NovelToon NovelToon
Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Bad Boy / Trauma masa lalu / Barat / Mantan
Popularitas:790
Nilai: 5
Nama Author: Yellow Sunshine

Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hal Tak Terduga

Aku baru saja selesei merapikan rambut panjangku, saat suara ponselku tiba-tiba berdering. Aku menyambar ponselku yang tergeletak di atas ranjang, dan mendapati nama Nick muncul pada layar ponsel yang menyala, membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, sebelum akhirnya menjawab panggilan tersebut. "Halo, Nick!", seruku.

"Halo, Nora! Aku sudah di depan rumahmu."

"Oh, baiklah. Tunggu, aku akan keluar."

"Baiklah."

Aku kembali menatap bayangan diriku di cermin besar di dalam kamarku, sekali lagi. Menatap sebuah blouse putih dan celana panjang berwarna krem yang terlihat nyaman menempel pada tubuhku. Tidak lupa sepatu sneakers putih dan totebag kecil yang tampak serasi dengan pakaianku.

Aku mengirim pesan pada Ibu yang sudah beberapa hari ini kembali disibukkan dengan butik barunya, untuk mengabarinya kalau aku sudah akan berangkat ke Gainesville. Sebenarnya semalam aku sudah memberitahunya, juga Ayah, tentang rencanaku pergi ke University of Florida bersama Nick untuk tur kampus pribadi. Ibu sempat menggodaku dan bertanya tentang Nick lebih jauh. Namun, aku meyakinkannya bahwa kami hanya sebatas teman. Setidaknya untuk saat ini.

Saat aku melangkahkan kaki keluar rumah, aku melihat Nick berdiri di samping mobil sedannya. Ia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna abu-abu dan celana jeans biru gelap, dengan rambut cokelatnya yang ditata begitu rapi. Tampak menawan seperti terakhir kali aku melihatnya.

Saat kedua matanya menangkap sosokku, ia langsung tersenyum. "Hai, Nora!", sapanya hangat.

"Hai, Nick!", jawabku, membalas senyuman itu.

Ia berjalan mendekat dan membukakan pintu mobil untukku, membuatku sedikit salah tingkah. "Sudah siap untuk tur kampusnya?", tanyanya.

"Ya, tentu.", jawabku, lalu masuk ke dalam mobil sedan miliknya.

Nick masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Ia menatapku sejenak, tersenyum, lalu kembali menatap ke depan dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Pagi ini matahari bersinar cerah dengan wajah langit yang tampak biru, bersih. Dan di sepanjang jalan yang cukup lengang, tampak pepohonan yang meliuk-liuk karena belaian angin yang menyapunya perlahan.

Di dalam mobil, awalnya kami saling diam. Namun, tidak lama setelah itu Nick berhasil mencairkan suasana dengan membuka obrolan tentangku.

"Jadi, sebelumnya kamu tinggal di California, Nora?", tanya Nick, sambil tetap fokus menyetir.

"Ya. Sebenarnya aku lahir dan besar di sini. Tapi, saat di tahun kedua SMA, Ayah membawa kami pindah ke California karena urusan pekerjaannya."

"Benarkah? Lalu, apa yang membuatmu akhirnya kembali lagi ke Florida?"

"Alasan yang sama seperti saat aku pindah ke California."

"Oh, baiklah. Aku mengerti. Lalu, bagaimana menurutmu tinggal di Florida? Apakah sebaik di California?"

"Ehm, entahlah, Nick. Sejauh ini aku masih menikmatinya. Semoga saja kedepannya akan terus begitu. Jika tidak, aku pasti akan menyesal sekali sudah meninggalkan kehidupan yang sangat menarik di California."

"Hmm, bukankah kehidupan di California cukup serius dan kompetitif?"

"Ya, sebagian memang begitu. Tapi sebagian lainnya sangat menarik. Festival seni, festival film, konser Indie, kafe dan bar unik, dan lainnya. Kamu tidak akan pernah merasa bosan dengan hiburan yang ada disana."

