Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.
Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.
"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.
Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 35
Besoknya…
Matahari pagi belum sempurna naik ketika Miera, Thaimur, dan Zhamir tiba di halaman sekolah. Biasanya, pagi terasa ceria. Tapi hari itu, tatapan murid-murid lain tampak berbeda bercampur penasaran, bisik-bisik, dan beberapa lirikan tak ramah.
Di gerbang sekolah, seorang ibu wali murid mencolek lengan temannya sambil menatap Miera.
"Itu tuh... anak-anaknya dokter itu. Udah lihat belum? Viral. Dikasih makan di rumah sakit, tapi gayanya astaghfirullah.”
Ibu lain menimpali dengan gumaman tajam, “Katanya dokter, tapi kok gayanya kayak... ya gitu, kan yang di video juga jelas. Anak-anaknya aja kayak enggak diajarin akhlak…”
Miera mendengar. Ia memperlambat langkahnya. Thaimur menggenggam tasnya erat. Zhamir yang paling kecil hanya menunduk, belum sepenuhnya mengerti, tapi merasakan ada sesuatu yang salah.
Beberapa temannya tak menyapa seperti biasa. Ada yang justru menyengir sambil berkata sinis, “Eh, ini anak Ustadz itu ya? Yang disuapin sama cewek di video. Ibunya ya? Ibu dokternya?”
“Katanya sih, udah tujuh tahun ninggalin. Tiba-tiba balik, langsung mesra-mesraan,” celetuk yang lain.
Miera menegakkan badan. “Iya, itu ibu aku. Dan dia enggak ninggalin. Dia nyelamatin nyawa orang waktu kalian semua tidur nyaman di rumah.”
Seorang anak laki-laki menyahut, “Tapi di video kayak enggak sopan gitu, di rumah sakit!”
Zhamir mendongak polos, matanya sedikit berkaca. “Tapi itu Ummi sama Abi kami. Mereka suami istri. Salahnya di mana?”
Guru piket yang berdiri di dekat pagar akhirnya ikut campur, menegur murid-murid agar masuk ke kelas. Tapi bisik-bisik itu tak berhenti sampai jam pelajaran pertama.
Miera yang sedari tadi mencoba sabar, akhirnya tak bisa lagi menahan amarah. Wajahnya memerah. Napasnya memburu. Dan tanpa aba-aba, ia langsung mendorong keras anak laki-laki yang barusan menyindir keluarganya.
Brakk!
Anak itu jatuh terduduk di tanah, terkejut, tak menyangka Miera yang dikenal kalem bisa secepat itu meledak.
“Aku udah bilang baik-baik!” teriak Miera dengan mata berkaca, suaranya pecah, “Ibu aku enggak salah! Kalian semua enggak tahu apa-apa tentang kami!”
Beberapa murid menjerit pelan, sebagian langsung berkerumun. Thaimur dan Zhamir juga panik, mencoba menahan kakaknya.
“Miera, udah… please…” bisik Thaimur sambil memegangi lengannya.
Tapi Miera terus melangkah maju, berdiri di depan anak laki-laki itu yang masih terduduk dan memegangi bahunya.
“Kalian pikir gampang? Hidup tujuh tahun tanpa tahu ibu kamu hidup atau mati? Ngeliat ayah kamu sendirian tiap hari, terus pas ibu kamu balik, malah difitnah kayak gini?” suaranya serak, air matanya jatuh, “Kalian pikir kami enggak punya perasaan?”
Guru piket buru-buru datang, memisahkan. “Cukup! Cukup semuanya! Miera, ikut Bu Tini ke ruang BK sekarang!”
Tapi Miera masih berdiri di tempat, air mata jatuh deras di pipinya. Zhamir menggenggam tangan kakaknya erat, takut. Thaimur menatap semua orang dengan marah yang ditahan.
“Kalau kalian punya orang tua yang masih saling sayang,” kata Thaimur dengan suara tegas, “harusnya kalian bersyukur. Bukan malah nyebarin fitnah!”
Di ruang guru, bahkan beberapa staf mulai bergunjing, membuka akun media sosial yang memperlihatkan foto viral itu dengan caption kejam yang menyudutkan Zamara dan Yassir.
Di ruang BK…
Miera duduk menunduk, tangan mengepal di atas lutut. Bu Tini, guru Bimbingan Konseling, duduk di depannya, mencoba tenang.
“Kamu tahu, Miera, tindakan kamu itu bisa dianggap kekerasan.”
Miera tak menjawab.
“Kalau kamu marah, kamu boleh bicara. Tapi enggak bisa pakai tangan. Apalagi ini sekolah.”
Miera menatap Bu Tini dengan mata merah. “Kalau Bu Tini jadi saya, Bu Tini masih bisa diam?”
Bu Tini terdiam.
“Saya enggak pernah minta hidup saya viral. Saya enggak pernah minta Ummi difitnah. Tapi sejak kemarin, semua orang ngeliatin kami kayak kami aib,” suaranya mulai pecah lagi, “Saya cuma mau belajar, Bu… Saya cuma mau punya keluarga utuh lagi. Apa salahnya?”
