Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Bara Yang Tak Kunjung Padam
*📝** Diary Mentari – Bab 17**
"Beberapa momen dalam hidup tak dirancang untuk diulang. Ia datang sekali, membakar pelan, lalu abadi dalam ingatan.”***
...****************...
Aku mengenakan seragam pramuka lengkap, mengenang masa kecil saat pertama kali ikut kemah di lapangan belakang sekolah. Tapi kali ini aku sudah SMA. Bukan lagi peserta, melainkan pendamping. Sebuah kebanggaan tersendiri bisa dipercaya memimpin adik-adik kelas dalam kegiatan tahunan yang selalu dinanti.
Perlengkapan sudah aku kemas rapi semalam. Tenda, baju ganti, peralatan makan, dan tak lupa buku kecil tempat aku biasa menulis saat malam menjelang. Menulis selalu membuatku tenang. Tapi malam ini, sesuatu yang lain membuat hatiku bergetar.
Adit.
Sudah bisa kutebak dia pasti akan ikut dalam kegiatan ini. Dia aktif dalam kegiatan Pramuka, bahkan lebih aktif dariku. Kami sudah biasa satu tim, tapi tetap saja… rasa itu tak pernah menjadi biasa. Dia masih seperti Adit yang dulu—pintar, ramah, dan terlalu menyenangkan untuk diabaikan.
Perkemahan berjalan penuh tawa dan tantangan. Dari lomba yel-yel, jelajah malam, hingga permainan api unggun. Tapi aku hanya menunggu satu momen: malam api unggun.
Malam itu langit begitu gelap, tapi udara tidak terlalu dingin karena hangatnya lingkaran api di tengah lapangan. Semua siswa duduk melingkar, mengenakan jaket atau selimut tipis. Nyala api menari, memantulkan cahaya jingga ke wajah-wajah penuh semangat.
Aku berdiri di belakang lingkaran sebagai pendamping. Membantu mengawasi adik-adik kelas. Saat itu, aku ingin menghindari tempat duduk pembina dan para senior lainnya. Tapi ternyata, aku tidak bisa menghindar. Adit datang, lalu duduk di sebelahku. Begitu saja.
Jantungku serasa melompat. Aku tidak bisa pergi. Aku terjebak. Dalam lingkaran api unggun dan dalam kehadirannya yang begitu dekat.
Ia duduk menyilangkan kaki, tangannya disilangkan di depan dada, sesekali mengusap hidungnya karena hawa dingin. Wajahnya diterangi cahaya api—senyumnya, matanya, bahkan siluet rambutnya seolah masuk dalam puisi yang ingin kutulis saat itu juga.
Lalu dia membuka percakapan.
“Seru ya,” katanya pelan.
Aku hanya mengangguk.
Kemudian dia menoleh dan berkata pelan tapi tajam, “Tan, kenapa sih kamu menjauh terus?”
Seketika, suara tepuk tangan adik-adik kelas seolah menghilang. Hanya ada suara api yang menyala dalam jiwaku. Pertanyaan itu… memukul jantungku seperti genderang. “Tan,” katanya. Nama yang hanya dipanggil oleh mereka yang mengenalku sejak lama.
Aku menunduk, tak menjawab.
Aku ingin mengatakan: Aku nggak menjauh, Dit… aku cuma takut.
Takut harapan ini membuatku jatuh. Takut perasaanku terlalu tinggi. Takut aku bukan siapa-siapa dibanding dirimu.
Aku ingin bilang: Aku mengagumimu sejak kecil, sejak pertama kita membaca puisi bersama di panggung kecil SD, sejak kamu selalu berada di belakangku di tiap lomba.
Tapi semua itu hanya kusimpan.
“Maaf ya, kalau aku bikin kamu nggak nyaman,” katanya lagi.
Aku menoleh cepat. “Bukan, bukan gitu…”
Adit menatapku menunggu penjelasan.
Aku menggigit bibirku. “Aku cuma… nggak biasa aja, Adit. Bukan karena kamu… tapi karena aku.”
Adit tersenyum. “Kamu itu unik, Tan. Selalu merasa bukan siapa-siapa. Tapi kamu nggak sadar kamu tuh hebat. Aku dari dulu selalu salut sama kamu.”
Aku mengerutkan kening. “Salut?”
“Iya. Kamu pintar, kuat, sederhana, dan kamu punya tekad. Aku tahu kehidupan kamu nggak mudah, Tan. Tapi kamu nggak pernah berhenti belajar. Itu keren banget.”
Aku terdiam. Api unggun seperti membakar seluruh kebisuanku.
“Kalau aku sering deketin kamu… itu bukan karena kamu pintar aja, Tan,” katanya lirih.
Aku menatapnya—mataku terasa panas.
“Karena kamu beda.”
Kata itu begitu ringan di bibirnya, tapi berat sekali bagiku.
Kami terdiam. Suara gitar dari salah satu pembina mengiringi nyanyian penutup api unggun.
Aku ingin momen itu berhenti. Tapi juga ingin cepat selesai. Perasaanku campur aduk.
Malam itu, setelah anak-anak tidur di tenda masing-masing, aku diam di luar sambil menulis.
⸻
“Ada rasa yang tak bisa kupahami. Tapi malam ini, rasanya tak lagi sama. Mungkin, ini bukan hanya kagum. Mungkin, ini cinta yang diam-diam tumbuh dalam diam… dan kini mulai bicara.”
⸻
Esok paginya, aku bangun lebih awal dari siapa pun. Wajahku masih merah setiap kali mengingat kata-kata Adit. Tapi aku tidak tahu apa artinya semua itu. Apakah itu awal sesuatu? Ataukah hanya percikan kecil yang akan padam seperti bara api unggun yang tadi malam begitu megah lalu dingin tertiup angin pagi?
Aku tidak berani berharap.
Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak takut lagi berada di dekatnya.
⸻
“Cinta pertama bukan tentang memiliki. Tapi tentang bagaimana hati belajar mengenal rasa yang berbeda. Tentang keberanian untuk tetap berdiri, meski belum tahu harus melangkah ke mana.”
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.