Berawal dari ganti rugi, pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi. Seiring waktu, tanpa sadar menghadirkan rindu. Hingga harus terlibat dalam sebuah hubungan pura-pura. Hanya saling mencari keuntungan. Namun, mereka lupa bahwa rasa cinta bisa muncul karena terbiasa.
Status sosial yang berbeda. Cinta segitiga. Juga masalah yang terus datang, akankah mampu membuat mereka bertahan? Atau pada akhirnya hubungan itu hanyalah sebatas kekasih pura-pura yang akan berakhir saat mereka sudah tidak saling mendapatkan keuntungan lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 05
"Gue menolak!" ujar Lily tegas. Membuat Brian dan Yosep terdiam dan menatap gadis itu dengan serius. Melihat tatapan keduanya, Lily kembali menunjukkan rentetan gigi putihnya. "Jangan marah dulu, Om. Gue sebenarnya suka banget diajak ke pesta. Apalagi banyak makanan yang enak dan gratis. Tapi, gue ngerasa enggak pantes aja."
"Kenapa tidak pantas?" tanya Brian cepat.
"Ya, Om bayangin aja. Om ini orang kaya. Ganteng, gagah, berwibawa. Yang datang di pesta itu pun orang kaya. Lah, kalau Om bawa gue ke pesta itu, udah pasti nanti jadi menarik perhatian publik."
"Bukankah bagus kalau jadi pusat perhatian," sanggah Brian. Tak sekalipun lepas menatap gadis kecil di depannya.
"Bagus, sih. Kalau kayak artis itu. Cantik, anggun dan menawan. Lah, kalau gue. Nanti orang-orang bilangnya gini." Lily bersedekap erat sambil memasang wajah sinis. "Hay, Tuan Brian. Tumben sekali ke pesta bawa pembantu. Tuan Brian mungut gembel di mana?"
Lily berakting. Seperti dalam sinetron-sinetron kebanyakan yang sering di tonton. Dengan ekspresi yang begitu menjiwai membuat Brian dan Yosep pun berusaha menahan tawa.
"Bukan aku yang menjelekkan dirimu. Tapi kamu sendiri yang bilang begitu." Brian menggigit bibir bawah untuk menahan senyumnya. Ia harus jaga image di depan gadis itu. Jika tidak, pasti Lily akan semakin besar kepala.
"Makanya, Om. Janganlah ke pesta. Gimana kalau gue temenin Om makan siang atau makan malam. Eh, tapi nanti hutang gue nambah. Gimana kalau gue kenalin Om sama temen gue aja. Om sukanya yang spek apa? Spek bidadari apa badarawuhi."
Brian menghela napas panjang saat mendengar ocehan Lily. Rasanya ingin sekali merem*s mulut gadis tersebut.
Ponsel Lily berdering. Ia mengambilnya dan melihat nama Rama tertera di layar. Lily pun menepuk kening cukup keras. "Mati gue! Pak Rama udah telepon."
Lily pun segera memasukkan ponsel ke dalam tas. "Om, maaf ya. Udah waktunya masuk kerja lagi. Jangan sampai Pak Rama mecat gue. Soal ganti rugi, nanti dibahas lagi." Gadis itu terburu-buru hendak pergi.
Hampir saja Lily terjatuh karena tersandung kakinya sendiri. Namun, Brian menahan pinggang Lily dengan segera. Keduanya pun bertatapan sangat dalam. Saling terdiam. Brian merasa dirinya hanyut dalam sorot mata Lily yang memabukkan.
"Ternyata Om tampan sekali. Seperti seorang dewa," gumam Lily. Membuat Brian mengulas senyumnya. "Tapi tidak ada dewa yang perhitungan kepada seorang wanita. Auuh!"
Mendengar kelanjutan ucapan Lily, mendadak Brian merasa kesal. Ia bahkan melepaskan begitu saja hingga gadis itu jatuh di lantai.
"Om! Jahat sekali! Bagaimana kalau anakku mati." Lily bangkit sambil mengusap perut, sedangkan Brian menatap penuh selidik ke arahnya.
"Anak? Apa kamu sedang hamil?" tanya Brian menuntut jawaban.
"Iya." Lily menjawab cepat. Membuat Brian mendelik tajam. "Bukan anak manusia tapi anak cacing. Wleekkk!"
Gadis itu menjulurkan lidah sebelum akhirnya berlari pergi tanpa berpamitan. Brian melongo sesaat. Lalu tersenyum simpul setelahnya.
"Dasar gadis bodoh!" gerutu Brian sambil menggeleng. Setelahnya, ia pun kembali ke kursinya. "Yosep, kamu harus memastikan kalau dia membayar ganti rugi."
"Tuan, maaf. Tumben sekali Anda sangat perhitungan. Tidak seperti Tuan Brian yang saya kenal. Biasanya, uang lima puluh juta hal yang kecil untuk Anda. Apalagi Nona Lily dari keluarga biasa."
"Diamlah, Yosep."
"Apa Anda memiliki niat tertentu?" Yosep masih saja bicara.
