Kematiannya sia-sia. Hidup barunya menyebalkan. Tapi semuanya berubah saat dia mendapatkan Sistem yang aneh.
Kang Ji-Ho, seorang karyawan lelah yang mati secara mengenaskan, bangkit di tubuh Ling Feng, seorang bangsawan muda pemalas dari klan yang terhina. Dunia Murim yang kejam menertawakannya. Namun, Ji-Ho datang dibekali sebuah sistem unik yang memberinya kekuatan dengan satu syarat: Jangan kerja keras!
[Tugas: Tidur Siang 4 jam. Reward: +10 Qi Murni] [Tugas: Nikmati Semangkuk Sup. Reward: Seni Beladiri 'Telapak Tidur Berdarah']
Dengan kekuatan barunya dan sifat aslinya yang kejam dan tak kenal ampun, Ji-Ho memutuskan untuk mengubah segalanya. Aturannya sederhana:
1. Klan ini tidak tunduk pada siapa pun.
2. Langgar perintahku, mati.
3. Bersekongkol dengan musuh, mati bersamaan mereka.
Dia merekrut orang-orang terbuang yang ditakuti dunia—seorang pembunuh gila, seorang gadis racun, seorang pandai besi penghancur—dan membangun kekuatan yang membuat seluruh dunia Murim gemetar ket
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yenbi Author, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Ikatan Darah dan Kepatuhan Mutlak
Suasana di Klan Ling pasca eksekusi terhadap keluarga Ling Chao bagai tertutup kabut baja yang berat. Semua orang berjalan dengan hati-hati, berbicara dengan suara rendah, dan menghindari kontak mata. Ketakutan terhadap Ji-Ho sekarang bercampur dengan rasa ngeri yang mendalam—sebuah pengakuan bahwa tidak ada ikatan darah, tidak ada jasa masa lalu, yang bisa melindungi mereka dari kemurkaan Tuan Muda.
Malam itu, saat Ji-Ho sedang sendirian di teras kamarnya memandangi bulan yang diselimuti aura Qi Purba-nya, seseorang memberanikan diri mendekat. Itu adalah ibunya, Ibu Ling Feng. Wajahnya yang biasanya mulai menunjukkan kekerasan, kini terlihat lelah dan dipenuhi konflik batin.
"Feng'er," panggilnya, suaranya lembut namun bergetar.
Ji-Ho tidak menoleh, tetapi tahu persis siapa itu. "Ibu," sahutnya, datar.
Dia mendekat, berdiri di sampingnya. "Apa yang terjadi pada Chao... dan keluarganya..." dia berhenti, mencari kata-kata. "Itu... sangat kejam, Feng'er. Dia adalah saudara ayahmu. Anak-anak itu adalah sepupumu."
Ji-Ho akhirnya menoleh, matanya yang dalam dan dingin memandangi ibunya. "Kejam?" gumamnya. "Ibu salah. Itu bukan kekejaman. Itu adalah keharusan. Sebuah pesan yang harus disampaikan dengan jelas agar tidak ada yang salah paham."
"Ibu mengerti tentang disiplin, tapi—"
"Tidak ada 'tapi'," potong Ji-Ho, suaranya tajam. "Di dunia ini, hanya ada kepatuhan mutlak atau pemusnahan. Ling Chao memilih yang kedua. Aku hanya menjalankan konsekuensinya."
Dia berdiri, menghadap ibunya sepenuhnya. Aura Qi Purba-nya, meski diredam, masih terasa seperti gunung yang menindih.
"Ibu datang ke sini untuk memprotes? Untuk meminta belas kasihan bagi pengkhianat?" tanyanya, nada suaranya mulai mengandung bahaya.
Ibu Ling Feng menggigil, tapi dia berdiri tegak. "Ibu datang karena Ibu khawatir padamu, Feng'er. Ibu khawatir kekuatan ini... jalan ini... akan menghancurkan sisa kemanusiaan dalam dirimu."
Ji-Ho terdiam sejenak. Lalu, dia mengeluarkan suara yang hampir seperti tawa, tapi tanpa humor. " hahaha Kemanusiaan "? Ibu, kemanusiaan adalah kemewahan yang tidak bisa kita miliki. Lihatlah sekeliling kita. Dunia Murim adalah hutan belantara yang hanya menghormati kekuatan dan ketakutan. Kemanusiaan Ling Feng yang lama membuat klan ini hampir punah. Kemanusiaan adalah kelemahan."
