"Tidak heran ini disebut Jurang Neraka, aku sudah jatuh selama beberapa waktu tapi masih belum menyentuh dasar..." Evindro bergumam pelan, dia tidak mengingat sudah berapa lama dia terjatuh tetapi semua kilas balik yang dia lakukan memakan waktu cukup lama.
Evindro berpikir lebih baik dia menghembuskan nafas terakhir sebelum menghantam dasar jurang agar tidak perlu merasa sakit yang lainnya, tetapi andaikan itu terjadi mungkin dia tetap tidak merasakan apa-apa karena sekarang pun dia sudah tidak merasakan sakit yang sebelumnya dia rasakan dari luka yang disebabkan Seruni.
Evindro akhirnya merelakan semuanya, tidak lagi peduli dengan apapun yang akan terjadi padanya.
Yang pertama kali Evindro temukan saat kembali bisa melihat adalah jalan setapak yang mengeluarkan cahaya putih terang, dia menoleh ke kanan dan kiri serta belakang namun hanya menemukan kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendrowidodo_Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Pencuri Roti
Penjaga itu menilai Evindro dari penampilan dan merasa dia bukanlah orang yang jahat.
Evindro memang sudah menyimpan kembali Pedang Penguasa Malam ke dalam Cincin Samudra agar tidak terlalu menarik perhatian, setelah membayar biaya masuk sebanyak dua keping perak, dia bisa masuk ke kota.
Kota ini bernama Pontianak, setidaknya itulah yang dikatakan oleh sang penjaga. Evindro menemukan kota ini termasuk sepi penduduk dan kondisi ekonomi warganya tidak terlalu baik.
Bentuk bangunan yang mengisi kota memang jauh berbeda dengan kota Bengkulu namun Evindro bisa cepat terbiasa.
Cara berpakaian serta bentuk wajahnya membuat Evindro menjadi pusat perhatian semua orang, penduduk desa akan memandangnya untuk waktu yang lama, seolah melihat sesuatu yang aneh padanya. Beberapa bahkan menundukkan kepala ketika menemuinya namun semua melakukan hal yang sama saat dia ingin bertanya tentang pembuatan kartu identitas yaitu menjauhinya.
'Penduduk kota ini sepertinya tidak pernah melihat orang asing, harusnya aku bertanya lebih banyak pada penjaga tadi. Apa sebaiknya aku kembali untuk bertanya padanya?' Evindro masih merenungkan tindakan yang akan dia ambil berikutnya saat seorang bocah kecil berlari ke arahnya.
Bocah berusia sekitar tujuh atau delapan tahun tersebut terlihat ketakutan sambil memeluk sesuatu di dadanya, di belakangnya ada dua orang pria dewasa yang mengejarnya sambil meneriakinya sebagai maling.
Bocah itu menabrak Evindro dan jatuh ke tanah, barang yang dipeluknya jatuh ke tanah. Ternyata barang yang sedang dibawanya adalah beberapa potong roti.
"Dasar anak nakal! Berani-beraninya kau mencuri dari tokoku!"
"Kali ini kau tidak bisa lari lagi! Akan aku patahkan kakimu!"
Evindro mengerutkan dahinya, anak kecil itu wajahnya begitu pucat dan tubuhnya bergetar hebat. Evindro menghentikan pria dewasa yang berniat memukul bocah kecil itu.
"Tunggu, tidak perlu memukulnya seperti itu." Evindro menangkap tangan pria tersebut.
"Apa?! Kenapa kau ikut campur?! Apa ini anakmu?!" Pria itu semakin murka, ketika dia tidak bisa melepaskan tangannya dari genggaman Evindro barulah dia sedikit melunak.
"Dengar, dia masih kecil. Kalau kalian berdua memukulnya, dia bisa mati. Bisa kalian jelaskan apa yang terjadi?"
Bocah itu memandang Evindro dengan keheranan tetapi dia tidak berani bangkit dari tempatnya. Dua pria dewasa itu masih memandangnya marah, mereka ingin memukulinya tetapi menyadari Evindro memiliki penampilan seperti bangsawan, keduanya mengurungkan niatnya.
Dua orang itu menjelaskan si anak seringkali mencuri roti dari tokonya dan selama ini selalu berhasil lolos. Keduanya merasa sudah rugi banyak karena kelakuan si anak.
"Begini saja, biar aku ganti semua kerugian kalian hari ini dan sebelumnya, lepaskan anak ini." Evindro menjelaskan anak ini melakukannya karena lapar dan mungkin tidak memiliki pilihan lain, dua pria itu saling berpandangan lalu mengangguk pelan.
Masing-masing dari mereka meminta dua keping perak sebagai ganti rugi, si anak bereaksi, ingin mengatakan sesuatu tetapi tatapan kedua orang itu membuatnya menutup mulut. Evindro menyadari jumlah roti yang pernah dicuri oleh si anak mungkin nilainya jauh dibawah dari disebutkan oleh dua orang tersebut tetapi tidak masalah bagi Evindro.
