"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Bertemu Bu Amira
"Kamu mau buat apa, Nak? Kok ngambil daun pisang segala?" tanya Pak Abdul pada Hanin yang baru kembali dari halaman belakang.
"Mau buat pepes sama nagasari,Pak. Besok pagi Mas Raffa mau ngajak alku menemui ibunya." Hanin meletakkan daun pisang di amben, lalu mengelap setiap helai daun tersebut.
"Bukannya orangtua Raffa ada di luar kota, ya?"
"Mas Raffa bilang, ibunya datang setelah tahu kalau Mas Raffa sudah menikah sama aku, Pak.Ibunya mau ketemu sama aku.Makanya ini mau alku bawain oleh- oleh yang aku masak sendiri."Hanin tersenyum.
la bahagia,namun juga gugup. Jujur saja masihada rasa cemas yang menggelayut di hatinya. la takut jika ibunya Raffa tak suka padanya.
"Ohh begitu. Syukurlah kalau begitu. Bapak doakan kalian bisa akur"
"Makasih, Pak." Hanin mulai menata ikan tongkol dan bumbu pepes yang sudah ia buat sebelumnya di atas daun pisang dan membungkusnya.
la lakukan semua bahan masakan sampai habis. Kemudian ia kukus semua pepes tersebut di panci kukus yang sudah siap. Selagi menunggu matang, Hanin bersiap membuat adonan nagasari. la mencampurkan tepung beras, santan, gula, dan sedikit garam lalu diberi daun pandan dan mengaduknya hingga mengental. Aroma khas nagasari mulai tercium.
Bu Daning yang baru pulang dari arisan bergegas ke dapur. Ia melihat Hanin sedang sibuk membuat jenang nagasari.
"Tumben buat kue itu? Ada pesenan?" tanyanya.
"Enggak, Bu. Aku besok mau ketemu sama ibunya Mas Raffa danaku bawakan ini," jawab Hanin. Ia menoleh sekilas pada ibunya yang nampak mencebik.
"Kayak mau ketemu presiden saja! Mbok dibeliin gula sekilo sama kopi seperempat saja sudah cukup, Nin. Gak perlu repot- repot begini," celetuk Bu Daning.
"Aku gak repot, kok, Bu. Lagian kan aku udah biasa masak begini,"kata Hanin.
la tersenyum dan mengangkat jenang nagasari, memindahkannya ke atas amben, kemudian seraya menunggu sedikit dingin, ia memotong pisang untuk isiannya.
Dengan telaten, Hanin mulai membungkus kue nagasari satu persatu sampai adonan habis. Setelahnya, Hanin mengukus kue tersebut. Cukup melelahkan memang. Tapi, ia senang, karena apa yang akan ia berikan adalah hasil karyanya sendiri.
Pak Abdul yang sedang besantai sambil minum kopi di halaman rumah mengernyit saat melihat seorang wanita bergaya mewah berjalan menuju ke arahnya.
Wanita berambut panjang berwarna coklat, berkulit putih dan berkacamata hitam itu berhenti tepat di hadapan Pak Abdul. Pak Abdul sontak saja berdiri dan menyambut wanita itu.
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyanya, sopan.
Wanita itu tak lain adalah Menik. la berhasil mencari tahu siapa wanita yang menikah dengan Raffa dan kini ia sudah sampai di rumah wanita itu. Menik membuka kacamatanya, lalu memindai rumah sederhana yang tak ada seperempat dari halaman rumahnya. Pandangannya lalu berhenti pada sosok lelaki paruh baya yang memakai sarung dan kaus oblong di depannya.
"Apa benar ini rumah Hanin?" tanya Menik yang langsung diangguki oleh Pak Abdul.
"Bisa panggilkan dia sebentar. Saya ingin bicara dengannya."
"Silakan masuk dulu. Anda bisa bicara di dalam dengan putri saya," tawar Pak Abdul.
Kedua mata Menik menyipit."'Saya tunggu di sini saja. Tolong, waktu saja gak banyak. Katakan saja kalau ini berhubungan sama Raffa," cetusnya.
Pak Abdul mengangguk."Baiklah, saya panggilkan dia. Silakan duduk!" ucapnya.
Namun, Menik hanya berdeham saja dan tetap memilih berdiri. Enggan rasanya ia duduk di kursi kayu usang itu.
Hanin tersenyum bangga karena pepes tongkol dan kue nagasarinya akhirnya matang. Saat ia hendak memindahkan masakannya, tiba- tiba Bapaknya datang dan menyuruhnya keluar.
"Memangnya ada apa, Pak?" Hanin heran melihat sikap Pak Abdul yang tampak bingung.