Sementara itu di rumah sakit…
Zamara duduk di kursi pojok kamar. Ponselnya penuh dengan notifikasi. Nama-nama akun yang tak dikenalnya mengirim pesan bernada hinaan, ada pula yang mengancam akan melaporkannya ke IDI dan lembaga keagamaan.
Yassir mendekat, duduk pelan di ranjang. “Kalau kamu siap, kita lawan ini. Tapi pelan-pelan ya, jangan sampai kamu hancur.”
Zamara mengangguk. “Aku enggak hancur. Aku cuma sedih. Bukan karena mereka menghina aku tapi karena anak-anak kita juga kena imbasnya.”
Ia membuka akun Instagram-nya. Banyak komentar bernada kejam.
> “Gaya mesra begitu di rumah sakit? Mana jilbab, mana malu?”
“Ibu macam apa yang ninggalin bayi umur 40 hari, sekarang sok romantis!”
“Dokter, tapi kelakuannya kayak artis murahan.”
Zamara memejamkan mata sebentar. Lalu membuka rekaman suara dari grup wali murid.
> “Anak-anaknya si dokter itu mending enggak usah dekat sama anak saya. Takut kebawa kebiasaan keluarga,” suara seorang ibu.
Yassir menggenggam tangannya erat. “Kamu enggak sendiri. Aku akan berdiri di depan kamu.”
---
Siang harinya...
Pihak rumah sakit memanggil Zamara secara resmi. Direktur utama dan dua pengurus etika kedokteran menemuinya di ruang pertemuan.
“Dokter Zamara,” ucap kepala RS, “kami tahu siapa Anda. Integritas Anda tidak pernah diragukan. Tapi tekanan dari masyarakat cukup besar. Banyak pihak mulai mempertanyakan etika dari potret yang beredar.”
Zamara menatap mereka tenang. “Apakah menyuapi suami saya yang sedang sakit, di ruang privat, dianggap melanggar etika kedokteran?”
Salah satu pengurus etika berkata hati-hati, “Bukan dari sudut etik medis, Bu. Tapi dari sudut persepsi publik ini bisa jadi polemik besar.”
Zamara mengangguk pelan. “Saya akan gelar konferensi pers. Saya akan bicara. Tapi tolong, jangan hakimi saya sebelum saya menjelaskan.”
Kepala rumah sakit menyetujui, “Kami percaya Anda. Tapi kami mohon berhati-hati. Ini bukan cuma tentang reputasi Anda, tapi juga rumah sakit ini.”
Ponsel Yassir berdering. Pihak sekolah menelepon, memberitahukan insiden Miera.
Zamara yang baru keluar dari ruang konferensi pers langsung pucat saat mendengar kabar itu.
“Aku harus ke sekolah,” ucapnya pelan, “Miera enggak akan marah seperti itu kalau bukan karena dia enggak kuat nahan.”
Yassir mengangguk. “Aku nggak bisa membantu aku titip anak-anak,” ujarnya ustad Yassir yang masih dalam kondisi lemah pasca operasi.
Di sekolah…
Zamara dan Bayu adik iparnya yang seorang pengacara berdiri di depan kepala sekolah. Miera duduk di samping, masih tertunduk. Zhamir dan Thaimur menunggu di luar ruangan, menolak pulang tanpa kakaknya.
“Kami paham kondisi Miera,” ucap kepala sekolah pelan, “Tapi kami juga harus menjaga ketertiban. Besok kami akan panggil semua orang tua yang terlibat. Termasuk orang tua murid yang menyebarkan rekaman bisik-bisik di grup wali murid.”
Zamara mengangguk tenang. “Terima kasih sudah adil, Bu. Tapi saya mohon jangan hukum Miera. Dia cuma anak yang berusaha membela ibunya.”
Bayu menambahkan, “Kami akan tanggung jawab. Tapi kami juga mohon, beri ruang pada keponakan kami untuk tumbuh tanpa dibayangi dosa masa lalu kami yang bahkan bukan dosa.”
Kepala sekolah menatap mereka lama, lalu menghela napas. “Kami akan adakan sesi khusus untuk literasi digital dan anti perundungan minggu depan. Dan saya pribadi minta maaf atas kelalaian pengawasan kemarin.”
Zamara menoleh ke Miera, membelai kepalanya pelan. “Kamu berani. Tapi keberanian juga butuh kendali. Kita hadapi ini bareng, ya.”
Miera mengangguk pelan, memeluk ibunya erat.
Di luar ruang BK…
Zhamir menatap langit, lalu berkata pelan, “Uncle.. Ummi... kita pulang yuk. Rumah sakit itu bukan rumah kita. Tapi kayaknya, rumah kita juga bukan dunia maya.”
Yassir tersenyum kecil. “Rumah kita tempat hati kita bisa istirahat. Biar besok dunia ribut, asal kita tetap satu.”
Zamara menggenggam tangan mereka bertiga. “Dan kita enggak akan pernah sendiri lagi.”