"Benarkah? Aku belum pernah kesana."

"Hmm, mungkin suatu hari nanti aku bisa mengajakmu berjalan-jalan ke sana dan menikmati suasana perkotaan yang menyenangkan."

"Baiklah, aku akan menagihnya padamu suatu hari nanti.", kata Nick, sambil tertawa kecil.

"Baiklah.", balasku, tersenyum lebar.

Sepanjang perjalanan menuju University of Florida di Gainesville, aku dan Nick berbicara tentang banyak hal, seperti tempat makan di dekat kampus yang banyak digemari mahasiswa, klub kampus favorit, bahkan tentang masa kecil kami. Nick bilang bahwa sebelum pindah ke Alachua, dulunya ia tinggal di Westchase.

Hal tersebut sempat memunculkan tanda tanya dalam benakku. Jika memang Nick lahir dan besar di Westchase, lantas kenapa kami tidak pernah bertemu sekalipun dulu. Bahkan saat aku masih duduk di bangku SMP dan SMA, banyak teman sekelasku yang tinggal di Westchase. Sebab Westchase dan rumahku yang berlokasi di Town n' Country hanya berjarak sekitar 10 km saja.

Aku sempat bertanya pada Nick tentang hal tersebut. Tapi, ia bilang itu adalah cerita yang sangat panjang. Ia berjanji akan menceritakan padaku nanti, setelah kami menyelesaikan kegiatan tur kampus pribadi ini. Nick bilang, ia tidak ingim cerita tentang kehidupannya akan merusak suasana yang menyenangkan ini. Tanpa bertanya lagi, aku pun mengiyakan.

Sekitar satu jam kemudian, kami tiba di area kampus University of Florida, saat waktu sudah menunjukkan lewat pukul sembilan pagi.

"Sudah siap?", tanya Nick, sebelum kami turun dari mobil sedan miliknya.

"Ya, tentu.", jawabku, sambil tersenyum.

Nick membawaku berjalan-jalan menyusuri area kampus. Ia memberitahuku lokasi berbagai fakultas disana, perpustakaan utama kampus, lapangan untuk keperluan seremonial, gedung-gedung untuk keperluan seminar dan berbagai fasilitas yang ada disana, termasuk asrama kampus. Cukup melelahkan menjelajahi area kampus yang begitu luas, namun juga menyenangkan.

Tujuan terakhir kami adalah fakultas tempatku akan berkuliah nantinya. Aku dan Nick akan berkuliah di fakultas yang berbeda. Aku mengambil jurusan bisnis di fakultas bisnis Warrington. Sedangkan Nick mengambil jurusan hukum di fakultas hukum Levin. Jadi besar kemungkinan kami akan lebih banyak bertemu di luar kegiatan akademik nantinya.

Kami sudah menghabiskan waktu sekitar satu jam lebih berkeliling kampus—menjelajahi bangunan-bangunan dan berbagai fasilitas yang ada di dalamnya. Tidak lupa juga, Nick menunjukkanku setiap sudut-sudut kecil yang menjadi tempat biasa mahasiswa bersantai. Ia tampak begitu mengenal setiap sudut yang ada di area kampus ini. Lalu, Nick menunjukkan padaku bangku di bawah pohon besar, tempat ia sering duduk sendirian, untuk belajar dan merenung. Katanya, mungkin nanti aku juga akan membutuhkan tempat itu, saat tugas-tugas kuliah atau kehidupan kampus mulai sedikit mengusik.

"Tur selesai.", katanya, begitu kami sudah menyelesaikan perjalanan tur kampus pribadi ini.

"Apa ada yang ingin Anda tanyakan, Nona Nora?", gurau Nick, tersenyum kepadaku.

"Kurasa semuanya sudah cukup jelas, Tuan Nicolas.", kataku, membalas gurauannya, lalu tersenyum.

"Ehm, kamu lapar?"