"'Ada wanita cantik nyari kamu, Nak. Dia mau bicara sama kamu.K atanya ini berhubungan sama suamimu," kata Pak Abdul.
Bu Daning yang sedang makan, ikut penasaran. "Memang siapa wanita itu, Pak?"
"Bapak tidak tahu, Bu. Dia terllihat seperti artis," celetuk Pak Abdul.
"Jangan- jangan, suamimu itu diam- diam seorang penjahat, Nin. Atau, dia sebenarnya udah nikah?"celetuk Bu Daning.
Bukannya menenangkan, ia jutru memantik api agar Hanin dan Pak Abdul cemas.
"Gak mungkin, Bu. Bentar deh, aku temuin dulu." Hanin menghela napas. Lalu, berjalan menemui wanita yang dimaksud bapaknya.
Hanin menatap heran wanita yang berdiri di halaman rumahnya. Penampilannya sangat mencolok, namun tetap terlihat bahwa usiannya tak lagi muda meski memakai riasan tebal.
Wanita itu menatap Hanin dengan tajam dari atas hingga bawah. Hanin yang ditatap seperti itu merasa heran sekaligus takut.
"Maaf, Anda siapa?" tanya Hanin setelah berhadapan dengan Menik.
Menik menatap ke dalam rumah Hanin. "Bisa kita bicara agak jauh dari sini?" pintanya.
Hanin menatap ke dalam rumahnya, di sana ada kedua orang tuanya yang sepertinya ingin melihat apa yang terjadi. Ia dapat menebak bahwa wanita di hadapannya ini butuh privasi.
"Kita bicara di pos depan sana saja kalau begitu," kata Hanin.
"Boleh."
Hanin berjalan lebih dulu. Ia seperti seorang babu sekarang karena penampilannya sangat jomplang bila dibandingkan Menik.
"Sekarang, hanya ada kita berdua. Apa yang Anda mau dari saya?" tanya Hanin.
"Lepaskan Raffa. Kamu dan Raffa menikah karena terpaksa kan?"
Hanin seketika melotot mendengar ucapan wanita di depannya itu.
"Anda ini sebenarnya siapa? Apa hak Anda mengatakan hal seperti itu? Mas Raffa itu suami saya apa pun yang terjadi," ucapnya.
Menik terdiam sesaat, namun beberapa detik berikutnya ia tertawa lepas. Membuat Hanin yang melihatnya terheran- heran.
"Suami? Ha ha ha! Suami...."Menik mengusap sudut matanya yang dihiasi bulu mata palsu.
"Dia tak akan pernah menjadi suamimu, Hanin. Kamu pikir siapa kamu? Apa kamu gak ngaca? Raffa sudah saya jodohkan dengan wanita sekelas dia," celetuknya.
Hanin terdiam. Hatinya perlahan merasakan perih yang tak diharapkan hadir.
"Begini saja ... katakan berapa yang kamu mau?" Menik mencoba melakukan penawaran.
"Maksud Anda?" Hanin menatap dengan satu alis terangkat.
"Katakan, apa seratus juta cukup?" Menik menatap Hanin.
"Oh, kurang, ya? Bagaimana kalau tiga ratus juta. Asalkan kamu tinggalkan Rafa!"
"Cukup!" bentak Hanin. Dadanya bergemuruh mendengar celoteh Menik yang terus merendahkan harga dirinya.
"Lebih baik sekarang Anda pergi dari sini atau saya panggilkan warga untuk mengusir Anda!" Hanin dengan lantangnya mengusir Menik. Wanita yang menurutnya tak punya adab. Datang- datang bukannya memperkenalkan diri malah menyuruh orang lain untuk meninggalkan suaminya. Gila! Menik berdecih. "Kamu sudah melakukan kesalahan besar," celetuknya seraya menyeringai.
"Kesalahan terbesar saya adalah menanggapi ocehan Anda sejak tadi. Maaf, saya sibuk.
Sebentar lagi Mas Raffa pulang. Kalau memang Anda menginginkan saya dan Mas Raffa berpisah, Anda minta saja sama Mas Raffanya langsung untuk meninggalkan saya. Permisi!" Hanin melangkah pergi meninggalkan Menik yang ternganga.
"Haaah, astagaaa! Berani sekali dia padaku!" Menik menarik napas dalam- dalam, lalu mengembuskannya. "'Aku harus segera pergi dari pada Raffa melihatku di sini," tukasnya.
Hanin menghela napas. la memejamkan mata seraya mengatur emosi yang masih menggelegak dalam dada. Percakapannya dengan Menik tadi masih mengusik hatinya.Sebenarnya siapa wanita itu? Apa hubungan wanita itu dengan suaminya?
