NovelToon NovelToon
SERENA (Aku Ingin Bahagia)

SERENA (Aku Ingin Bahagia)

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Anak Yatim Piatu / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Guru Jahat
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nita03

Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Halaman Dua Puluh Satu

***

Rabu pagi, langit tampak cerah meskipun angin masih membawa sisa-sisa udara dingin dari malam sebelumnya. Serena berdiri di pinggir trotoar, menunggu ojek online yang tadi ia pesan.

 Tubuhnya masih terasa sedikit berat, tapi semangat untuk kembali ke kantor membuat langkahnya terasa lebih ringan. Setelah dua hari terbaring karena demam tinggi dan perasaan yang carut-marut, akhirnya hari ini ia kembali ke rutinitasnya.

Motor berhenti di depan gang menuju kantor, dan Serena turun perlahan. Ia mengenakan blouse putih polos yang diselipkan ke dalam rok span abu-abu, ditambah cardigan abu muda yang menggantung ringan di bahunya. Riasan wajahnya tipis, sekadar memberi warna pada pipi pucatnya. Ia menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke dalam gedung perkantoran.

Setibanya di lobby, ia menyapa Pak Satpam yang tersenyum hangat seperti biasa. “Selamat pagi, Mbak Serena. Udah sehat, ya?”

Serena tersenyum kecil. “Pagi, Pak. Alhamdulillah, sudah mendingan.”

“Wah, syukurlah. Teman-teman kamu kelihatan nanyain terus, tuh.”

Serena membalas dengan anggukan sebelum masuk ke dalam lift. Sepanjang perjalanan ke lantai tempat Divisi Umum berada, ia sempat menatap pantulan wajahnya di cermin lift.

Matanya masih terlihat sembab jika diperhatikan dengan saksama. Tapi ia tidak ingin memperpanjang rasa sakit yang hanya bisa ia simpan sendiri.

Begitu pintu lift terbuka, Serena disambut dengan kehangatan yang membuat hatinya sedikit meleleh.

“Eh, itu Serena!”

“Serena! Udah masuk kerja!”

Rina dan Fifi hampir bersamaan berdiri dari kursinya dan berjalan cepat menghampiri Serena.

“Ya ampun, kamu keliatan masih pucat banget,” ujar Fifi sambil menyentuh tangannya perlahan. “Tapi senang banget kamu udah balik!”

“Iya, sempat khawatir juga,” tambah Rina. “Pas Delina nitipin surat sakit kamu, kami kira kamu bakal izin seminggu penuh.”

Serena tersenyum lembut. “Sebenarnya masih agak lemas sih… tapi udah bosen juga tidur terus. Kalau di rumah malah semakin kepikiran yang enggak-enggak.”

Dari meja sebelah, Jaja menoleh sambil berseru, “Akhirnya ruanganku nggak sepi lagi!”

Andra, yang dari tadi sibuk di depan layar komputer, ikut menengok dan melambaikan tangan. “Selamat datang kembali, Serena. Jangan kerja terlalu keras dulu, ya.”

Serena tersenyum lebar, lebih tulus dari pagi tadi. Suasana ini—kehangatan, candaan kecil, dan kepedulian rekan-rekan kerjanya—adalah hal-hal yang selama ini ia anggap kecil, namun belakangan ini terasa seperti pengikat luka-lukanya yang menganga.

Setelah beberapa menit mengobrol, Serena kembali duduk di meja kerjanya. Ia menarik nafas perlahan dan menyalakan komputer. Notifikasi e-mail mulai berdatangan. Beberapa laporan dari dua hari terakhir menumpuk rapi di foldernya.

Tapi ia tak langsung bekerja. Ia duduk sejenak, menatap layar kosong, membiarkan dirinya menyesuaikan kembali dengan ruang dan ritme yang ia tinggalkan sementara.

Tangannya bergerak membuka ponsel. Di sana, deretan pesan yang belum dibaca masih terpajang. Nama pengirim yang sama muncul berkali-kali di layar: Hafiz.

Hatinya mendesir.

Ia belum tahu harus bersikap seperti apa. Dua hari lalu, ia pulang dengan hati yang patah, melihat Hafiz bersama orang tuanya dan gadis yang... kemungkinan besar adalah calon tunangannya.

Serena tak pernah punya harapan terlalu tinggi—ia bahkan tak yakin apakah perasaan itu benar-benar cinta atau hanya kenyamanan yang tumbuh pelan-pelan. Tapi yang jelas, rasa sakit itu nyata.

Serena belum membuka satupun pesan Hafiz. Dan sekarang, ia belum siap. Bukan karena marah. Tapi karena takut apa yang akan ia baca akan membuat hatinya goyah lagi.

Ia kembali menatap layar komputer, lalu membuka folder laporan. Perlahan, ia mulai membaca dan mencatat, mengalihkan pikirannya untuk tetap sibuk.

Meski tubuhnya belum seratus persen pulih, dan hati masih setengah tertutup, Serena tahu… hari ini adalah awal baru yang ia harus hadapi dengan kepala tegak.

Ia tidak bisa terus bersembunyi dari dunia. Tidak dari pekerjaannya. Tidak dari perasaannya sendiri.

Dan mungkin… sebentar lagi, juga tidak bisa terus bersembunyi dari Hafiz.

.

