Di tengah hiruk pikuk Akademi Cyberland, Leon Watkins, seorang jenius dengan kekuatan "Dream" yang memungkinkannya memanipulasi mimpi dan kenyataan, justru merasa bosan setengah mati. Kehidupannya yang monoton mendadak terusik ketika ia dan teman sebayanya, Axel Maxx yang flamboyan, secara tak terduga ditarik ke dalam sebuah misi rahasia oleh sosok misterius. Mereka harus menembus "Gerbang Sejati," sebuah portal menuju dimensi yang mengerikan dan mengancam dunia. Petualangan yang akan mengubah segalanya, dan menyingkap takdir yang jauh lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan, baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DARK & LIGHT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 : Melampaui Batas
Raungan kesakitan Red Spider Queen menggema di seluruh ruang boss, namun tak lama kemudian berubah menjadi lolongan amarah.
Petir ilahi Axel memang melukai, tapi belum cukup untuk menjatuhkannya. Dari retakan pada cangkang merahnya, cairan hijau pekat menetes, dan ia mulai memintal benang jaring dengan kecepatan gila, bukan untuk menjebak, melainkan untuk melapisi kembali lukanya. Aura racunnya menebal, membuat udara semakin menyesakkan.
Leon menyaksikan pemandangan itu, senyumnya tak pernah pudar.
"Menarik. Monster ini benar-benar tangguh." Ia tahu bahwa ilusi saja tidak akan cukup untuk mengalahkan musuh sekuat ini. Ia membutuhkan serangan yang bisa memanipulasi kenyataan itu sendiri, sesuatu yang melampaui ilusi murni.
Di belakangnya, Axel terhuyung, terengah-engah. Serangan petirnya memang kuat, namun menguras energinya dengan cepat. Para pengawal juga mulai menunjukkan kelelahan. Jumlah laba-laba raksasa yang masuk dalam domain mimpi Leon memang berkurang drastis, banyak yang roboh karena kebingungan dan kepanikan, tapi yang lolos dari ilusi Leon dan yang berada di luar jangkauan "Dream" tetap menjadi ancaman mematikan.
Beberapa di antaranya bahkan sudah mulai menyemprotkan racun dari jarak jauh, membuat dinding dan lantai gua melepuh.
"Leon! Rencanakan sesuatu!" teriak Axel, nyaris putus asa saat ia berhasil menangkis serangan taring besar dengan perisai energinya. "Aku tidak bisa menahan ini lebih lama!"Mata Leon berbinar.
"Rencana? Sudah ada." Ia menutup matanya sesaat, berfokus. Energi biru dari sistem "Dream" di sekelilingnya mulai bergejolak, tidak hanya memancarkan cahaya, melainkan juga mendistorsi udara di sekitarnya.
Dunia di sekelilingnya tampak sedikit bergelombang, seolah realitas itu sendiri sedang ditarik dan diregangkan. Ini adalah level manipulasi "Dream" yang jauh lebih tinggi, sebuah domain mimpi yang tumpang tindih dengan kenyataan.
Saat ia membuka matanya, sesuatu yang luar biasa terjadi. Dari tanah di sekitarnya, ilusi pedang-pedang energi yang tak terhitung jumlahnya mulai muncul. Pedang-pedang itu bukan sekadar cahaya tipis; mereka memancarkan aura tajam, berkilauan, dan terasa nyata. Jumlahnya mencapai ratusan, melayang di udara, mengarah pada setiap laba-laba raksasa di dalam domainnya.
"Serang," bisik Leon, dan ratusan pedang ilusi itu melesat maju dengan kecepatan luar biasa. Mereka menembus cangkang laba-laba raksasa, mengiris kaki-kaki mereka, bahkan memotong taring-taring mereka.
Monster-monster itu menjerit, bukan karena kebingungan, melainkan karena rasa sakit yang nyata. Darah hitam kental membasahi lantai gua saat tubuh-tubuh mereka tumbang, berubah menjadi partikel-partikel cahaya seperti yang Leon lihat dalam mimpinya.
Axel dan para pengawal terperangah. Mereka tidak pernah melihat Leon menggunakan kemampuannya seperti ini. Ini bukan ilusi biasa; ini adalah serangan yang bisa menyebabkan kerusakan fisik nyata dengan memanipulasi persepsi dan realitas itu sendiri.
Namun, Red Spider Queen tidak terpengaruh oleh pedang-pedang itu. Ukurannya, dan mungkin semacam perlawanan mental internal yang lebih kuat, membuatnya kebal terhadap serangan langsung "Dream" Leon. Ia menggeram, fokus utamanya kini pada Leon.
Queen meluncurkan serangan balasan. Dari mulutnya, semburan jaring tebal berwarna hijau pekat melesat cepat, bukan hanya satu, melainkan tiga lapis, bertujuan untuk menjerat Leon. Racunnya menguap di udara, dan Leon bisa merasakan sensasi terbakar hanya dari jarak jauh.
Leon tersenyum sinis. "Terlalu lambat." Dengan satu jentikan jari, ia menciptakan ilusi cermin di depannya.