"Sedikit.", jawabku, sambil mengangguk.

"Sayangnya, aku belum bisa membawamu ke kantin kampus dan menunjukkanmu makanan terbaik apa saja yang ada disana. Lain kali, aku akan menunjukkannta saat kantin sudah buka.", jelasnya.

"Baiklah. Aku akan menagihmu nanti.", balasku, mengulang kalimatnya beberapa saat yang lalu.

"Ehm, bagaimana kalau kita mampir ke rumahku? Tidak terlalu jauh, hanya sekitar 15 menit dari sini. Aku bisa membuat sesuatu untuk makan siang."

"Benarkah?", tanyaku, agak terkejut. "Kamu bisa memasak?"

"Ya. Sejak beberapa tahun yang lalu. Bagaimana?"

"Baiklah."

Seperti yang Nick bilang. Hanya butuh waktu sekitar lima belas menit untuk tiba di rumahnya yang berlokasi di Alachua. Rumah Nick berada di lingkungan yang tenang, dengan halaman depan yang tidak terlalu luas dan tanaman rambat di dinding bata. Sementara di dalamnya terdapat rak buku penuh, gitar yang bersandar di dinding, juga aroma kopi yang tercium samar. Rumah yang sederhana, namun terasa hangat dan nyaman.

"Kamu bisa menunggu disini, atau menemaniku membuat sandwich di dapur.", kata Nick, saat kami berada di ruang tamu.

"Aku ikut.", kataku.

"Baiklah. Ayo!"

Aku melangkahkan kaki menuju dapur, tepat di belakang Nick. Melewati sebuah ruangan yang tampaknya seperti ruang tengah untuk bersantai, tepat di sebelah dapur.

"Duduklah! Aku akan membuatnya dengan cepat.", kata Nick. Memintaku untuk duduk di sofa panjang di ruang tengah yang langsung terhubung dengan dapur, tanpa sekat apapun.

Aku mengamati seluruh ruangan yang tampak bersih dan rapi itu. Sementara, Nick tampak sibuk dengan kegiatan memasaknya.

"Rumahmu sangat hangat dan nyaman, Nick", kataku.

"Trims, Nora. Maaf, kalau disini sedikit berantakan. Aku sudah berusaha membersihkan dan merapikannya setiap hari. Tapi, terkadang aku tidak sempat melakukannya saat kegiatan perkuliahan sudah semakin padat dan jam kerjaku membuatku kelelahan."

Aku mengerutkan dahi, berusaha mencerna ucapannya.

"Ya. Aku tinggal sendirian di sini, Nora.", sahut Nick, menyadari akan ekspresi bingung yang tampak pada wajahku. "Sebenarnya, aku tinggal dengan kakakku. Tapi dia bekerja di luar kota dan jarang sekali pulang. Mungkin, hanya ketika hari-hari perayaan saja. Jadi, bisa dibilang aku lebih sering sendiri disini."

"Lalu, orangtuamu?", tanyaku.

"Mereka sudah meninggal.", jawab Nick, membuatku sontak merasa bersalah karena bertanya tentang hal tersebut.

"Tidak apa-apa, Nora. Jangan merasa bersalah. Aku sudah berdamai dengan semua itu.", sahut Nick, menyadari perubahan ekspresiku. "Ayo kita makan dulu! Mau makan disini atau di ruang tamu?", tanya Nick, sambil membawa dua piring berisi sandwich yang sudah selesai ia buat.

"Disini saja, tidak apa-apa.", jawabku lemah, masih merasa tidak enak karena tanpa sengaja sudah mengungkit tentang kematian kedua orang tua Nick.

"Baiklah.", Nick meletakkan dua piring berisi sandwich tersebut di atas meja di depan sofa panjang yang kududuki. Sementara, dirinya melangkahkan kaki menuju lemari pendingin untuk mengambil dua kotak jus jeruk.

"Selamat menikmati!", serunya, saat sudah duduk di atas sofa, di sebelahku.