Jam istirahat tiba. Di tengah hiruk-pikuk kantor yang mulai melambat ritmenya untuk sejenak beristirahat, ruang Divisi Umum mendadak menjadi lebih hangat. Beberapa karyawan membuka bekal makan siang, ada yang mulai merapikan meja sebelum beranjak ke kantin.

Serena masih duduk di tempatnya, menatap layar komputer yang baru saja ia kunci. Ia belum sempat berpikir akan makan apa siang ini. Tubuhnya masih terasa sedikit lemas meski suhu badannya sudah normal. Tapi, hatinya justru lebih lelah—lebih sibuk dari sekadar tenggorokan yang kering atau kaki yang nyeri.

Rina dan Fifi sudah berdiri, bersiap ke kantin, dan baru saja mengajak Serena bergabung saat langkah sepatu formal terdengar mendekat dari arah pintu.

Hafiz.

Pria itu berjalan pelan dan mantap, langsung menuju meja Serena. Beberapa karyawan lain melirik ke arahnya, sebagian diam-diam saling menyikut, mencoba menebak-nebak keperluannya.

Hafiz hanya tersenyum tipis kepada orang-orang di sekitar sebelum menarik kursi kosong di samping Serena dan duduk tanpa basa-basi.

Serena langsung merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan kegugupan yang jelas terbaca dari sorot matanya.

 Ia tidak menyangka Hafiz akan datang menghampirinya di tengah ruang divisi. Apalagi... setelah dua hari tak membalas satupun pesan darinya.

“Aku bisa duduk di sini sebentar?” suara Hafiz terdengar tenang, tapi nadanya berat, seolah mengandung terlalu banyak hal yang belum sempat diucapkan.

Serena hanya mengangguk kecil. Rina dan Fifi saling pandang, lalu memberi isyarat pamit, membiarkan mereka berdua bicara tanpa gangguan.

Setelah beberapa detik hening, Hafiz membuka suara lebih dulu. Tatapannya lurus, menyimpan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.

“Kenapa kamu nggak baca pesanku?”

Serena menelan ludah. Matanya masih tertunduk. Ia menarik nafas pelan sebelum menjawab dengan suara yang nyaris tak terdengar.

“Aku... selama sakit, nggak buka HP sama sekali. Sungguh.”

Hafiz diam, menunggu penjelasan lebih.

“Delina yang pegang HP-ku. Itu pun cuma sekali waktu buat ngabarin Mbak Rina soal surat sakitku,” lanjut Serena, kini lebih jelas. “Kepalaku sakit banget, dan aku... jujur, aku nggak sanggup mikirin apa-apa. Bahkan buka HP pun rasanya berat.”

Ucapan itu membuat nada di mata Hafiz berubah. Bukan lagi nada mendesak, tapi justru melembut. Ia menyesal telah memaksa, meski itu dilandasi rasa khawatir yang tak terbendung.

“Aku ngerti,” kata Hafiz akhirnya. “Tapi aku khawatir, Serena. Dua hari nggak ada kabar... aku benar-benar bingung harus cari kamu di mana.”

Serena mengangkat pandangannya. “Aku tahu. Maaf ya. Aku nggak bermaksud bikin kamu khawatir.”

Hafiz tersenyum tipis. “Sekarang gimana kondisimu? Kamu kelihatan masih pucat.”

“Udah mendingan kok. Cuma masih agak lemas aja,” balas Serena jujur.

Hafiz menatapnya dengan serius. “Kenapa maksa masuk kerja? Kamu bisa ambil istirahat satu atau dua hari lagi. Aku bisa bantu izin ke HR kalau kamu butuh.”

Serena menggeleng pelan. “Kalau aku di rumah terus, pikiranku nggak tenang. Malah makin stres. Di sini... walau capek, aku merasa punya tempat.”

Hafiz menunduk sebentar. Kalimat itu sederhana, tapi menohok. Ia tahu, kantor bukan hanya tempat Serena bekerja, tapi juga tempat ia merasa dihargai—diperlakukan dengan layak. Sesuatu yang mungkin tidak pernah ia dapatkan sepenuhnya di rumah lamanya.

“Kamu kuat, Serena. Tapi kamu juga manusia. Boleh kok sesekali lemah.”

Serena tersenyum tipis. “Aku nggak tahu cara jadi lemah, Mas Hafiz.”

Beberapa detik, keduanya terdiam. Suara obrolan ringan dari meja lain mulai terdengar kembali. Teman-teman Serena berpura-pura tak mendengar, meskipun jelas beberapa dari mereka mencuri-curi pandang.

Hafiz lalu berdiri, bersiap kembali ke ruangannya. Sebelum pergi, ia menoleh dan berkata pelan, “Kalau nanti butuh apa-apa… tolong, hubungi aku. Jangan simpan sendiri.”

Serena hanya mengangguk. Kali ini, lebih dalam. Lebih penuh rasa terima kasih.

Dan saat Hafiz pergi, meninggalkan aroma samar parfumnya dan jejak kehangatan yang tak sempat ia bawa pulang, Serena duduk lebih tenang.

Mungkin... sudah waktunya membuka pesan-pesan itu.

1
Yuni Ngsih
Duh Author ada orang yg ky gtu pdhal masih klwrga ,hrsnya membimbingnya bkn memarahinya cerita kamu bafu nongol bikin ku marah & kezel Thor ,kmu sih yg bikin ceritra bgs banget jd yg baca kbw emozi ....he....lanjut tetap semangat
Nita: terima kasih kak, udah mampir.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!