Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 6
“Maaf, Pak… saya mengantar pesanan Bapak, seperti biasanya.” ujarnya Nisa yang berusaha keras mengontrol keterkejutannya.
Dian menoleh tajam. “Oh, jadi Mbak ini yang tiap hari masak buat suami saya?”
Nisa menunduk sedikit, tersenyum tipis.
“Iya, Bu. Alhamdulillah, Bapak Azhar sudah jadi langganan tetap warung kami.” balasnya Nisa.
Azhar hanya berdiri, menatap Nisa dengan sorot mata yang sulit dibaca. Ada getir, ada rindu, ada sesal, semuanya bercampur.
Di dalam hati, Nisa bergumam lirih,”Ya Allah, beri aku kekuatan. Meski aku hanya jadi tamu di hatinya, ajari aku untuk tetap ikhlas mencintainya.”
“Oh, jadi Mbak Nisa ini yang pernah dikirimin uang sama Mas Azhar itu, ya? Katanya buat bayaran katering tiga bulan ke depan. Betul, Mas?” tanya Dian sambil menoleh ke arah suaminya.
Senyumnya tampak manis, tapi matanya tajam seakan ingin mencari kepastian.
Azhar yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil hanya mengangguk santai.
“Benar. Dia Nisa, yang pernah kuceritakan soal masakannya. Rasanya nggak pernah gagal. Selalu enak, selalu bikin nagih.”
Ucapannya terdengar ringan, tapi sesungguhnya itu adalah pujian yang tulus keluar dari hati seorang suami.
Nisa tersenyum canggung, menunduk. “Nggak juga, Bu. Masakan saya biasa-biasa saja. Mungkin karena saya masak dengan penuh cinta dan ketulusan, jadi katanya orang yang makan suka merasa rasanya lebih lezat dari biasanya.”
Dian terkekeh kecil. “Hehe… bisa saja, Mbak. Yuk masuk dulu, nggak enak kalau ngobrol di depan pintu begini terus.” Dian memberi isyarat ramah.
Nisa melirik sekilas ke arah Azhar. Lelaki itu mengangguk tipis, lalu berbalik ke kamar karena tubuhnya masih basah dan belum berganti pakaian setelah berolahraga.
Tatapan singkat itu saja sudah membuat dada Nisa berdegup lebih kencang dari biasanya.
Nisa melangkah masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Matanya berkeliling, menyusuri tiap sudut rumah dinas yang begitu familiar.
Ruangan itu menyimpan jejak-jejak kenangan bersama Azhar yaitu tawa, canda, bahkan pelukan yang pernah mereka bagi. Setiap sudut seakan berbisik tentang kisah cinta rahasia mereka.
“Di sini dulu aku dan Mas Azhar sering menghabiskan waktu dan kini rumah ini dihuni Mbak Dian,” batin Nisa.
Hatinya perih, seolah-olah sedang menonton kembali kaset lama yang diputar berulang-ulang meski sudah kusut.
Dian tersenyum ramah. “Mbak Nisa duduk dulu ya, aku mau berganti baju sebentar. Mas Azhar mungkin yang nemenin Mbak.” Ia melangkah ke kamar, berpapasan dengan Azhar yang baru keluar mengenakan kaos santai.
“Makasih, Mbak,” ucap Nisa sopan.
Kini hanya ada Nisa dan Azhar di ruang tamu. Suasana mendadak hening. Tak ada percakapan, hanya tatapan.
Tatapan yang mengandung rindu sekaligus luka. Dua minggu berpisah membuat hati mereka ingin meledak menahan rasa yang tak tersampaikan.
“Ya Allah… ternyata begini rasanya melihat orang yang kucintai berduaan dengan wanita lain. Sakit sekali. Tapi aku harus kuat. Ini konsekuensi dari hubungan rahasia kami,” Nisa menahan air matanya.
Azhar menatap istrinya itu dengan mata sendu. Dalam hati ia berbisik, “Sayang, maafkan Mas. Bersabarlah. Mas tahu ini berat, tapi percayalah, cinta Mas nggak berubah sedikit pun.”
Nisa menunduk. Ia ingin sekali berlari ke pelukan Azhar, mencium aroma tubuh yang begitu dirindukannya, tapi keberadaan Dian menjadi dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka.
“Mas… aku ingin memelukmu. Tapi aku tahu, itu mustahil di depan istri sahmu,” batinnya getir.
Tatapan mereka seperti berbicara sendiri, seolah mereka memiliki telepati. Kata-kata rindu, permintaan maaf, hingga janji kesetiaan mengalir lewat mata yang saling bertemu.
“Maafkan aku, Sayang, karena membawa kita dalam situasi rumit ini,” batin Azhar.
“Aku mencintai Dian tapi tanpa kamu, aku lebih tak sanggup.” Azhar kembali membatin.
Raut wajah Nisa penuh luka, tapi ia tetap tersenyum samar. “Aku hanya ingin menjadi istrimu, Mas. Walaupun hanya di balik bayangan. Aku tahu ini berat, tapi aku nggak bisa mundur kecuali kau sendiri yang menyuruhku.”
Lamunan itu buyar ketika Dian muncul kembali, sudah berganti pakaian santai. Ia duduk di samping Azhar, lalu meraih lengan kekar suaminya, menyandarkan kepala manja.
“Maaf agak lama. Oh iya, Mbak Nisa, maaf ya belum ada apa-apa yang bisa disuguhin. Kami baru sampai tadi pagi, jadi belum sempat belanja.”
“Oh, nggak apa-apa Mbak. Santai saja. Saya juga ke sini cuma mau nganterin makanan siang untuk Mas… eh, Pak Azhar,” ujar Nisa, berusaha menjaga nada suaranya tetap ringan meski hatinya gemetar.