"Trims, Nick.", ucapaku, lalu menyantap roti sandwich buatan Nick yang ternyata enak sekali. "Hmm, enak sekali, Nick. Ternyata kamu jago memasak.", pujiku, dengan senyum yang sedikit dipaksakan, karena masih merasa bersalah terkait pertanyaanku tadi.

"Sungguh. Tidak apa-apa, Nora. Aku harus bisa menerima kepergian orangtuaku. Ehm, aku akan menjawab pertanyaanmu di mobil saat berangkat tadi."

Aku menatapnya lekat. "Nick. Tidak perlu membahasnya lagi, jika itu akan membuatmu mengingatnya dan sedih."

"Tidak apa-apa, Nora. Aku baik-baik saja."

"Hmm, baiklah."

"Jadi, seperti yang sudah kukatakan di mobil tadi. Sebelum pindah kesini, aku lahir dan besar di Westchase. Dulu, kami tinggal di sebuah rumah yang cukup besar. Aku, kakakku, dan kedua orangtuaku. Dan, saat SD dulu aku sempat mengalami bullying yang cukup parah di sekolah. Jadi, semenjak saat itu, aku mengikuti homeschooling hingga jenjang SMA dan mengikuti GED untuk bisa mendapatkan ijazah kelulusan. Mungkin itu alasan kita tidak sempat bertemu dulu, meski tinggal di daerah yang cukup berdekatan."

"Aku ikut prihatin karena kamu mengalami hal mengerikan seperti itu, Nick."

"Ya, Nora. Itu adalah kenangan yang sangat buruk. Tapi, semenjak kejadian buruk itu menimpaku, kakakku selalu mengajariku bela diri untuk pertahanan diri dan mengendalikan lawan. Dia sangat mahir dalam hal itu."

"Dia kakak yang baik, Nick."

"Ya. Selalu."

"Lalu apa yang terjadi, Nick? Apa yang membuatmu pindah ke Alachua?"

"Ayahku mengalami persaingan bisnis yang tidak sehat saat itu, Nora. Rekan bisnisnya menjebaknya, menipunya habis-habisan. Hingga rumah dan semua aset yang kami miliki hilang dalam sekejap. Dan itulah yang membuat kami harus pindah kesini. Karena, rumah ini adalah satu-satunya yang kami miliki pada saat itu. Rumah ini adalah rumah peninggalan orangtua Ibu—nenek dan kakekku yang sudah meninggal."

Nick tampak menjeda ucapannya. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, sebelum kembali melanjutkan ceritanya. "Tidak hanya sampai disitu, Nora. Pada suatu malam, kakakku kabur dari rumah. Semenjak kepindahan kami saat itu, dia memang sering menyendiri dan merenung. Dia pasti terpuruk. Dia bahkan memutuskan untuk keluar dari sekolah, agar aku tetap bisa bersekolah. Malam itu, Ayah dan Ibu mencarinya ke seluruh penjuru kota ini, namun hal buruk malah menimpa mereka. Mereka mengalami kecelakaan yang cukup parah dan meninggal dunia. Dan, sejak saat itu aku selalu menyalahkan kepergian orangtuaku pada kakakku dan membuat hubungan kami menjadi semakin berjarak. Aku tahu, sebenarnya itu bukan salahnya. Karena, saat itu kami semua sedang terpuruk. Hanya saja, saat itu aku terlalu pengecut hingga mencari seseorang untuk bisa disalahkan atas kematian orangtuaku. "

"Nick, Aku tahu semua itu pasti berat untuk kalian. Dan, saat itu usiamu masih belasan tahun. Kamu sudah mengalami hal-hal buruk. Maaf, karena sudah membuatmu mengingatnya lagi.", aku mengganggam salah satu tangan Nick, mencoba menenangkannya, memberinya sedikit kekuatan.