Dua orang itu pergi dengan wajah puas sementara Evindro membantu bocah kecil itu berdiri. Bocah itu masih sempat memungut roti-roti yang jatuh, Evindro ingin mengatakan roti itu sudah kotor tetapi si anak sepertinya tidak peduli terhadap hal tersebut.
"Tuan, Terima kasih telah menolongku..." Bocah itu menunjukkan sikap hormatnya.
"Bisa kau ceritakan padaku alasanmu melakukan ini?" Evindro menemukan bocah itu memiliki tata krama, sepertinya dia cukup terdidik untuk tidak melakukan kejahatan.
Bocah itu mengenalkan dirinya sebagai Edi, seorang yatim piatu yang tinggal di panti asuhan. Edi mengatakan terpaksa mencuri demi bisa membawa pulang sesuatu untuk dimakan bersama teman-temannya yang lain.
"Apa teman-temanmu mengetahui kau mencuri?"
Edi menggelengkan kepalanya, matanya berair tetapi dia berusaha tidak menangis. Edi menjelaskan teman-teman serta pemilik panti asuhan berpikir bahwa dirinya meminta roti sisa dari toko.
Evindro menghela nafas pelan sebelum tersenyum tipis, "Edi, namaku Evindro. Aku adalah orang yang baru tiba di kota ini, kau sepertinya sudah lama tinggal di kota ini, bisakah kau menjadi penunjuk jalan untukku?"
Evindro mengelus kepala bocah itu, dia merasa kasihan terutama setelah mengetahui Edi ternyata berusia 10 tahun, bocah tersebut terlihat lebih muda karena kekurangan gizi untuk tumbuh dengan baik.
Edi terlihat antusias, dia merasa bersalah karena berpikir tidak bisa membalas kebaikan Evindro. Mendapatkan kesempatan ini, Edi segera memenuhi permintaannya.
Evindro meminta Edi mengantarnya pada sebuah restoran, dia ingin mengisi perutnya terlebih dahulu. Edi sedikit ragu, dia jelas tidak pernah makan di restoran.
"Harga tidak masalah, tunjukkan saja restoran yang menurutmu memiliki hidangan yang enak."
"Ada satu restoran yang sering mengeluarkan aroma lezat, tapi aku tidak mengetahui rasanya..."
"Tidak masalah, bawa aku ke tempat itu."
Edi berjalan dengan Evindro mengikutinya dari belakang, Evindro bisa melihat bocah ini memiliki kecerdasan yang baik namun tidak cukup beruntung untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
"Edi, kau sepertinya tidak takut atau merasa aneh ketika melihatku. Tidak seperti warga lainnya di kota ini."
"Ah, Tuan memang sedikit berbeda tetapi aku sudah terbiasa melihat seseorang berambut hitam karena pemilik panti asuhan kami juga seperti Tuan."
"Hmmmm, warga kota Bengkulu"
Mendengar pemilik panti asuhan memiliki rambut hitam serta bentuk wajah sepertinya, membuat Evindro menjadi tertarik, 'Mungkinkah ada orang Bengkulu di kota ini?'
Lamunan Evindro terhenti ketika Edi menarik jubahnya.
"Tuan, kita sudah sampai. Ini restoran yang aku maksud. Tuan bisa ke dalam, aku akan menunggu disini sampai Tuan selesai makan jika aku masih dibutuhkan."
"Hem? Kenapa kau tidak ikut masuk bersamaku?"
"Tuan, ini restoran yang mewah. Orang sepertiku tidak akan diijinkan masuk." Edi tersenyum pahit.
Evindro mengerutkan dahi, dia memandang bangunan restoran di depannya. Bagi Evindro restoran tersebut sulit dikatakan restoran mewah, tetapi memang ada aroma yang mengundang selera dari bangunan ini.
Evindro tetap mengajak Edi untuk masuk bersamanya, bocah itu terlihat ketakutan tetapi menurut juga.
Seorang pelayan segera menyambut kedatangan Evindro, pelayan tersebut bersikap ramah karena melihat pakaian Evindro yang terkesan mahal.
"Tuan, silahkan masuk. Aku akan siapkan meja terbaik, pembantu anda bisa menunggu di kursi itu." Pelayan menunjuk sebuah kursi panjang yang berada di dekat pintu masuk.
"Dia bukan pembantu, dia akan makan bersamaku."
"Eh? Maaf Tuan, tetapi penampilan anak ini..." Pelayan itu melihat pakaian Edi yang kotor bahkan memiliki beberapa robekan, "Dia mungkin akan membuat pelanggan lain merasa terganggu."
Edi menundukkan kepalanya, merasa malu, "Tuan, aku akan menunggu di kursi itu sampai anda selesai. Aku tidak lapar."