Jaring-jaring racun itu menabrak cermin ilusi dan terpantul kembali, menghantam tubuh Red Spider Queen sendiri. Ratapan kesakitan yang lebih keras keluar dari mulut monster itu saat racunnya sendiri mulai membakar cangkangnya.
"Baiklah, Gendut!" teriak Leon pada Axel. "Sekarang giliranku mengulur waktu untukmu! Fokus pada ratu itu!"
Axel mengangguk. Luka-luka yang ia terima dari laba-laba lain memedihkan, tapi melihat kekuatan Leon yang tak terduga, semangatnya kembali bangkit.
Ia mengumpulkan sisa-sisa energinya, menyalurkannya ke dalam serangan paling kuatnya. Kilatan petir yang lebih besar dan lebih kuat mulai terbentuk di tangannya, berdenyut dengan energi murni.
Sementara Axel mengisi dayanya, Leon mengalihkan seluruh fokus "Dream" miliknya pada Red Spider Queen. Ia tidak lagi menciptakan ilusi untuk mengganggu, melainkan untuk memanipulasi persepsi waktu Queen. Bagi monster itu, waktu melambat drastis.
NnGerakannya terasa seperti dalam lumpur, setiap usaha untuk menyerang atau bergerak menjadi lamban dan sia-sia. Bahkan benang jaring yang mencoba ia keluarkan melayang dengan sangat lambat.
Di mata Leon, Axel, dan para pengawal, Red Spider Queen seolah membeku di tempat, bergerak dalam gerakan lambat yang canggung. Ini adalah kesempatan mereka.
"Sekarang, Axel!" teriak Leon.
Axel, yang sudah siap, melompat maju. "LIGHTNING FIST!" Dengan raungan, ia meninju udara. Sebuah kepalan tangan raksasa yang terbuat dari petir murni muncul di depannya, melesat maju dengan kecepatan cahaya, menembus gerakan lambat Red Spider Queen, dan menghantam persis di tengah kepala monster itu, di lokasi yang sudah retak akibat serangan sebelumnya.
Ledakan yang dihasilkan sungguh dahsyat.
Cahaya biru-putih menyilaukan mata, dan gelombang kejut energi mengguncang seluruh ruangan. Red Spider Queen menjerit untuk terakhir kalinya, jeritan yang putus asa dan penuh penderitaan, sebelum tubuhnya meledak menjadi jutaan partikel cahaya, meninggalkan hanya tetesan cairan racun dan kristal energi yang berharga di lantai.
Keheningan tiba-tiba menyelimuti ruangan, hanya dipecahkan oleh suara napas terengah-engah Axel dan para pengawal. Alarm yang terus berdering akhirnya padam. Sosok hologram berjubah gelap itu masih berdiri tegak, tak bergeming.
"Bagus sekali," suara misterius itu mengakui, nadanya sedikit berubah, menunjukkan sedikit kejutan, meskipun masih dingin. "Kalian berhasil melewati ujian pertama. Tapi ini baru permulaan."
Leon berjalan mendekat ke hologram itu, tatapan matanya tajam. "Jadi, apa lagi yang kau sembunyikan?" tanyanya, tidak ada lagi rasa malas atau kebosanan. Hanya rasa ingin tahu yang membakar.
Hologram itu mengangkat tangannya, dan di belakangnya, sebuah retakan dimensi yang jauh lebih besar dan mengerikan mulai terbentuk di dinding gua tempat Red Spider Queen sebelumnya berada.
Retakan itu bukan berwarna ungu gelap seperti Gate biasa, melainkan merah menyala dan berdenyut seperti jantung yang berdarah.
Dari dalamnya, samar-samar terlihat pemandangan yang kacau balau: puing-puing kota yang hancur, langit merah, dan siluet makhluk-makhluk raksasa yang mengerikan, jauh melampaui monster mana pun yang pernah mereka lihat.
"Ini adalah Gerbang Sejati," kata suara itu, kini tanpa emosi. "Jembatan menuju realitas yang kusebut... Neraka. Tempat di mana krisis kalian yang sebenarnya bermula. Red Spider Queen ini hanyalah penjaga pintu, anak anjing dari apa yang menanti di sana. Dan kalian harus menghentikannya agar tidak mencapai dunia kalian."
Axel dan para pengawal memandang ke Gerbang Sejati dengan ngeri yang nyata. Mereka mengira telah mengalahkan ancaman. Namun, yang mereka hadapi hanyalah puncak gunung es.
"Kau ingin kami masuk ke sana?" tanya Leon, meskipun ada nada tegang dalam suaranya, seringainya tidak memudar. Tantangan ini, ia akui, jauh melebihi ekspektasinya.
"Pilihan ada di tangan kalian," jawab suara itu. "Tetapi ingat, jika kalian tidak menghentikannya, dunia kalian akan jatuh. Dan ini bukan lagi permainan."
Leon menatap Gerbang Sejati. Sebuah dunia baru yang brutal, sebuah ancaman yang bisa menelan umat manusia. Ini adalah panggung yang sempurna, dan ia, Leon Watkins, siap untuk menari di atasnya. Kebosanan akhirnya sirna. Ini adalah tujuan baru.