"Tidak apa-apa, Nora. Sebesar apapun aku mencoba melupakannya, aku tidak akan pernah bisa. Karena itu adalah bagian dari cerita hidupku. Jadi, satu-satunya jalan yang bisa kuambil adalah menerima dan berdamai dengan itu semua.", kata Nick, menatapku dengan senyuman getir.

"Kamu pria yang tegar dan kuat, Nick. Kamu pasti akan menemukan kebahagiaanmu, bersama kakakmu.", kataku, mengusap setetes air mata yang tanpa sengaja membasahi ujung mata Nick.

Nick menatap mataku dalam, lama, sendu, entah apa yang sedang ada di dalam benaknya, atau apa yang sedang dirasakannya. Tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba ia mendekat, memajukan tubuhnya, sangat perlahan. Hingga aku bisa merasakan hangat dan wangi nafasnya. Ia menurunkan tatapannya dari mataku, mungkin ke bibirku. Lalu, ia kembali mengikis jarak di antara kami. Jelas aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi, sebelum bibirnya menyentuhku, aku memundurkan tubuhku pelan.

Nick berhenti. Wajahnya seketika berubah, seakan tersadar. "Maaf, Nora. Aku sudah terbawa suasana.", katanya, menjauhkan tubuhnya dari tubuhku.

Aku berdehem, membersihkan tenggorokanku yang tercekat. "Ehm, tidak apa-apa, Nick."

Namun, suasana seketika berubah, menggantung, canggung di antara kami berdua. Nick pun berdiri, meraih kunci mobil di saku celananya. "Ayo! Aku antar kamu pulang.", katanya.

Di sepanjang perjalanan pulang, kami lebih banyak diam. Radio menyala pelan, tapi tidak ada yang benar-benar mendengarkan. Aku mencuri-curi pandang ke arahnya. Ekspresinya datar, sedikit tegang.

"Terimakasih untuk hari ini, Nick.", ucapku, saat kami sudah tiba di depan rumahku. Aku membuka sabuk pengaman, bersiap hendak turun dari mobilnya.

"Nora!", serunya, tangannya menghentikanku. Membuatku menoleh, menatapnya. "Maaf soal tadi. Aku tidak bermaksud mengambil kesempatan atas cerita sedihku. Aku benar-benar terbawa suasana. Maaf sudah membuatmu merasa tidak nyaman."

Aku tersenyum kecil, mengangguk. "Aku tahu, Nick. Kamu bukan pria seperti itu."

Nick memandangi mataku sejenak, lalu mengangguk pelan. "Trims, Nora!."

Aku kembali mengangguk dan tersenyum. Memandangi sosok Nick yang beberapa saat kemudian menghilang bersama laju mobilnya. Aku menyentuh dadaku, merasakan detak jantungku yang berdetak kencang, tak karuan, yang masih belum bisa tenang, sejak wajah Nick berjarak kurang dari 10 cm dari wajahku.

1
Yellow Sunshine
Hai, Readers! Happy reading 😊 Jangan lupa kasih ulasannya juga ya 😊
Yellow Sunshine
Halo, Readers? Siapa disini yang kesel sama Alice? Angkat tangan 🙋‍♂️🙋‍♀️. Author juga kesel nih sama Alice. Kira-kira rencana Alice untuk menggoda dan mengejar Nick akan berlanjut atau berhenti sampai sini ya? Coba tebak 😄
Arass
Lanjutt thorr🤩
Yellow Sunshine: Siap. Semangat 💪🫶
total 1 replies
Yellow Sunshine
Hai, Readers? Siapa nih yang nggak sabar liat Nora sama Nick jadian? Kira-kira mereka jadian di bab berapa ya?
Aimé Lihuen Moreno
Wih, seruu banget nih ceritanya! Jangan lupa update ya thor!
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. Author jadi makin semangat nih buat update 😍
total 1 replies
Melanie
Yowes, gak usah ragu untuk baca cerita ini guys, janji deh mantap. 😍
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. It means a lot 😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!