Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Terdengar suara motor berhenti di depan rumah membuat mama yang sedang menonton televisi menoleh ke arah jendela. Dan tak lama, terdengar ketukan pelan di pintu.
Saat dibuka, tampak Karan berdiri dengan senyum sopan.
Di tangannya ada kantong plastik berisi buah segar dan bungkusan sate ayam yang masih hangat, aromanya langsung menyebar ke seluruh ruangan.
“Assalamu’alaikum, Bu. Saya cuma mau nengok Puri, sekalian bawa sedikit makanan,” ucap Karan sambil menyodorkan bungkusan.
“Wa’alaikumussalam. Waduh, Mas Karan… repot-repot banget. Masuk, ayo,” sambut mama dengan ramah.
Karan masuk, melepas sepatunya dan mengikuti mama ke dalam.
Puri yang sedang duduk bersandar di ranjang, kaget begitu melihat Karan tiba-tiba muncul membawa senyum hangat.
“Mas Karan kenapa ada disini ?" tanya Puri pelan, matanya berbinar meski tubuhnya belum benar-benar pulih.
Karan tertawa kecil. “Masa aku nggak nengok orang yang sudah bikin aku panik seharian? Nih, aku bawain buah… dan sate. Kamu suka, kan?”
Puri tersenyum malu-malu, matanya langsung tertuju ke bungkusan sate yang aroma bumbunya menggoda.
“Wah, kamu beneran niat ya,” celetuk mama sambil tertawa kecil dari arah pintu.
“Puri, kamu yang sakit, tapi yang senyum-senyum malah mama.”
Keduanya tertawa kecil. Puri menunduk, pipinya kembali merona.
Karan duduk di kursi dekat ranjang, lalu berkata pelan,
“Yang penting sekarang kamu sembuh dulu. Lain kali jangan maksain diri, ya.”
Puri menatapnya sejenak. “Makasih, Mas. Udah nolongin… udah peduli…”
Karan hanya mengangguk pelan, tapi sorot matanya jelas—ia benar-benar tulus.
Dan malam itu, di antara aroma sate dan suara tawa kecil yang mengisi ruang sederhana itu, ada sesuatu yang perlahan tumbuh lebih hangat dari sebelumnya.
Karan membuka bungkus sate perlahan, mengatur tusukannya di atas piring kecil yang mama siapkan.
Ia lalu mengambil satu tusuk dan meniupnya sedikit, memastikan tidak terlalu panas.
“Coba, satu dulu ya,” ucapnya lembut sambil menyodorkan sate ke mulut Puri.
Puri sempat terdiam, ragu dan malu. Tapi mata Karan yang penuh perhatian membuatnya tak bisa menolak.
Ia membuka mulut pelan, lalu menggigit potongan daging ayam yang empuk dan gurih itu.
Karan tersenyum puas. “Enak, kan?”
Puri mengangguk pelan. “Enak… makasih,”
Mama yang sejak tadi duduk di ambang pintu hanya memperhatikan diam-diam.
Senyumnya muncul perlahan saat melihat bagaimana Karan dengan sabar menyuapi putrinya, mengusap sedikit saus yang menempel di sudut bibir Puri dengan tisu, lalu tertawa pelan ketika Puri tersedak kecil karena terlalu cepat mengunyah.
“Pelan-pelan, Puri. Kamu masih sakit,” kata Karan, setengah menegur tapi dengan nada hangat.
Mama hanya menggeleng pelan, senyum tipis masih menggantung di wajahnya.
Dalam hati, ia tahu… ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan lelaki itu pada putrinya.
Bukan sekadar perhatian biasa. Dan dari caranya merawat Puri malam itu, mama bisa merasakan kalau Karan datang bukan hanya sebagai teman.
Suasana rumah Puri masih hangat oleh aroma buah dan sisa sate yang belum habis.
Karan duduk santai di samping ranjang, masih dengan sabar menyuapi Puri yang mulai tampak lebih segar.
Tiba-tiba, suara motor berhenti di depan rumah. Tak lama, terdengar ketukan di pintu.
Mama membuka pintu, dan wajah familiar langsung muncul.
“Yudha ayo masuk,” ujar mama ramah, meski bisa menangkap ekspresi Yudha yang agak tegang saat matanya menyapu ke arah dalam rumah.
Yudha melangkah masuk, dan pandangannya langsung tertuju pada Karan yang sedang duduk dekat ranjang Puri—dengan piring sate di tangan, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Seketika, ada rasa aneh menggelitik dadanya.
Cemburu.
