Pagi yang cerah di suatu pulau bagian utara Jawa, desiran ombak dan suara burung-burung pagi sudah menghiasi dermaga, beberapa nelayan yang baru pulang melaut sedang memilah-milah hasil tangkapan, seorang pemuda yang tegap dan gagah terlihat sibuk dengan perahu cadiknya.
“hoooyyy... Wahai laut, hari ini aku akan mengarungimu, aku akan menjadi penjaga laut Kesultanan, kan ku berantas semua angkara murka yang ingin menjajah tanah Jawa, bersiaplah menerima kekuatan otot dan semangatku, Hahahaha..
”Rangsam berlayar penuh semangat mengarungi lautan, walau hanya berbekal perahu cadik, tidak menurunkan semangatnya menjadi bagian dari pasukan pangeran Unus. Beberapa bulan yang lalu, datang Prajurit Kesultanan ke pulau Bawean, membawa selembar kertas besar yang berisi woro-woro tentang perekrutan pasukan Angkatan laut pangeran Unus Abdurrahman, dalam pesan itu tertulis bahwasanya pangeran akan memberantas kaum kuning yang selama ini sudah meresahkan laut Malaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dimas riyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENUJU PERTEMPURAN
Paman adipati menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi, yang barusan dialami Rangsam tadi bukanlah mimpi, melainkan rogoh sukmo, Rangsam baru saja berada di alam lain, alam yang dikuasai oleh raja kera Wanara, ia adalah khodam dari keris milik ayah Rangsam, semenjak Rangsam pingsan, keris itu terus bergerak gerak, dan secara ajaib terbang melesat ke arah Rangsam, untung saja ada paman adipati yang selalu menjaga Rangsam, dengan sigap paman adipati menangkap keris tersebut, jika tidak, keris itu sudah menancap di dada Rangsam.
“benar paman, aku tadi bertarung melawan kera besar, ia memperkenalkan diri sebagai wanara, dia memaksaku menjadi budaknya, aku melawan, alhamdulillah aku dapat mengalahkannya”.
“maafkan paman anakku, paman lupa memberitahu soal ini”.
“tidak papa paman, yang penting aku selamat, oh iya paman, kenapa aku ada di sini?, bukankah kita sedang berperang?”
“iya anakku, sementara ini bintara memenangkan perang, tapi perang belum usai, kita belum bisa merebut malaka, mereka Cuma pasukan penghadang, soal dirimu, si raja kera merasuki tubuhmu, ia membabat habis satu kapal tanpa ampun, aku sampai merinding mendengar teriakan musuh meregang nyawa, dan ia ingin membunuh kapten pemimpin pasukan Portugis, untung aku bisa mencegahmu yang sedang dikuasai raja kera, dan kapten Portugis itu selamat, sekarang ia menjadi tawanan kita”.
“Lalu, apakah aku harus tetap memiliki keris itu, atau sebaiknya aku tidak memilikinya?”
Paman adipati menghela nafas, “keris ini memiliki kekuatan yang luar biasa, jika kau mampu mengendalikannya, pasti sangat bermanfaat sekali, tapi yang kutakutkan rupanya sudah terjadi, dan kau menjelma menjadi penjahat perang”
Rangsam pun terdiam, seketika timbul rasa bersalah, walaupun ia tidak berkehendak, tapi dengan tangannyalah kejahatan perang itu terjadi. Paman adipati lah yang paling merasa bersalah, ia masih terbawa suasana bahagia dengan ditemukannya Rangsam, sehingga tidak mengukur akibat dari benda pusaka yang ia berikan, memang Rangsam adalah putra Wiyakrakusuma, namun untuk saat ini Rangsam belum menyamai ayahnya, paman adipati merasa naif, ia sadar, bahwa kehebatan seseorang itu perlu proses, tidak serta-merta diwarisi.
Rangsam beranjak dari tempat tidur, meninggalkan Wigardakusuma tanpa sepatah kata pun, paman adipati tidak berani melihat punggung Rangsam, ia sangat menyesal, kalau bukan karnanya, tidak mungkin monster sekeji wanara dapat menguasai tubuh keponakannya itu. Dia pernah mendengar dari Wiyakrakusuma, bahwa kerisnya memiliki jiwa, dan jiwa keris itu adalah sesosok makhluk yang buas, tidak semua orang dapat mengendalikannya.
Rangsam kembali masuk ruangan, kali ini rambutnya telah basah.
