam pertarungan antargeng, ia malah jadi istri dari pria yang selama ini ditakuti banyak orang.
Gadis itu polos dan manis. Sedangkan pria itu tegas dan kuat, dan hampir sepuluh tahun lebih tua darinya. Tapi, ia tak kuasa menolak perasaan hangat yang gadis itu bawa ke dalam hidupnya.
Meski membenci dunia gelap yang pria itu jalani, ia tetap tertarik pada sosoknya yang dingin dan berbahaya.
Dan sejak saat itu, takdir mereka pun saling terikat—antara gadis menggemaskan dan raja mafia muda yang tak pernah belajar mencintai...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 05. Unspoken heartbreak
Suasana sekolah mendadak berubah. Siswa-siswa mulai kerumunan, seolah tahu ada suatu keributan.
"Apa hobi kalian menindas orang lain!" bentak Talia tajam.
"Dia yang duluan bentak aku," bela Anna dengan wajah kesal.
"Talia, jangan salah paham. Ini semua salahku," ucap Selina lirih.
"Selina, kenapa kamu malah minta maaf?" Gisel tampak bingung dan nggak terima.
"Selina, berhenti pura-pura jadi orang baik. Liora udah pindah. Masih kurang apa lagi? Dengerin baik-baik, kalau kalian masih ganggu dia, aku yang bakal turun tangan." Tatapan Talia begitu tajam dan dingin.
Gisel dan Anna langsung menunduk.
Mereka tahu siapa Talia. Di belakangnya ada Valeria Group. perusahaan keluarganya yang besar dan berpengaruh. Dan bisnis keluarga mereka bukan tandingannya.
Selina menatap Talia, dalam hatinya ia sudah mengumpat berkali-kali. Tapi wajahnya tetap terjaga. Ia tetap ingin jadi gadis paling anggun di sekolah ini. Yang dikagumi semua orang.
“Talia, ayo pergi,” ucap Liora datar, tanpa sedikit pun menoleh ke arah mereka.
“Hmm.” Talia hanya mengangguk.
Namun belum sampai beberapa langkah, suara lembut Selina terdengar di belakang mereka, “Kak, tunggu sebentar.”
Liora menghentikan langkahnya sejenak, tapi tidak ingin menatapnya. “Mau apa lagi?” suaranya tenang, tapi tajam.
“Ayah bilang... dia ingin kamu pulang malam ini. Katanya sudah lama nggak makan malam bareng. Lagi pula… tunanganku juga akan datang,” ucap Selina pelan, mencoba bersikap ramah.
Talia melirik Liora dan menyentuh lengan temannya pelan.
Pulang? Sudah lebih dari dua bulan ia tak menginjakkan kaki di rumah itu. Dan sekarang, ayahnya baru ingat bahwa ia punya putri sulung?
“Baiklah,” Liora akhirnya menjawab. “Aku akan pulang malam ini.”
Setelah berkata begitu, ia menarik Talia pergi, tanpa melihat ke belakang lagi.
Begitu Liora dan Talia menghilang dari pandangan, senyum licik muncul di wajah Selina.
“Selina, bukankah tunanganmu itu, pacarnya Liora? Sepertinya dia belum tahu,” gumam Anna, seolah menikmati drama yang akan terjadi.
“Haha... Aku penasaran, gimana ekspresi Liora nanti malam,” sahut Gisel dengan nada puas.
“Meskipun sekarang Damien milikku, tetap saja aku merasa sedikit bersalah padanya,” ujar Selina dengan tampang sedihnya. Padahal, di balik itu semua, ada rencana busuk yang sudah berputar di kepalanya.
“Selina, kamu tuh terlalu baik. Damien kan udah jelas pilih kamu, artinya dia memang udah nggak cinta sama Liora,” ujar Anna cepat-cepat, menenangkan gadis itu.
“Bener banget. Kamu tuh nggak usah terlalu mikirin Liora. Dia juga ga layak diperlakukan dengan baik,” timpal Gisel, wajahnya penuh ejekan.
“Terimakasih, kalian memang selalu mendukungku,” ucap Selina manis, tapi tatapan matanya sama sekali nggak semanis senyumnya.
Di sisi lain.
Talia membantu Liora menyeka lukanya, menatap sahabatnya itu dengan serius.
Liora membuka mata lebar-lebar sambil cemberut. lalu mengedip pelan, ia tampak menggemaskan seperti anak kecil yang baru saja dimarahi.
"Kamu ini beneran udah dewasa atau belum sih?" tanya Talia, mencoba mencairkan suasana dengan ekspresi jahil.
"Entah," sahut Liora sambil memanyunkan bibirnya.
Talia tertawa kecil, lalu wajahnya berubah cemas. "Tapi serius, kamu mau pulang malam ini?"
