Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5
Mahen celingukan, mencari keberadaan Naren yang tadi pamit memisahkan diri untuk membeli camilan tambahan namun tidak kunjung kembali ke titik di mana mereka janjian. Meski suka bikin onar, adiknya itu tidak pernah menghilang begini, apalagi di supermarket yang tidak terlalu besar seperti sekarang.
Kakinya masih terus melangkah. kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mengintip setiap lorong demi menemukan keberadaan Naren agar mereka bisa segera pulang. Ayah mereka sudah menunggu di rumah, mereka tidak boleh lama-lama di sini.
Sedang fokus mencari keberadaan adiknya, Mahen malah mendengar suara lain yang kedengaran tidak asing. Penasaran, dia mengikuti dari mana suara itu berasal. Yang ternyata, berasal dari dekat lorong rak segala jenis produk olahan susu.
Sesuatu yang mengejutkan kemudian membuat Mahen terdiam sejenak. Bukan hanya menemukan pemilik suara familier tadi, dia juga menemukan Naren yang telinganya sedang dijewer. Dia pun bergegas mendekat setelah kesadarannya kembali, hendak mencari tahu apa gerangan yang sedang terjadi.
"Kay," panggilnya.
Si empunya nama menoleh perlahan. Disusul Naren yang ikutan menoleh dan langsung melemparkan tatapan penuh isyarat minta bantuan.
"What happened?" tanyanya.
"Abang! Tolongin Naren dari nenek sihir ini!" Dan teriakan Naren malah menjadi satu-satunya yang terdengar.
Sementara Kayanara, perempuan itu malah mematung di tempat. Otaknya masih mencoba mencerna situasi yang dia hadapi sekarang. Kala menemukan Mahen memanggil namanya, dia merasa kakinya perlahan berubah menjadi jelly karena takut anak sulung Janu itu akan menghakimu tindakannya. Menilai pribadinya buruk karena suka berbuat kekerasan terhadap orang lain, terlebih di tempat umum.
Akan tetapi, situasinya ternyata bahkan lebih buruk dari itu. Si bocah kematian... Si bocah pembuat onar ini adalah adiknya Mahen? Adiknya... Mahen? Itu berarti... ANAK BUNGSUNYA JANU?!
Oh my God!
"Kay?" Mahen mengibaskan tangan di depan wajahnya, sontak membuat Kayanara mengerjap dan serta-merta melepaskan jewerannya di telinga Naren.
"Oh, Mahen, whatcha doing here?" Pertanyaan balik itu Kayanara lontarkan dengan sedikit gelagapan.
"Beli sayuran." Kantong belanja di tangannya diangkat sejajar dada. Lalu di detik ketika kantong belanja itu diturunkan lagi ke samping tubuh, Mahen menemukan Naren yang semula meronta-ronta minta dibantu kini malah balik menatapnya curiga.
"Abang," panggil anak itu dengan penuh penekanan.
Mahen tidak menyahuti panggilannya, malah fokus pada Kayanara. "Adik aku bikin ulah apa, Kay?"
Masih cukup mengawang, Kayanara mengacungkan jarinya, menunjuk kotak susu yang sudah penyok di lantai. "He bumped into me, dan bikin susu itu jatuh terus nggak sengaja keinjek sama orang. I just want him to apologize, tapi dia nolak, so ... um ... yeah, you know? I just--"
"Minta maaf." Nada suara Mahen tiba-tiba berubah, membuat Kayanara terhenyak. Sisi cute pemuda itu seketika lenyap. Kini, Mahen benar-benar menampakkan sisi anak sulungnya yang kuat dan dominan.
"Abang...."
"Minta maaf, Naren. Ayah sama Abang nggak pernah ajarin kamu buat jadi pengecut yang nggak berani minta maaf."
Sungguh! Kayanara dibuat merinding melihat sikap Mahen yang tegas dan terkesan tidak bisa dibantah. Alih-alih si bocah kematian yang belum apa-apa sudah mencari gara-gara dengannya, sekarang Kayanara malah lebih takut pada Mahendra. Ingat, dia adalah spesialis menaklukkan bocil kematian, tetapi tidak berpengalaman dalam menghandle cowok alpha macam pemuda ini.
"Naren."
"Maaf." Untuk pertama kalinya, Kayanara akhirnya bisa mendengar kata maaf itu keluar dari mulut Narendra. Alih-alih senang, dia malah merinding sebadan-badan.
"Yang bener minta maafnya," tegur Mahen lagi.