"Maksud kamu?" Brian sudah melayangkan tatapan tajam.
"Anda hanya ingin dekat dengan Nona Lily," balas Yosep. Namun, lelaki itu langsung diam saat melihat tatapan Brian yang menajam. Seolah hendak menelan hidup-hidup dirinya. "Baik, saya kembali bekerja, Tuan. Jangan potong gaji saya."
****
"Ly ...."
"Hmmmm."
"Ada undangan reuni SMA. Elu mau datang enggak?" tanya Ines saat mereka sedang dalam perjalanan pulang bersama.
"Kapan? Gue belum buka grup."
"Besok Sabtu. Datang, yuk. Tahun lalu elu enggak Dateng, 'kan." Ines tampak antusias. Berbeda dengan Lily yang terlihat biasa saja.
"Coba nanti gue pikirin lagi. Males sebenarnya gue datang ke acara gituan. Paling juga jadi ajang bergaya doang," keluh Lily. Beberapa kali menghadiri acara reuni tiap tahun, Lily sudah paham acaranya akan seperti apa.
"Tapi, sekarang ada yang beda."
"Apanya yang beda? Sama aja, 'kan? Bahas soal kekayaan dan harta orang tua. Jabatan mereka saat ini. Apalagi si Yasmin. Beuuhhhh! Udah berapa kali aja dia ngehina gue."
"Beneran, Ly. Sekarang ada yang beda. Elu masih inget cowok idaman gue, 'kan? Si Arvel itu." Ines menaik-turunkan alis sambil tersenyum menggoda.
"Arvel juga mau dateng? Bukannya dia di luar negeri terus ya?" tanya Lily. Ia masih sangat ingat kalau sahabatnya sangat mengagumi lelaki itu. Begitu tergila-gila hingga membuat Lily terkadang jadi korbannya.
"Iya. Arvel udah konfirmasi kalau dia bakalan datang. Bahkan, dia juga bilang kalau sekarang mau menetap di sini lagi. Ayolah, datang bareng gue. Temenin gue, pliss." Ines menangkup kedua tangan di depan dada. Memohon kepada sahabatnya.
Melihat apa yang dilakukan Ines, membuat Lily mendengkus kasar karenanya. "Baiklah. Kalau bukan karena elu, gue ogah lagi datang ke acara gituan."
"Yeii!! Makasih banyak. Elu emang sahabat baik gue." Ines memeluk Lily erat. Namun, segera ditepis oleh gadis itu karena hampir saja Lily kehilangan keseimbangan.
"Enggak usah lebay!" Lily berdecih.
"Heheh. Gue terlalu bahagia aja. Oh iya, gimana soal ganti rugi itu?"
"Enggak tahu. Nanti gue bahas lagi sama si Om. Yang jelas, gue keberatan."
"Kenapa elu enggak minta bantuan Pak Rama. Dia pasti mau bantuin elu. Aduh!" Ines mengaduh saat Lily sudah mencubit tangannya cukup kencang.
"Uang puluhan juta itu bukan uang yang sedikit. Mau sampai kapan gue ngelunasinnya? Lagian, Pak Rama belum tentu ngasih."
"Tapi ...."
"Udah. Jangan dibahas. Bikin gue makin pusing aja."
Akhirnya, mereka pun membicarakan hal yang lain. Ketika sampai di depan rumah Ines, Lily berhenti mengayuh sebentar. Setelah sahabatnya turun. Ia pun kembali melanjutkan perjalanan. Tinggal melewati pertigaan depan dan maju sebentar, ia akan sampai di rumah.
Akan tetapi, baru mengayuh beberapa meter. Lily kembali berhenti karena sedari tadi ada mobil yang membunyikan klakson di belakangnya. Ia pun menoleh dan melihat mobil hitam berhenti sambil terus menyalakan klakson. Lily merasa heran siapakah pemilik mobil tersebut.
"Hay, Nona Lily? Apa tidak capek mengayuh sepeda?"
Saat kaca mobil diturunkan, Lily berdecih keras. Ternyata itu adalah Yasmin. Musuh bebuyutan sejak kecil. Lily berusaha untuk tidak peduli padanya. Ia hanya diam saat Yasmin terus saja menghina dirinya.
Tiba-tiba ada sebuah ide masuk. Ia mengambil ular mainan dari dalam tas secara diam-diam.
"Nona Lily ... gue harap ...."
"Makan nih ular!" Lily melemparkan ular itu ke dalam mobil lalu mengayuh sepeda dengan cepat. Bibirnya tertawa cekikikan saat mendengar teriakan dari dalam mobil Yasmin. Terdengar sangat melengking.
Namun, karena tidak fokus. Lily justru jatuh ketika belok di pertigaan. Hampir saja menabrak sebuah mobil yang juga hendak berbelok.
"Oh, astaga. Sial banget gue."
"Apa ganti rugi itu masih kurang sampai kamu mau menabrak mobilku lagi?"
Suara dari dalam mobil membuat Lily diam seribu bahasa.
kenapa Lily begitu syok melihat Om tampan datang yang ikut hadir dimalam itu 🤦