Hanin menegakkan badan saat pintunya terbuka. Ia menatap Raffa yang baru saja pulang dari bekerja. Lelaki itu memang tampan dan nyaris sempurna. Berbeda dengan dirinya yang sederhana.
"Hei?" Hanin tergagap saat Raffa menepuk pundaknya.
"Eh, iya, Mas?"
"Apa yang kamu pikirkan? Sejak tadi aku panggil gak nyahut-nyahut," ujar Raffa.
"Mas? Kamu sebenarnya siapa,sih?" Hanin menatap suaminya dengan pandangan penuh tanya.
Merasa ada yang tidak beres dengan istrinya, Raffa duduk di sisi Hanin. Mencoba bersikap biasa saja. "Aku Raffa. Suamimu. Kenapa memangnya?"
Hanin terdiam. Menatap manik hitam suaminya. "Jangan bohong,Mas," katanya seraya mengalihkan tatapannya. la yang menatap, ia juga yang tak kuat.
"Memang apa yang membuatmu bertanya seperti itu?"
"Aku hanya orang biasa." Hanin membuang napas panjang.
"Tadi ada seorang wanita datang ke sini mencariku, Mas.," Kedua mata Raffa sedikit menyipit.
"Siapa?"
Hanin mengendikkan bahu."Dia tidak mau menyebut namanya.Tapi, dari penampilannya, dia terlihat seperti bukan orang sembarangan. Dia cantik, modis dan bergaya meski usianya tidak muda. Dan apa Mas Raffa tahu apa yang dia inginkan dariku?"
Raffa terlihat menahan emosi.
"'Apa?"
"Dia menyuruhku meninggalkanmu." Kedua mata Hanin mulai berkaca- kaca.
"Sebenarnya dia siapa, Mas? Apa hubungan di antara kalian?" cecarnya.
"Aku tidak mengenalnya, Hanin."
Hanin menyipitkan mata. "Mas jangan membohongiku," ucapnya, pelan. "Apa Mas selama ini adalah simpanan Tante- tante?"
Pertanyaan yang sempat berputar dalam benaknya akhirnya terlontar juga.
Raffa yang semula emosi, serasa ingin tertawa. Namun, ia tahan sekuat tenaga.
"Pemikiranmu terlalu jauh!" celetuknya seraya menyentil kening Hanin.
"Aduh! Sakit!" Hanin mengusap- usap keningnya.
"Suamimu ini bukan orang serendah itu, Hanin. Aku hanyalah orang biasa yang hidup keras sejak kecil. Tapi, aku bukan simpanan tante- tante. Cukup aku menjadi simpananmu," kata Raffa.
"Bener?"
"Apa kamu meragukanku?" wanita itu menyuruhku...
"Enggak, Mas. Tapi... kenapa meninggalkanmu?"
Hanin menatap Raffa.
"Bisa saja dia mengagumiku, Nin. Sudah, lupakan saja dia.
Anggap saja dia wanita gila," kata Raffa. "Lalu, apa jawabanmu? Apa kamu mau menerima perintah wanita itu?"
Hanin menggeleng. "Mana mungkin ak menerimanya?" sahutnya.
"Alasannya?"
Hanin menghela napas panjang. "Meski pernikahan kita diawali dengan hal yang kurang baik, tapi pernikahan kita sah dimata Allah. Mas Raffa adalah suamiku, sampai kapan pun dan apa pun yang terjadi. Mas Raffa adalah jalan menuju surgaku sekarang. Lalu, kenapa aku harus meninggalkan Mas Raffa hanya karena perintah wanita itu?"
Sudut bibir Raffa terangkat. Ucapan tulus yang terlontar dari bibir Hanin berhasil menyentuh sudut hatinya. la memeluk Hanin, hal yang belum pernah ia lakukan selama ini. Dan hal itu, seketika membuat darah Hanin berdesir hebat.
"Terima kasih, Hanin. Terima kasih karena kamu memilih untuk tetap bertahan," kata Raffa, sungguh- sungguh.
"Aku pastikan kalau wanita itu tak akan datang lagi menemuimu," ucapnya lagi.
Hanin yang masih berusaha menetralkan degup jantungnya hanya mengangguk dalam dekapan Raffa. Raffa melepaskan pelukannya. Kedua tangannya menyentuh bahu Hanin. Mereka lantas bertatap muka.
"Besok kita bertemu Ibuku, ya?"
Hanin tersenyum. "Iya, Mas. Aku tadi udah buat pepes sama kue nagasari. Kamu mau coba nggak?" tawarnya.
"Boleh, siapin ya. Aku mau ganti baju dulu."
Hanin mengangguk. Lantas, berjalan meninggalkan Raffa sendiri.