Naren tampak mendengus, tetapi tak urung tetap mengulangi permintaan maaf dengan patuh.
Emosi Kayanara atas ulah Naren sudah menguap sejak tadi. Kini, dia hanya bisa menganggukkan kepala beberapa kali. Meskipun tahu bahwa si bocah kematian itu masih tidak tulus meminta maaf kepada dirinya.
"Good boy." Dan Kayanara kembali dibuat melongo mendapati mood Mahen yang bisa berubah dalam sekejap. Pemuda itu tersenyum, tangannya menepuk-nepuk puncak kepala adiknya yang kini tengah merengut.
"Belanjaan kamu biar aku yang bayar, Kay. Sebagai permintaan maaf karena aku juga lalai jagain Naren." Mahen menawarkan.
Namun, Kayanara dengan cepat menggeleng. "Nggak usah, Mahen. It's okay. Naren juga udah minta maaf, itu udah cukup." Toh cuma dua kotak susu, pilihan Kayanara.
"Tapi aku nggak enak."
"You don't have to. It's totally fine," sahut Kayanara.
Mahen melirik sebentar ke arah Naren yang masih saja cemberut. Lalu, dia mengangguk dan menggandeng lengan adiknya sebelum terjadi huru-hara yang lebih besar.
"Kalau gitu, kami pamit, ya. See you."
"Ya, see you." Kayanara membalas.
Kakak-beradik itu lantas berlalu. Tersisa Kayanara yang mulai mempertanyakan kehidupannya sendiri.
Mengapa dia selalu kesulitan mengendalikan emosi jika sudah berhadapan dengan para bocah kematian?
"Good luck, deh, Kay. Berdoa aja si Janu nggak perpanjang masalah ini dan bawa Lo ke polisi."
Sebab biar bagaimanapun, dia tahu Janu bukan orang sembarangan. Lagi pula, bapak mana yang rela anaknya dijewer oleh orang lain?
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Ada sepasang mata yang terus mengawasi Mahen sejak ia duduk di balik kemudi, hingga kini mobilnya sudah terparkir rapi di car port. Dia sadar, tetapi memilih pura-pura tolol agar Naren tidak mereog di sepanjang perjalanan pulang.
"Tunggu!" Lengannya dicekal sewaktu hendak turun dari mobil. Terpaksa, Mahen kembali ke posisi duduk dan menoleh pada adiknya.
"Ayah udah nunggu, nggak enak kalau kelamaan," kilahnya.
Tapi Naren si keras kepala langsung menggeleng kuat-kuat. "Abang harus jelasin dulu ke Naren."
"Soal apa?"
"Nenek sihir."
Dahi Mahen mengerut. "Nenek sihir?"
"Iya, nenek sihir. Perempuan galak yang tadi jewer kuping Naren sampai merah!" seru Naren menggebu-gebu. Seraya menunjuk telinganya.
"Abang harus jelasin gimana?"
"Dia siapa? Abang kenal dia di mana? Udah berapa lama kalian saling kenal? Kenapa Naren nggak pernah tahu kalau Abang punya kenalan galak begitu?" cerocos Naren. Seolah anak itu hanya punya satu kali kesempatan untuk bicara dan memutuskan menumpahkan semua yang ada di kepalanya.
"Satu-satu, Abang pusing mau jawabnya."
"Nenek sihir itu siapa, itu aja intinya."
"Teman," jawab Mahen asal. Cuma itu yang terlintas di kepalanya.
Naren memicing, tidak percaya.
"Beneran teman." Mahen mengulang. Dua jarinya sampai diangkat membentuk huruf V. Anggap saja mereka memang sudah berteman sejak perkenalan singkat kemarin. Jadi dia tidak dosa-dosa amat, kan?
"Kenal di mana?"
"Pernah jadi volunteer di Selaksa." Nah, kalau yang ini seribu persen bohong. Tidak apa-apa, sehabis ini Mahen akan langsung sholat taubat.
Karena Naren tampaknya masih tidak percaya juga, Mahen tak punya pilihan selain segera kabur. Setara kecepatan cahaya dia membuka pintu mobil, melesat keluar, dan berlari tunggang-langgang meninggalkan car port dan Naren di belakang.
Mahen agaknya lupa kalau tingkahnya itu justru malah semakin membuat Naren curiga. Setelah tubuhnya menghilang di balik pintu utama, Mahen tidak akan sadar kalau Naren mulai mengumpulkan berbagai macam cocoklogi di kepalanya.
"Ada yang nggak beres nih."
Bersambung....