NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Tuan Davison

Istri Rahasia Tuan Davison

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Aliansi Pernikahan / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Rembulan Pagi

Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.

Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.

Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20. Kekalahan Kecil Merisa

Acara lomba anak TK makin semarak. Riuh tepuk tangan penonton pecah saat tampilan tari dari TK Cemara, sebagai tuan rumah, memulai pentas. Suasana penuh warna, dihiasi balon, lampu, dan tawa anak-anak. Acaranya yang diselenggarakan langsung oleh yayasan itu bahkan sudah masuk TV nasional. Beberapa kru media terlihat sibuk mengambil gambar dari berbagai sudut.

Merisa tampak bahagia, senyumannya merekah, matanya bersinar saat menyadari beberapa kameramen sempat mengarahkan lensa ke arahnya. Wajahnya yang dipulas make up terlihat mencolok, tapi itu justru yang membuatnya percaya diri. Ia merasa jadi pusat perhatian.

Dari kejauhan, Sheina berdiri tenang. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Davison yang duduk di area VIP bersama para tamu penting. Tanpa Sheina sadari, Davison pun memperhatikan balik, pandangan mereka sempat bertemu sebentar, lalu sama-sama mengalihkan pandangan.

Lomba pertama dimulai, lomba mewarnai. Suasana jadi ramai dengan suara anak-anak yang antusias, guru-guru yang mendampingi sambil memberi semangat, dan MC yang terus menghidupkan suasana.

Sheina berjalan sambil membawa nampan berisi makanan ringan dan minuman. Ia membagikan satu per satu ke guru-guru pendamping dari TK lain. Sikapnya ramah, senyumnya hangat, dan tutur katanya lembut. Beberapa guru tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka.

"Sheina kelihatan cantik banget hari ini ya," bisik salah satu guru ke rekannya.

"Iya, padahal make up-nya sederhana banget, tapi keliatan alami gitu," sahut yang lain.

Komentar itu tak luput dari telinga Merisa. Ia mendengarnya dengan jelas. Wajahnya sedikit menegang, bibirnya mengerucut, dan dadanya terasa panas.

Tatapannya langsung tertuju ke arah Davison yang lagi-lagi tampak memperhatikan Sheina dari kejauhan. Merisa menggertakkan gigi pelan.

“Aku masih nggak nyangka Sheina bisa dapat cowok kayak Pak Davison. Tapi harusnya kalau dia memang pacar orang kaya, Sheina udah terkenal dong. Nggak cuma kayak bayangan di pojok acara begini,” batinnya, kesal.

Tapi itu belum cukup buat Merisa. Ia merasa harus tahu langsung, memastikan dengan mata kepala sendiri. Bahkan kalau bisa, menarik perhatian Davison dan membuatnya berpaling.

“Kalau Davison aja bisa tertarik sama perempuan biasa-biasa aja kayak Sheina, berarti ada kemungkinan dia juga bisa tertarik sama kecantikan aku,” pikir Merisa sambil membenarkan rambutnya dan berdiri lebih tegak, seolah siap mendekat.

Merisa melangkah perlahan menuju area VIP. Langkahnya dibuat anggun, seolah sengaja ingin terlihat oleh siapa saja yang memerhatikan. Di sana, selain Davison, ada beberapa tamu penting lainnya. Salah satunya adalah Fahri—seorang reporter muda yang juga kenalan Sheina. Mereka pernah bertemu sekilas di ruang guru saat wawancara persiapan acara.

Pandangan Merisa kembali tertuju ke arah Sheina. Ia melihat Fahri pun tengah memperhatikan gadis itu dari jauh, dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

"Kenapa sih semua orang sibuk memperhatikan Sheina?" gumam Merisa dalam hati, geram.

Merisa makin kesal. Hatinya terasa terbakar. Ia melanjutkan langkah, sengaja lebih dekat ke pusat keramaian VIP. Salah satu kamera televisi sempat menyorotnya. Ia berdiri sejenak, memastikan tubuhnya berada dalam sudut terbaik. Rambutnya dirapikan, senyumnya ditebar tipis tapi penuh maksud.

Fahri yang kebetulan melihat mendekat dan menyapa, “Halo, Mbak Merisa ya? Acara ini ramai banget, ya.”

Merisa tersenyum sopan, tapi matanya jelas lebih sibuk mencari-cari sosok Davison. Ia menjawab dengan suara lembut yang dibuat manis, “Iya, ramai dan cukup meriah.”

Di antara kerumunan, salah satu tamu VIP yang usianya cukup berumur menatap Merisa. Tatapan pria itu mengarah dari bawah ke atas, tanpa basa-basi. Merisa menangkap jelas pandangan itu, tajam, terang-terangan, dan sedikit membuatnya risih.

Ia membalas dengan senyum kecil yang terpaksa, sekadar menjaga citra. Tapi dalam hatinya, ia mendengus.

"Yang aku mau lihat ke sini itu Davison, bukan bapak-bapak ini," batinnya, jengkel.

Namun seberapa banyak pesona ia tebar, Davison tetap tidak menoleh. Pandangan pria itu justru sesekali masih tertuju ke arah Sheina yang tengah membagikan minuman dengan tenang.

Merisa mulai kehilangan kesabaran. Ada rasa tidak terima dalam dirinya. Ia merasa pantas mendapatkan perhatian itu. Ia merasa jauh lebih menarik dari Sheina, dengan tubuh ideal, wajah yang dirias sempurna, dan kepercayaan diri yang ia bangun dari lama.

