Anatasya menyembunyikan identitasnya sebagai putri bungsu keluarga konglomerat dari suaminya. Ia membantu Adrian membuka perusahaan. Tapi siapa sangka ternyata Adrian tidak pernah mencintai Anatasya, dia bahkan jijik dengan bau amis yang melekat pada tubuh istrinya.
Suatu hari, Adrian menceraikan Anatasya dan mengungkapkan bahwa dia memiliki pacar, yaitu Clara, seorang wanita kaya dan cantik yang merupakan adik sepupu dari keluarga Santoso.
Anatasya merasa hancur dan terhina. Tasya akan membuat orang yang menyakiti nya membayar mahal dibantu oleh ketiga abangnya. Damian, Julian dan Rafael.
Ketiga Abangnya tidak akan membiarkan adik bungsu mereka terluka.
Bagaimana reaksi Adrian dan keluarga nya setelah mengetahui jika wanita yang selama ini mereka hina adalah putri konglomerat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Pewaris Keluarga Santoso
Keluarga Pratama terkesima melihat kedatangan ketiga pewaris keluarga Santoso. Aura kekayaan dan kekuasaan yang terpancar dari mereka membuat keluarga Pratama merasa kecil dan tidak berdaya.
"Idolaku memang keren banget!" seru Winda, matanya berbinar-binar kagum.
"Win, orang yang mengaku pewaris keluarga Santoso yang membawa Tasya, apa itu mereka?" tanya Jamilah, suaranya bergetar karena rasa penasaran dan ketakutan.
"Kemarin itu aku panik, jadi aku tidak terlalu jelas dan nggak yakin sih! Tapi sepertinya bukan, bukankah Ibu bilang Tasya nggak mungkin putri keluarga Santoso?" jawab Winda, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Clara, dengan senyum licik, mendekati calon ibu mertuanya. "Tante, tenang saja. Ketiga kakak sepupuku itu baru pulang dari luar negeri. Dia pasti bukan Tasya," ucap Clara, kemudian berbalik menghadap Anatasya. "Tasya, habis kamu!" bisiknya, matanya berkilat penuh kemenangan.
Adrian, yang tidak ingin membuang waktu, segera menghampiri ketiga pewaris itu. "Halo, Pak Damian, saya Adrian Pratama dari perusahaan Pratama," sapanya dengan senyum lebar, berusaha bersikap ramah.
Namun, pengawal Damian langsung menampar Adrian dengan keras. "Siapa kamu? Kamu tidak pantas berbicara dengan bos kami," bentak pengawal itu, suaranya penuh penghinaan.
"Kenapa? Bukankah aku pernah menelepon asisten Bapak? Kalian bahkan bilang hendak kerja sama dengan perusahaan kami," protes Adrian, wajahnya memerah karena amarah dan rasa malu.
Pengawal itu menampar Adrian lagi, membuatnya terhuyung ke belakang.
Damian, dengan tatapan dingin, menjelaskan, "Kerja sama dengan perusahaan Pratama disetujui karena adikku. Tapi sepertinya CEO Pratama telah menyakitinya. Jadi, kami batalkan saja kerja samanya."
"Bukan, jangan! Ini pasti ada yang salah," seru Adrian, suaranya bergetar karena panik.
Dalam hatinya, Adrian bergumam, 'Adik mereka itu setahuku hanya Clara. Apa jangan-jangan mereka tahu soal Tasya yang menindas Clara? Ini tidak bisa dibiarkan!'
Adrian, dengan penuh amarah dan frustrasi, sekali lagi menampar Anatasya. Tamparan keras itu membuat semua orang terkejut, terutama Damian, Julian, dan Rafael yang menatapnya dengan tatapan membunuh.
"Sialan! Cepat berlutut dan minta maaf ke Clara!" teriak Adrian, matanya berkilat penuh kebencian.
"Kalau kamu nggak menindas Clara, Pak Damian nggak bakalan memutuskan kerja sama kami!"
Emosi Adrian memuncak. Dia merasa terpojok dan putus asa. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kekayaan dan kekuasaan keluarga Santoso. Dia rela melakukan apa saja, bahkan menyakiti Anatasya, untuk mencapai tujuannya.
Damian, yang tidak terima melihat adiknya diperlakukan seperti itu, dengan geram mengambil tongkat dari pengawalnya dan memukul kaki Adrian dengan keras. Adrian menjerit kesakitan, tubuhnya bergetar hebat.
Julian dan Rafael, yang juga marah melihat perlakuan Adrian pada Anatasya, tidak tinggal diam. Mereka membuat Adrian berlutut dan hampir mematahkan lengannya, menunjukkan kemarahan mereka yang mendalam.
"Adrian, kamu tidak apa-apa?" ucap Jamilah dengan nada khawatir yang bercampur ketakutan.
"Lenganku patah, lenganku patah!" rintih Adrian, air mata menetes di pipinya.
"Kalian! Jangan sembarangan nuduh! Wanita sialan itu yang menindas adik kalian!" seru Jamilah, berusaha membela putranya. "Kenapa malah memukul anakku?"
"Kamu tahu siapa yang kalian sebut sebagai wanita sialan?" tanya Damian dengan suara dingin yang menusuk.
"Siapa lagi kalau bukan wanita yang dicampakkan anakku? Kalian nggak tahu yang benar malah patahkan lengan anakku. Keluarga Santoso memang kaya raya, tapi nggak seharusnya tindas orang begini," ucap Jamilah, berusaha menarik simpati orang-orang dengan nada merendahkan.
"Sudah bagus cuma patah lengan. Pengawal, bawa mereka keluar!" perintah Damian dengan nada tegas yang tidak terbantahkan.