Ia tidak mengira akan melihat Karan di situ, terlebih dalam posisi begitu dekat dengan Puri.
“Kamu sakit?” tanya Yudha datar, berusaha terdengar tenang saat berdiri di dekat ranjang.
Puri tersenyum tipis. “Iya… tadi pingsan di kampus.”
Karan, yang masih duduk tenang, menoleh sambil berkata pelan namun jelas.
“Tadi Puri pingsan. Aku yang bawa ke klinik,"
Yudha mengangguk pelan, menahan sesuatu di dadanya.
“Oh… gitu ya…”
Mama yang melihat situasi jadi sedikit canggung segera berkata,
“Puri udah mendingan sekarang, tapi masih lemes. Untung aja Mas Karan ada waktu itu.”
Yudha hanya tersenyum paksa. “Iya… untung ada Karan.”
Tatapannya sempat bertemu dengan Karan, dan untuk sekejap ada keheningan.
Dua sahabat, tapi kini seolah berdiri di garis yang sama… menatap sosok yang mulai berarti lebih dari sekadar teman bagi keduanya.
Melihat suasana mulai meredam, mama segera mengambil inisiatif untuk mencairkan ketegangan.
“Yudha, kamu udah makan? Yuk, makan malam dulu. Mama udah masak tumis kangkung sama ayam goreng, masih anget,” ucap mama sambil tersenyum ramah.
Yudha mengangguk pelan, “Boleh, Tante. Makasih.”
Ia lalu menuju meja makan bersama mama, sementara Karan masih duduk di sisi ranjang Puri.
Beberapa menit berlalu, percakapan di ruang makan berlangsung hangat, meski sesekali Yudha melirik ke arah kamar dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Karan melihat jam tangannya, lalu berdiri perlahan.
“Bu, saya pamit dulu, ya. Udah malam. Besok pagi saya ke sini lagi buat lihat Puri,” ucapnya sopan.
“Iya, Mas Karan. Hati-hati di jalan, ya. Terima kasih banyak sudah repot-repot,” sahut mama sambil mengantarkannya sampai depan pintu.
Sebelum benar-benar pergi, Karan menoleh ke arah Puri.
“Untuk sementara jangan kuliah dulu, ya. Istirahat total aja sampai bener-bener pulih.”
Lalu matanya bergeser pada Yudha yang kini berdiri di ambang pintu ruang makan.
“Yud, besok tolong ijinkan dulu kalau Puri harus istirahat total. Dia belum kuat,” ucap Karan tenang, tapi terasa tegas.
Yudha menatap Karan sejenak, lalu mengangguk pelan.
“Iya, aku ngerti.”
Karan mengangguk kecil, memberi senyum singkat, lalu melangkah keluar dari rumah.
Suara motornya perlahan menjauh, meninggalkan keheningan yang sejenak menyelimuti rumah itu.
Yudha kembali duduk, melanjutkan makannya tanpa banyak bicara.
Tapi dalam diamnya, ada sesuatu yang mulai bergerak di dalam hati—perasaan yang selama ini tak pernah benar-benar ia akui.
Setelah menghabiskan makan malam dalam keheningan yang aneh, Yudha akhirnya berdiri dan berpamitan pada mama.
“Tante, aku pulang dulu. Terima kasih makan malamnya,” ucapnya singkat.
“Ya, Yud. Hati-hati di jalan,” sahut mama sambil mengantar sampai pintu.
Yudha melangkah cepat ke motornya, menyalakan mesin tanpa banyak bicara.
Begitu mobil melaju di jalanan malam yang mulai sepi, wajahnya menegang, dan rahangnya mengeras.
Dalam dadanya, emosi menggelora. Ia tak bisa melupakan pemandangan tadi—Karan yang duduk begitu dekat dengan Puri, menyuapinya, memperlakukannya seolah mereka sudah saling mengenal begitu lama.
Yudha mencengkram kemudi lebih erat. “Karan... selalu saja lebih dulu dariku,” gumamnya lirih, hampir seperti desah kekesalan.
Sesampainya di rumah, Yudha membanting pintu mobil, masuk ke kamarnya, dan duduk dengan gelisah.
Tatapannya kosong, tapi pikirannya penuh dengan wajah Puri dan Karan.
Ia menghela napas panjang, lalu berdiri sambil menatap bayangannya di cermin.
“Besok… aku harus bilang. Aku nggak mau kalah lagi. Aku suka Puri, dan dia harus tahu.”
Untuk pertama kalinya, Yudha membulatkan tekad. Rasa yang selama ini ia pendam akan segera diungkapkan sebelum semuanya benar-benar terlambat.