“dari mana kau nak?” paman adipati bertanya tanpa melihat Rangsam. “aku mengambil air wudhu paman, semoga dengan sholat taubat, Allah mengampuni dosa dan kesalahanku”
Rangsam menggelar kain di pundaknya, kemudian mengangkat tangan setinggi dada, dan menyedakepkan keduanya, lantunan doa dalam sholatnya ditemani tangis dan isak, berharap Allah memberikan ampunan, karena taubat adalah jalan terbaik bagi jiwa yang merasa durhaka, paman adipati ikut menangis, semakin dalam sesal bagi paman adipati, bagi seorang satria, berperang tanpa belas kasih adalah memalukan, dan bagi seorang muslim, berperang dengan nafsu adalah salah, semuanya harus lillah, sekalipun musuh, jika ia sudah tidak berdaya, maka ia berhak hidup.
Hari sudah mulai gelap, pasukan bintara Cirebon terpaksa harus lempar jangkar, menyusun kekuatan dan strategi untuk penyerangan utama di pelabuhan, rapat darurat dimulai, kini para petinggi tersisa kapitan Oerip, kapitan keker, pangeran Teja arum, pangeran Unus, pangeran adipati, dan Rangsam. Dua petinggi dari Cirebon sudah gugur, begitu juga dengan kapitan Adji, ya beginilah perang, untuk suatu perdamaian dan ketentraman perlu ada pengorbanan. Pangeran Unus terlihat sangat terkejut, seperti tidak percaya, separuh pasukan dan kapal dapat dihabisi hanya dengan puluhan kapal, mungkin itu yang membuat ia gelisah, walaupun tidak dikatakan, raut wajahnya jelas berbicara.
“Alhamdulillah, Allah masih memberi kita kesempatan untuk berjuang kembali, memang serangan tadi tidak pernah kita duga, yang pasti, kedatangan kita ke malaka sudah diketahui oleh musuh, yang sangat disayangkan, pasukan Palembang dan regu walet ireng belum datang, tapi tidak papa, jangan sekali-kali kita bergantung pada makhluk, tempat bergantung hanyalah Allah, kapitan keker, kapitan Oerip, tetap jaga semangat prajurit, pangeran warangka dan prajurit Lodra, aku minta kalian berdua membantu kapitan Oerip, pangeran Teja arum dan paman adipati, hamba mohon untuk bersedia membantu kapitan keker, itu saja keputusan strategi kita”
“jika itu yang terbaik menurut pangeran, kami taat pada perintah”, paman adipati menatap pangeran Unus dengan pandangan lain, ia menangkap bahwa ini adalah keputusan yang sulit, namun apa boleh buat, perintah tetaplah perintah, dan itu pasti yang terbaik untuk semua.
“baiklah, rapat kali ini sudah selesai, persiapkan diri kalian untuk besok, aku pamit undur diri, assalamu’alaikum”, pangeran Unus berdiri, kemudian segera masuk ke dalam ruangan, setelah pangeran Unus tidak terlihat, yang lain hendak beranjak, namun dicegah oleh Rangsam, “tunggu dulu, kita baca doa kafarotul majlis”
“silahkan pangeran warangka”
“Trimakasih paman adipati, Bismillahirrahmanirrahim, subhanakallahuma wa bihamdika asyhadu allaa ilaaha illa anta astagfiruka wa atuubu ilaik”
“aamiin...” semuanya ikut mengamini, semoga apa yang menjadi niat jihad mulia menjadi buah kemenangan.