Liora mengangguk pelan. "Iya. Bagaimanapun juga, dia tetap ayahku."
Talia menarik napas. "Aneh, sejak kapan Selina punya tunangan? Kamu sudah tahu?"
"Gak tuh," jawabnya santai.
"Tenang aja, nanti juga kelihatan sendiri."
Talia melipat tangan di dada, lalu menyenggol bahunya. "Ngomong-ngomong, kamu sama Damien gimana sekarang?"
"Dia lagi sibuk akhir-akhir ini, jadi aku tidak menganggu nya dulu." Liora tersenyum kecil, tapi pikirannya tampak kosong sesaat.
Talia menjentik dahinya pelan.
“Aduh, kenapa sih?” Liora mengerucutkan bibirnya, pura-pura kesal.
Melihat wajah cemberut temannya, gadis itu malah tertawa senang.
“Udah, ayo balik ke kelas,” ujarnya sambil menarik tangan Liora.
“Ya, ayo.” Liora mengangguk.
Hari pun berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, malam sudah tiba.
Sesuai janjinya, sepulang dari sekolah ia langsung pulang ke rumah. Tapi saat berdiri di depan gerbang vila itu, dia merasa asing. Seolah-olah tempat itu bukan lagi miliknya.
Vila megah itu tampak megah. Gerbang tinggi, taman yang dipenuhi bunga mawar, dan perabotan mahal di halamannya
Begitu pintu terbuka, suasana di dalam rumah jauh lebih elegan. Interior mewah dengan lampu kristal menggantung, karpet tebal, dan hiasan berkelas—semuanya menegaskan betapa berharganya rumah ini.
“Nona, Anda pulang,” sambut seorang pria tua dengan ramah.
“Paman Lee,” Liora memanggilnya pelan.
“Ayo masuk, cepat,” ucap Paman Lee dengan senyum hangat.
Begitu Liora masuk, matanya langsung menangkap pemandangan yang menyesakkan—ayahnya sedang duduk santai, tertawa kecil sambil mengobrol dengan Selina.
“Kak, kamu sudah pulang,” sapa Selina dengan senyum manis yang terdengar palsu di telinganya.
“Cepat ke sini. Tunangan adikmu akan datang sebentar lagi,” ujar ibu tiri, Liliane, dengan nada ramah seolah mereka satu keluarga.
Liora mengabaikan keduanya. Ia berjalan lurus ke arah pria yang dulu ia panggil ayah dengan penuh hormat.
“Ayah,” ucapnya tegas.
Namun, bukan sapaan hangat yang ia terima, melainkan teguran dingin.
“Liora, kenapa sikapmu seperti itu? Apa kamu lupa bagaimana caranya menyapa ‘Ibu’ dan ‘Adikmu'!”
Liora tersenyum miris. Hatinya sudah terlalu kebal untuk kata-kata semacam itu.
“Aku cuma punya satu ibu, dan beliau sudah meninggal. Dan beliau juga nggak pernah melahirkan Adik untukku,” ucapnya pelan namun jelas.
Plak! Suara tamparan melayang dari Leonard. “Kau benar-benar tidak tahu diuntung!”
Liora menunduk sedikit, bukan karena takut—tapi menahan agar emosinya tak meledak.
Liliane melirik putrinya, seolah memberi isyarat, Selina pun berbicara.
“Ayah, nggak apa-apa. Aku dan Ibu nggak keberatan. Mungkin Kak Liora cuma lagi sensitif,” ucapnya dengan suara lembut.
“Liora, kau harus belajar dari Selina. Lihat bagaimana sopannya dia,” ujar Leonard, menunjuk Selina.
"Tuan, tamu Nona sudah datang," ucap pelayan sambil masuk terburu-buru.
"Suruh dia masuk," jawab Leonard tanpa pikir panjang.
Selina pun berjalan ke sisi Liliane. Keduanya saling bertukar pandang, seolah menyembunyikan sesuatu.
Tak lama kemudian, suara tenang dan sopan terdengar dari arah pintu.
"Paman, Bibi, maaf kalau aku datang terlambat."
Seorang pria tinggi dan tampan muncul di ambang pintu.
Kulitnya cerah, sorot matanya tajam namun lembut, dan senyumnya penuh percaya diri.
Siapa pun yang memandangnya bisa jatuh hati dalam sekejap.
Saat suara itu menyapa, semua menoleh. Liora yang baru saja menyentuh cangkir di tangannya, tertegun. Cangkir itu jatuh dan pecah di lantai.
Matanya membulat dan wajahnya pucat seketika.
Selina meliriknya sekilas, ia mendekati pria itu dan menggenggam lengannya dengan bangga.
"Kak, kenalin… ini tunanganku," ucapnya dengan senyum yang menusuk..
ditunggu up nya lagi...😊