Dia melangkah lebih dekat, menatap langsung ke mata ibunya.
"Pertanyaannya sekarang, Ibu," desisnya, suaranya rendah tapi mematikan. "Di pihak mana Ibu berdiri? Di pihak 'kemanusiaan' dan pengkhianat seperti Ling Chao? Atau di pihakku? Di pihak kekuatan yang menjamin kelangsungan hidup dan kejayaan klan kita?"
Dia berhenti, membiarkan pertanyaannya menggantung di udara seperti pisau di atas leher.
"Apakah Ibu juga ingin bernasib seperti mereka?"
Ibu Ling Feng terhuyung mundur, wajahnya pucat mendengar ancaman halus yang terkandung dalam kata-kata anaknya sendiri. Air mata menggenang di matanya, tapi tidak tumpah. Dia melihat perubahan drastis pada anaknya, dari pemalas yang tidak berguna menjadi penguasa yang kejam dan absolut. Dia melihat kenyataan yang tidak bisa dia hindari.
Dia menarik napas dalam-dalam, dan perlahan, dia berlutut.
"Tuan Muda," katanya, suaranya sekarang jelas dan penuh kepatuhan, meninggalkan sebutan 'Feng'er'. "Ibu... Hamba salah. Hamba berdiri di pihak Tuan Muda. Hukum Tuan Muda adalah mutlak. Tidak ada pengecualian, bahkan untuk keluarga. Hamba hanya meminta satu hal: izinkan hamba membuktikan kesetiaan hamba dengan menjadi yang paling keras dalam menjalankan perintah Tuan Muda."
Ji-Ho memandangi ibunya yang berlutut. Sebagian kecil dari dirinya, warisan dari Ji-Ho yang lama, mungkin merasa sedih. Tapi sebagian besarnya, sang penguasa yang kejam, merasa puas.
"Bangun, Ibu," katanya, nada suaranya sedikit melunak, tapi tidak kehilangan wibawanya. "Kau adalah ibuku. Kau tidak perlu berlutut. Tapi ingat, di hadapan hukum klan, bahkan ibu dari Tuan Muda tidak kebal. Kewajibanmu adalah mendukungku tanpa syarat, tanpa ragu."
Ibu Ling Feng bangkit, matanya sekarang berisi tekad yang berbeda—bukan lagi kelemahan, tapi penerimaan yang keras terhadap kenyataan.
"Itu akan hamba lakukan, Tuan Muda."
"Bagus," kata Ji-Ho. "Sekarang, ada tugas untukmu. Sebarkan pesan di antara keluarga inti. Katakan pada mereka bahwa ini adalah peringatan terakhir. Pelanggaran berikutnya, dari siapa pun, akan dihukum dengan pemusnahan generasi—seluruh cabang keluarga akan dihapus dari sejarah, namanya dihapus dari tablet leluhur, dan semua ingatan tentang mereka akan dimusnahkan."
Ibu Ling Feng membungkuk. "Seperti yang Tuan Muda perintahkan."
Dia berbalik dan pergi, langkahnya sekarang tegas dan penuh tujuan. Ji-Ho melihatnya pergi, tahu bahwa ibunya telah melewati ujian terakhirnya. Dia sekarang sepenuhnya adalah miliknya, alat yang lain dalam mesin Klan Ling.
Dia kembali memandang bulan. Klan-nya sekarang benar-benar bersatu—tidak oleh cinta atau ikatan keluarga, tapi oleh ketakutan murni dan kepatuhan absolut terhadap kemauannya.
Tidak ada yang berani membangkang lagi. Tidak ada yang berani berpikir untuk berkhianat.
Dia akhirnya bisa benar-benar fokus pada hal yang paling penting: kultivasinya, dan menikmati kemalasan yang telah diperjuangkannya dengan begitu keras.
Dunia mungkin menganggapnya kejam, tapi baginya, itu adalah harga yang harus dibayar untuk kedamaian dan tugas yang didambakan. Dan bagi Ji-Ho, itu adalah harga yang sangat murah.