Dalam bilik yang temaram, pangeran Unus berfikir keras, apa yang membuat separuh armadanya tenggelam, padahal mereka menang jumlah, persenjataan pun lengkap, meriam cetbang tak kalah banyak, dimana letak celah bintara, ia masih berfikir, pangeran Unus mulai mengingat-ingat kejadian tadi siang, akhirnya ia teringat dengan tenggelamnya kapal regu bajul, pangeran Unus melihat bola meriam yang dapat meledak dan yang paling aneh adalah pelontarnya, bisa ditujukan ke segala arah, ia masih berfikir, senjata apakah itu, mungkinkah dengan senjata itu Portugis tak terkalahkan oleh Kerajaan Nusantara. Pangeran Unus mulai putus asa, sekarang yang ia pikirkan adalah nasib prajuritnya, ia tidak mau bertambah korban tanpa ada kemajuan perang yang berarti, itu sama saja bunuh diri. Kemudian terlintas dalam benaknya, siapakah yang membocorkan kedatangan mereka, apakah ada telik sandi dari Portugis? atau ada salah satu dari mereka yang berkhianat?, sempat terpikir kapitan Uzglu, namun buru-buru ia tepis, mana mungkin Uzglu menghianati Kesultanan, ia sudah bersumpah kepada Sultan murad untuk berjuang demi saudara seiman di Jawa. Malam itu pangeran tidak bisa tidur, bagaimana bisa tidur, perang sudah dimulai, dan hasil dari perang belum ada kemajuan, tak secuil pun tanah Malaka yang terbebas, mereka berperang nyaris sia-sia. Buru- buru pangeran Unus mengambil air wudhu, ia tunaikan sholat dua rakaat, selesai sholat ia berdoa, memohon petunjuk, hanya itu yang bisa ia lakukan, karena sesulit apapun cobaan manusia, hanya Allah lah yang dapat memberikan jalan keluar, ... Dan memohon pertolonganlah dengan sabar dan sholat..., itu penggalan ayat yang dapat mengobati hati yang lelah, jiwa yang sepenuhnya pasrah adalah jiwa-jiwa yang dalam perlindungan dan perbendaharaan Allah, tak ada satu pun di dunia ini tanpa ada gerak dan kuasa Allah, ia bisa membuat rakyat biasa menjadi mulia, dan bisa membuat raja menjadi hina dina, contoh nyatanya adalah Rangsam, sejak kecil ia merasa bahwa dirinya adalah rakyat biasa, namun dengan sekejap Allah angkat derajatnya sebagai pangeran bintara, lalu bagaimana dengan dirinya sendiri?, akankah Allah takdirkan ia tertangkap Portugis, dan Allah jadikan drajatnya menjadi budak, tidak ada yang sulit bagi Allah, jika Allah berkehendak sesuatu, maka pasti terjadi, hanya doa dan harap yang kini ia punya, berperang adalah ikhtiar, hasilnya Allah yang punya kehendak.
“ya Allah, aku bukan siapa-siapa melainkan hamba, aku berserah jiwa dan raga kepadamu, hanya kepada-Mu hamba memohon, dan hanya kepada-Mu lah sebaik-baiknya tempat meminta pertolongan. Ya Allah, rabb pemilik laut yang sekarang ini kami bertumpu, esok hari kami ingin menumpas angkara murka, kami ingin membebaskan saudara kami, berilah pertolongan kepada kami, sesungguhnya kami takut, beranikankah kami semata-mata karena-Mu, sesungguhnya kami lemah, kuatkanlah semata-mata karena-Mu, sesungguhnya kami tanpa arah, berikanlah petunjuk karena kasih dan sayang-Mu. Ya Allah, jadikanlah yang haq nyata di Panca indra kami, dan jadikanlah yang bathil nyata di Panca indra kami, kasih-Mu luas tak bertepi, sayang-Mu tanpa ada pilah, jadikanlah kami seperti kekasih-kekasih-Mu di hari badar, dengan kuasa-Mu, dengan kemulyaan-Mu, dan dengan nama-Mu kami berjihad di jalan-Mu”
Matahari sudah mengintip, awan bulu domba sudah mengudara, sungguh hari yang indah, yang cerah dan seharusnya adalah hari yang dapat membuat orang bahagia, namun tidak bagi awak-awak kapal Bintara, mereka semua tegang, kapal sudah angkat jangkar, melaju dengan pasti, menanti daratan Malaka terlihat, semuanya terdiam, menanti ajal yang entah datang entah luput.
Mereka sudah bersiap di posisi masing-masing, hanya diam dan meriam, hanya diam dan pemuras, hanya diam dan tarkul, hanya diam dan pedang, namun tidak dengan Rangsam dan kerisnya, ia tampak tersenyum lebar, bernafsu sekali, bersemangat sekali, seperti sesumbarnya sebelum berangkat ke selat Muria, ia ingin menunjukkan otot dan semangat kepada kaum kuning, kaum Portugis.
Lodra cemas di samping Rangsam, sambil remas-remas gagang pedang, siluet daratan Malaka mulai terlihat, jantung berdetak dengan kecepatan tidak semestinya, dan....
Inilah yang dikhawatirkan, barisan kapal perang Portugis sudah menanti, bersiap mengadu nasib dengan pasukan Bintara, dan inilah dia, pertempuran yang sesungguhnya, pertempuran Bintara di Malaka.
***