Tapi tetap saja Davison tidak bergeming.

Akhirnya, karena kesal, Merisa memilih menjauh dari area VIP. Tatapan Davison yang tak juga berpaling membuat dadanya terasa penuh. Ia berjalan cepat menuju tempat konsumsi, berharap segelas air bisa menenangkan pikirannya yang mulai mendidih.

Di meja panjang tempat kudapan diletakkan, ia mengambil satu gelas plastik berisi air putih, meneguknya cepat. Tenggorokannya terasa kering, seolah ikut terbakar oleh rasa tak puas yang terus menghantuinya.

Belum sempat ia menarik napas panjang, seorang anak kecil tiba-tiba berdiri di sampingnya.

“Ibu Merisa, aku mau kue coklat satu lagi, boleh?” suara lembut anak TK laki-laki itu menyela, polos dan tak tahu apa-apa.

Merisa menoleh cepat. Untuk sepersekian detik, wajahnya memucat menahan jengkel. Kenapa sih harus sekarang? pikirnya. Emosinya masih tersisa, dan sekarang malah ada murid Sheina yang menghampiri.

Tapi ia menahan diri. Ia tahu semua mata bisa saja memperhatikannya, termasuk kru yang mungkin masih merekam suasana.

Ia menarik napas, berusaha tersenyum meski tipis. Lalu menunduk pelan, menepuk bahu si anak gendut itu dengan perlahan.

“Coba cari Ibu Sheina ya,” ucapnya, datar tapi berusaha terdengar ramah.

Ia melirik ke tempat Sheina berdiri tadi, namun kini kosong. Tidak ada sosok Sheina di sana.

“Cari sendiri deh. Ibu Merisa nggak tahu di mana Bu Sheina,” ujarnya lagi, kali ini tanpa usaha menyamarkan kejenuhannya.

Anak itu mengangguk kecil. “Ya sudah, terima kasih Ibu Merisa.”

Anak itu pun pergi, berlari kecil menyusuri kerumunan.

Merisa berdiri diam. Tangannya masih menggenggam gelas kosong, tapi pikirannya sudah melayang ke tempat lain—ke tempat di mana ia merasa kalah, meski belum benar-benar bertanding.

Di sisi lain, Sheina kembali sibuk membagikan makanan kecil ke anak-anak. Wajahnya tampak lelah, tapi senyumnya tidak pernah luntur. Satu per satu kotak makanan ia serahkan dengan sabar sambil terus menghitung dalam hati, memastikan semuanya terbagi rata.

Selesai. Ia menghela napas pelan.

Namun belum sempat beristirahat, sebuah tangan kecil menyentuh lengannya. Seorang murid perempuan bernama Seta memanggilnya pelan.

“Ada apa, Seta?” tanya Sheina lembut, sambil berjongkok agar sejajar dengan si anak.

“Ibu… oom itu manggil ibu,” ujar Seta sambil menunjuk ke arah kursi VIP.

Sheina menoleh. Di sana, berdiri Fahri—yang mengangguk singkat, seolah mendengar langsung pembicaraan mereka meski dari kejauhan.

Sheina tersenyum kecil dan mengangguk ke arah Seta. “Oke, bilang ke Bu Ayu ya, Sheina tinggal sebentar.”

Ia menyerahkan sisa tugasnya ke guru lain yang ada di dekatnya, lalu berjalan tenang menuju arah Fahri. Langkahnya pelan, tapi tiba-tiba.

Brakkk!!!

Suara benda berat terhantam.

Seketika, seorang petugas katering yang membawa nampan berisi minuman tersandung sesuatu. Badannya oleng, tangannya goyah, dan nampan yang ia bawa ikut terangkat ke udara. Air dalam gelas-gelas plastik itu melayang, siap menghujani siapa pun di depannya.

Termasuk Sheina.

Namun dalam sepersekian detik, sebelum cairan itu mengenai tubuhnya, seseorang menarik pinggangnya cepat. Tubuh Sheina terdorong ke belakang, jatuh tepat ke dalam pelukan hangat yang familiar.

Byarrr.

Minuman itu jatuh ke tanah, pecahannya menyebar. Tapi tak satu tetes pun menyentuh Sheina.

Davison berdiri kokoh di hadapannya, kedua lengannya masih melingkar melindungi tubuh Sheina. Hidung Sheina hampir menyentuh bahu pria itu. Dekat sekali. Hangat. Jantungnya berdetak cepat—bukan hanya karena kaget, tapi karena pelukan itu.

Sheina mematung.

Ia bisa mendengar degup jantungnya sendiri yang menggema di telinga. Wajahnya memerah, matanya berkedip lambat seolah menolak percaya apa yang baru saja terjadi.

Sementara itu, tak jauh dari sana Merisa berdiri di sudut. Senyum puas di wajahnya perlahan menghilang. Matanya membelalak tak percaya. Niatnya hanya membuat Sheina malu, basah, mungkin panik. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.

Davison menyelamatkan Sheina. Di depan banyak orang. Di depan mata Merisa.

1
LISA
Menarik juga nih ceritanya
LISA
Aneh tp ntar kmu suka sama Sheina Dev🤭😊
LISA
Aku mampir Kak
Rian Moontero
lanjuutt thor,,smangaaat💪💪🤩🤸🤸
Rembulan Pagi: terima kasih kakk
total 1 replies
Umi Badriah
mampir thor
Rembulan Pagi
Bagi yang suka romance santai, silakan mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!