Raffa mengepalkan kedua tangannya. "Wanita itu sudah berani mengganggu Hanin ternyata. Lihat saja apa yang akanaku lakukan padamu!"
...****************...
Keesokan harinya, Hanin dan Raffa bersiap berangkat bertemu Bu Amira. Pak Abdul memberi pesan pada Raffa sebelumnya yaitu,
"Jika kesan pertama ibumu tidak suka Pada Hanin, kamu boleh mengembalikan Hanin pada Bapak, Nak."
Raffa menjawab bahwa ibunya pasti akan menyukai Hanin dan meyakinkan lelaki paruh baya itu bahwa ibunya dan Hanin akan cocok.
"Hati- hati di jalan! jangan ngebut, Nak Raffa!" Kata Pak Abdul yang diangguki oleh Raffa.
Motor memasuki kawasan perumahan. Hanin bertanya- tanya. Apakah kontrakan Raffa ada di dalam perumahan ini?
"Aku suka suasana sepi. Makanya aku memilih ngontrak di perumahan," kata Raffa yang bisa membaca ekspresi Hanin lewat kaca spion.
"Eh?" Hanin tergagap.
Raffa memarkir motornya dirumah berwarna krem. Rumahyang berada di paling sudut itu tampak asri karena ada pohon mangga di halamannya.
"Ini rumah kontrakanmu, Mas? Wah, lebih bagus dari rumahku," kata Hanin seraya memindai rumah tersebut.
"Tapi ini bukan punyaku, Nin.Lebih enak rumahmu, kan?" Raffa menjawab seraya melepas helm.
"Ayo, masuk! Ibu sudah menunggu!"
Hanin mengangguk. la menenteng rantang dan berjalan masuk. Langkanya terhenti saat di ruang tamu, seorang wanita paruh baya berdiri tersenyum ke arahnya. Hanin, lantas meletakkan barang bawannya dan itu.
"Ibunya Mas Raffa, kan?" tanya Hanin usai menyaliminya. menyalimi wanita
"Assalamu' alaikum, Bu. Ibu ini
"Wa' alaikum salam. Benar, Hanin."
"Ibu cantik sekali," kata Hanin, jujur. Wajah Bu Amira tampak meneduhkan. Kentara sekali jika wanita itu orang yang baik. gak salah pilih istri."
"Lebih cantikan kamu. Raffa Hanin terkekeh.
"Tapi, pernikahan kami..."
"Ibu sudah tahu semuanya." Bu Amira menepuk bahu Hanin. "Entah diawali dengan hal baik atau buruk, kamu tetap istrinya Raffa. Kalian sudah sah. Dan kamu juga sah jadi menantuku."
Hanin mengangguk. "Makasih, ya Bu."
"Iya, Sayang." Bu Amira memeluk Hanin. la dapat melihat gelagat Hanin yang ingin memeluknya tapi sungkan.
"Duduklah, ayo! Ini kamu bawa apa?"
"Pepes tongkol sama kue nagasari. Ibu mau nyoba?"
"Di belakang saja, yuk! Sambil lihat kolam ikan!" kata Bu Amira.
"Oh, baik, Bu!" Hanin menenteng kembali rantang yang ia bawa ke ruang belakang.
Hanin membuka rantang tiga susun itu dan menatanya di mejamakan. "Ibu mau makan apa dulu? Nasi sama pepes apa kue nagasari?"
"Kue saja. Tadi, Ibu sudah makan. Nanti saja ibu makan lagi,Nin."
Hanin mengangguk, lalu menyodorkan kue nagasari ke hadapan Bu Amira.
"Enak. Kamu buat sendiri, Nin?" Wajah Bu Amira terlihat senang usai mencicipi kue Hanin.
"Iya, Bu." Hanin menjawab malu- malu.
"Raffa beruntung sekali punya istri kayak kamu."
Hanin tersenyum. "Saya yang beruntung karena punya suami kayak Mas Raffa dan mertua kayak Ibu."
"Apa dia tidak cuek padamu?" Bu Amira menatap Hanin.
"Mas Raffa cuek. Tapi, dia perhatian, Bu."
Bu Amira tergelak. "Kamu spesial, Nin." Ia menghabiskan kuenya lalu kembali berkata,
"Kelak, jika hal yang bersangkutan dengan suamimu membuatmu kaget, ibu minta tetaplah bertahan dengan Raffa, Nin."
"Hanin terdiam. Apalagi ini? Pikirnya.
"Kamu mau, kan?"
Hanin hanya mengangguk meski ia tak tahu apa maksudnya. Baik suami maupun mertuanya suka sekali membuat teka- teki yang menyulitkannya.