Adrian diseret keluar oleh para pengawal, sementara Jamilah dan Winda mengikuti dengan wajah penuh kebencian dan ketakutan.
"Enyah kalian!" teriak Damian, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Di luar aula, Jamilah melampiaskan amarahnya.
"Adrian, kamu nggak papa? Gara-gara Tasya sialan itu, dia yang buat onar malah kamu yang dihukum keluarga Santoso. Tahu begini, waktu kalian bercerai kita habisi saja dia!"
"Kak, sekarang kita gimana? Apa kita akan dihabisi keluarga Santoso karena singgung keluarga mereka? Aku nggak mau hidup miskin lagi," ucap Winda, suaranya bergetar ketakutan.
"Diam! Keluarga Pratama sukses berkat kerja keras dan usahaku, dan aku nggak mau gara-gara si Tasya semuanya jadi sia-sia. Memangnya kenapa kalau dia kasih uang untuk buka perusahaan? Nggak bakal dia halangi jalanku," tegas Adrian, matanya berkilat penuh dendam.
"Adrian, kamu nggak papa kan?" ucap Jamilah, melihat putranya yang masih kesakitan.
"Bu, telepon Clara!" perintah Adrian, suaranya lemah namun penuh amarah.
**
Clara, yang masih berada di dalam aula, dengan percaya diri memperkenalkan dirinya. "Kak, aku Clara Santoso. Putri Jerry Santoso," serunya, berusaha menarik perhatian ketiga pria itu.
Anatasya, yang mendengar perkenalan itu, terkejut. Dalam hatinya, dia bergumam, "Jerry Santoso, bukankah itu paman? Dan dia hanya punya satu putra yang sekarang sekolah di luar negeri. Sejak kapan paman punya anak perempuan?"
Rafael, dengan tatapan tajam, langsung menyerang Clara. "Kudengar Paman baru saja pulang membawa anak haram yang dibesarkan simpanannya selama 20 tahun. Kamu orangnya?" tanyanya, suaranya dingin dan menusuk.
"Iya, aku," jawab Clara, wajahnya memerah karena malu dan marah.
"Pantas saja ngaku putri keluarga Santoso sampai rebut suami orang, ternyata anak simpanan?" ketus Anatasya, tidak mau kalah. "Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya."
"Aku lagi ngomong sama sepupuku. Nggak usah ikut campur. Sana pergi, penyamar! Cepat pergi!" bentak Clara, berusaha mengusir Anatasya.
"Kenapa sampah ini masih ada di sini?" seru Damian, suaranya penuh jijik. "Usir dia!"
Clara terkejut, tidak menyangka akan diperlakukan seperti itu. "Kak Julian, aku sepupu kalian. Kalian nggak boleh begini," teriaknya, namun tubuh kecilnya tidak mampu melawan kekuatan para pengawal yang menyeretnya keluar.
Sepeninggal Clara, Rafael menghampiri Anatasya. "Tasya, kenapa kamu biarkan mereka menghina kamu? Yang mereka rasakan belum ada apa-apanya," tanyanya, heran melihat sikap adiknya yang begitu tenang. "Menurutku, mereka itu pantas untuk dibasmi."
Anatasya tersenyum tipis. "Kak Rafael, aku tahu kalian pasti sakit hati. Tapi kalian tidak tahu situasi tadi, semua tamu melihat kita. Ibunya Adrian urat malunya sudah putus. Kalau kita basmi mereka demi kepuasan sesaat, kita yang akan diomongin. Nggak bagus untuk kalian dan keluarga kita," jelas Anatasya, suaranya lembut namun penuh pengertian.
"Tasya benar, dulu kami tidak mempertimbangkan kamu menikah dengan Adrian," ucap Julian, menyesali keputusan mereka di masa lalu.
"Sejak kamu menikah dengan Adrian, ternyata kamu jadi lebih bijak," tambah Damian, kagum dengan perubahan adiknya.
"Kalian lihat IQ-nya rendah sekali. Dia bisa sampai di titik ini karena dukunganku," sindir Rafael, meremehkan Adrian.
"Baru sukses langsung tinggalkan istri," seru Rafael, menggelengkan kepala.
"Aku mau lihat berapa lama dia bertahan," tambah Julian, menatap ke arah pintu keluar dengan tatapan sinis.
"Eh, Tasya," seru Rafael, menggandeng lengan Anatasya. "Rabu depan kakak ada konser di Aula Manom, datang ya! Nanti kakak kenalkan dengan cowok ganteng. Tinggal pilih saja," godanya, berusaha menghibur adiknya.
Namun, Julian menarik Anatasya menjauh dari Rafael. "Adikku ini nggak perlu menikah. Biar aku yang rawat," ucapnya, posesif.
"Jangan pegang-pegang!" tarik Damian, tidak mau kalah.
"Hei, kenapa nggak boleh pegang adikku?" tanya Rafael, tidak terima.
Julian menarik Anatasya kembali. "Kalau gitu, pakai aturan lama. Senin, Rabu, Jumat sama aku. Selasa, Kamis, Sabtu sama Damian. Minggunya sama kamu."
"Hari ini Selasa, jadi sama aku," tarik Damian, dan membawa Anatasya pergi.
Rafael tidak terima. "Kenapa aku cuma 1 hari? Dia adikku juga!"
"Adikku!"
"Adikku!"
"Adikku!"
Ketiga kakak beradik itu terus berdebat, memperebutkan Anatasya, sampai Anatasya tidak tahan lagi dan berteriak, "Bawa mereka pergi!"
"Aaahhh."
...----------------...