Dian langsung menoleh, menatap suaminya dengan senyum menggoda. “Mas… kamu pesen makanan sama Mbak Nisa?”
Azhar tersenyum tipis. “Iya. Beberapa hari lalu kan aku sudah bilang kita pulang siang ini. Jadi aku pesan sama Nisa biar masakin makanan khusus buat istriku tersayang.” Kalimat terakhirnya terdengar ambigu dengan maksud bisa untuk Dian, bisa untuk Nisa.
Dian langsung berbinar. “Masya Allah, suamiku memang terbaik. Selalu ngerti apa yang aku mau.” Tanpa sungkan, Dian menunduk dan mencium bibir Azhar di depan mata Nisa.
Azhar terperanjat. Matanya langsung melirik ke arah Nisa yang kaget luar biasa. Sementara itu, wajah Nisa memerah, tangannya gemetar, lalu ia buru-buru berpaling.
“Astaghfirullah aladzim…” desisnya lirih.
POV Nisa
Detik itu, dunia seakan berhenti berputar. Mataku membesar, napasku tercekat ketika melihat bibir suamiku yang selama ini selalu kuimpikan untuk kucium, kini direbut oleh perempuan tak lain adalah istrinya yang sahnya.
Tanganku refleks mengepal di balik hijab, tubuhku bergetar hebat.
“Astaghfirullah aladzim…” bisikku nyaris tak terdengar.
Ya Allah, betapa sakitnya hati ini. Rasanya seperti ada ribuan jarum menancap sekaligus ke dalam dadaku.
Aku berusaha keras menahan diri, menekan perasaan cemburu yang berkecamuk, karena aku tahu aku tak punya hak untuk melarang.
Aku hanya bisa menunduk, menelan rasa perih itu bulat-bulat. Air mataku hampir tumpah, tapi tidak boleh tidak di depan mereka. Aku harus tetap tersenyum, harus terlihat kuat, meski hatiku sebenarnya hancur berkeping-keping.
“Mas… apakah kamu sadar betapa sakitnya aku melihat itu? Tapi aku juga sadar… ini konsekuensi yang harus kutanggung sebagai istri yang sembunyi-sembunyi. Aku harus sabar. Aku harus ikhlas. Aku harus bertahan.”
---
POV Azhar
Aku kaget bukan main ketika bibir Dian tiba-tiba menempel ke bibirku. Refleks mataku langsung melirik ke arah Nisa.
Ya Allah… betapa perihnya melihat wajah istriku itu. Wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca, tangannya gemetar menahan luka yang pasti begitu dalam.
Hatiku remuk. Ingin rasanya aku langsung berdiri, menarik Nisa ke pelukanku, lalu berteriak pada dunia bahwa dialah perempuan yang paling kucintai. Tapi aku tak bisa.
Aku terjebak dalam peran ini suami sah untuk Dian dan suami rahasia untuk Nisa.
“Dian!” tegurku, cepat-cepat melepas ciuman itu. “Masih ada tamu. Jangan seperti ini, nggak enak dilihat orang.”
Aku tahu itu hanya alasan, tameng untuk menutupi kegelisahanku. Sebenarnya aku sangat takut Nisa makin tersakiti.
Di hadapannya, aku merasa seperti pria paling egois. Aku ingin mempertahankan keduanya, tapi di saat yang sama aku justru melukai hati keduanya.
“Nisa… maafkan Mas. Bukan ini yang Mas inginkan. Demi Allah, hati ini tak pernah lepas darimu. Tolong bersabarlah, Sayang. Percayalah cintaku padamu tak pernah berkurang.”
Hatinya bagai ditusuk sembilu. Ia berulang kali beristighfar, mencoba menahan cemburu yang mendidih.
Tangannya mengepal erat dibalik hijabnya, seakan mencari kekuatan dari Allah agar tak menangis di depan mereka.
“Dian!” Azhar buru-buru melepaskan ciuman itu. “Masih ada tamu loh. Jangan begitu, nggak enak dilihat orang.”
Dian hanya terkekeh. “Hehe, maaf ya Mbak Nisa. Aku cuma terlalu bahagia. Soalnya Mas Azhar perhatian banget sama aku. Itu tandanya dia cinta mati sama aku.”
Nisa memaksa tersenyum. “Nggak apa-apa kok, Mbak. Wajar kalau istri bahagia diperhatikan suaminya. Saya pun kalau diperlakukan begitu sama suami saya, pasti akan melakukan hal yang sama. Bahkan lebih…” Ia melirik Azhar sekilas. Tatapan itu penuh luka sekaligus cinta.
Dian merapikan posisi duduknya, lalu menatap Nisa. “Oh, jadi kamu juga sudah menikah? Aku kira masih gadis loh. Nggak kelihatan kayak istri orang.”
Nisa tersenyum lembut. “Alhamdulillah, iya Mbak. Pernikahan kami sudah masuk empat bulan.”
Ia sengaja menekankan kata kami, melirik Azhar yang tampak gelisah mendengar percakapan itu.
Tak ingin berlama-lama, Nisa meraih rantangnya. “Kalau begitu saya pamit dulu. Untuk hari ini nggak usah bayar, Mbak. Anggap saja khusus. Besok-besok saja baru dibayar.”
Azhar terlihat ingin menahan, tapi bibirnya terkunci. Dian justru tersenyum lega.
Dengan langkah tergesa, Nisa keluar. Tangannya bergetar hebat, hatinya remuk melihat pria yang dicintainya begitu mesra dengan madunya.
“Ya Allah… betapa sakitnya cinta yang harus sembunyi-sembunyi seperti ini. Tapi aku harus tetap bertahan…”
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor