bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
hasil tes DNA
Robert, kenapa kamu tidak nuruti permintaanku? Kenapa kamu tidak bisa menggantikan posisiku sementara waktu?” suara Andika terdengar lebih seperti teriakan putus asa daripada perintah.
Robert menunduk. “Aku mau resign, Bos.”
Andika terdiam. Pandangannya menusuk, nyaris tak percaya. “Kenapa sekarang? Di saat aku kehilangan segalanya? Kamu sudah seperti keluargaku, Robert. Kenapa memilih pergi... saat aku bahkan tak tahu lagi siapa diriku?”
Robert tak segera menjawab. Ia menarik napas panjang, berat. “Karena aku lelah, Bos.”
Andika melangkah mendekat. “Capek? Sejak kapan kamu bilang capek? Kamu yang dulu selalu bilang siap 24 jam. Apa aku kekurangan dalam menggaji kamu? Atau... karena sekarang aku bukan pewaris?”
Robert mengangkat wajahnya. Jujur, tapi lelah. “Aku mengenalmu sejak kita remaja. Dan aku tetap bekerja bukan karena harta atau statusmu. Tapi... kamu sudah berubah. Bukan Andika yang dulu.”
Andika mengerutkan kening. “Apa maksud kamu?”
“Sejak pemakaman simbolis Bu Renata, kamu bahkan tidak berusaha mencari tahu siapa yang sebenarnya membunuhnya. Kamu terlalu larut dengan Bianka. Seolah semua luka langsung sembuh begitu kamu bisa dekat dengannya. Kamu bahkan abaikan perusahaan. Bos... ini bukan kamu.”
Andika tertunduk. Kata-kata Robert seperti peluru. Ia tahu itu benar. Tapi hatinya menolak mengakuinya.
“Kamu suka Bianka, ya?” gumam Andika lirih.
Robert tersenyum miring. “Wanita murahan seperti dia? Bukan levelku.”
Tinju Andika melayang. Keras, menghantam pipi Robert.
“Jangan pernah hina Bianka!” serunya, dadanya naik-turun oleh amarah.
Robert mengusap darah di sudut bibirnya. “Sudah. Kau urus saja Bianka itu. Aku sudah selesai.”
Ia membalikkan badan, melangkah pergi.
“Aku mengundurkan diri,” ucapnya tegas.
Andika mengepalkan tangan. “Robert! Kau akan menyesal!” suaranya menggema di lorong sepi.
Robert hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. Tapi dalam hatinya, ia berkata lirih, “Bianka tak sebaik yang kau kira, Bos. Dia simpanannya Bagus. Tapi apa gunanya kujelaskan? Ibumu saja kau abaikan demi dia... apalagi aku.”
Andika berdiri mematung, dikelilingi sunyi yang menghakimi. Untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya... siapa sebenarnya dirinya sekarang?
Andika menendang tong sampah di depan apartemen Robert. Tong itu terbang, menabrak dinding, isinya tumpah seperti pikirannya yang sudah terlalu penuh.
Seorang OB tua keluar dari balik pos jaga. Ia hanya menggeleng pelan.
“Baru juga saya bersihkan, Bos. Kenapa ditendang?”
Andika merogoh dompet. Mengeluarkan beberapa lembar ratusan ribu, menyerahkannya begitu saja.
“Bersihkan,” ucapnya singkat.
Si OB menyambutnya dengan tawa, senyum licik. “Kalau bos marah, datang lagi. Masih banyak tong sampah di sini.”
Andika tidak menjawab. Tidak tertawa. Tidak menoleh. Ia berjalan begitu saja, meninggalkan gedung itu, meninggalkan Robert, meninggalkan semua yang tidak ingin ia pikirkan malam ini.
Ia menekan nomor Bianka di ponsel. Tidak aktif. Dicoba lagi. Masih tidak aktif.
Ia menyusuri trotoar, entah ke arah mana. Jakarta malam itu seperti mesin besar yang tak peduli, bergerak terus tanpa belas kasihan.
Dan tiba-tiba, ia berhenti. Di depannya, sebuah hotel bintang lima berdiri angkuh. Lampunya terang, penjaganya sopan, dan para tamunya tampak mahal dari ujung rambut sampai sepatu.
Lalu... ia melihatnya.
“Bianka?” gumamnya, nyaris tak terdengar.
Perempuan itu keluar dari pintu hotel, melangkah elegan. Di sampingnya berjalan seorang pria. Andika mengenal pria itu. Pamannya sendiri—Bagus.
Mereka tertawa kecil. Dekat. Terlalu dekat untuk hubungan antara keponakan dan paman.
Andika berlari. Tapi belum juga sampai trotoar seberang, mobil perusahaan keluarga mereka melaju pergi, membawa Bianka dan Bagus entah ke mana.
“Mau ke mana mereka?” Andika berdiri termangu.
Dan entah kenapa, kata-kata Robert kembali terngiang:
“Bos terlalu sibuk dengan Bianka. Sampai lupa siapa musuh, siapa sahabat. Bahkan lupa siapa yang sudah mati.”
Andika tertunduk. Ya. Mungkin dia memang lupa.
Ibunya mati. Kecelakaan pesawat. Tapi apa yang ia lakukan setelah itu? Meratapi. Menangis. Lalu sibuk dengan Bianka.
Dia bahkan belum benar-benar menyelidiki siapa dalangnya. Alesandro? Mungkin. Tapi ia belum bergerak. Belum mengerahkan siapa pun. Seolah kematian ibunya hanya kabar duka di grup keluarga.
Langkah Andika kembali terayun. Ia tidak tahu hendak ke mana, hanya tahu satu hal: malam ini, ia terlalu sendiri.
Dan dalam kesendirian itu, bayangan Amira muncul. Gadis keras kepala yang pernah menempel di hidupnya seperti duri. Yang suka membantah, suka tertidur di atas dadanya, bahkan... mendengkur kecil seperti kucing.
Andika tersenyum miris.
“Kenapa malah kau yang kuingat?” gumamnya.
Langkahnya membawanya ke pinggiran kota. Ke perkampungan sempit di dekat rel kereta api. Lampu temaram. Bau got. Suara televisi dari rumah-rumah kayu. Dunia yang tak pernah ia kenal, tapi hari ini... rasanya lebih nyaman dari kantor direksi manapun.
Ia berhenti. Melihat seorang wanita tua sedang mengangkat jemuran malam-malam begini. Siapa yang menjemur jam segini?
Dan begitu perempuan itu menoleh, Andika terkejut.
“Ibu Rahayu?”
Rahayu juga terkejut. “Nak Dika? Bagaimana kamu bisa sampai ke sini?”
Andika hanya bisa menjawab jujur, “Aku... tidak tahu. Aku hanya berjalan.”
“Masuklah, Nak.”
Ia masuk. Rumah itu sempit. Dindingnya setengah bata, setengah anyaman bambu. Tapi hangat. Jauh lebih hangat dari apartemen Bianka, bahkan rumah Renata.
“Minum dulu, Nak Dika,” ucap Rahayu sambil menyodorkan air.
“Kenapa ke sini, Nak?” tanya Budi, muncul dari balik tirai.
Andika menatap gelas di tangannya. “Aku hanya ingin minta maaf. Aku baru datang ke sini... setelah Amira dinyatakan meninggal.”
Suasana mendadak hening.
“Amira belum meninggal,” ucap Budi tenang.
Andika terdiam. “Bagaimana Bapak bisa yakin?”
Budi menyentuh dadanya. “Karena aku tidak merasa kehilangan. Jantungku masih tenang. Dan selama aku belum merasa itu... maka Amira belum mati.”
“Maaf Pak, itu bukan logika.”
“Betul. Itu keyakinan,” balas Budi. “Dan kadang... keyakinan lebih tajam dari logika.”
“Pak, ini kecelakaan pesawat. Tidak ditemukan satu pun jenazah.”
“Justru itu. Kalau pesawat jatuh, pasti ada puing besar. Ini? Hanya serpihan kecil. Itu bukan kecelakaan. Itu sabotase.”
Andika menghela napas. “Aku sudah minta tim investigasi menyelidiki. Tapi hasilnya... nihil.”
“Tim dari perusahaanmu?”
Andika mengangguk.
“Siapa mereka? Kamu kenal?”
Andika terdiam. Tidak tahu.
Budi tersenyum pahit. “Dunia kamu dunia penuh jebakan, Nak Dika. Uangnya terlalu banyak. Ambisinya terlalu besar. Orang-orangnya terlalu rakus. Kalau kamu tidak waspada, kamu akan jadi boneka. Dipermainkan. Dan dihancurkan.”
Andika menunduk. Kata-kata itu... seperti suara ibunya. Renata. Yang dulu sering ia bantah. Yang hari ini tak bisa lagi ia minta maaf.
“Ibu kamu wanita hebat. Tapi kamu tidak pernah benar-benar mendengarkannya. Sekarang, kamu punya dua pilihan: tetap hidup sebagai bayangan, atau bangkit. Bertarung untuk kebenaran.”
Andika menatap Rahayu dan Budi.
Dua orang tua yang tidak punya apa-apa. Tapi punya sesuatu yang tidak pernah ia miliki: keyakinan.
.....
Sudah seminggu sejak sampel darah Amira dan Helena diambil untuk tes DNA.
Markas Aston yang terletak di tepian hutan tampak asri dan bersih. Udara segar mengalir bebas, air jernih mengalir dari mata air alami, dan kicauan burung terdengar merdu. Sungguh, tempat itu seperti surga tersembunyi di balik dunia yang penuh kekacauan.
Namun, keindahan alam itu bertolak belakang dengan hati Amira dan Renata. Setiap detik terasa seperti hukuman. Hasil tes DNA akan menentukan nasib mereka. Jika ada kecocokan antara Amira dan Helena, maka mereka akan selamat. Jika tidak... kematian adalah akhir yang tak terhindarkan.
Helena tampak jauh lebih segar dari sebelumnya. Wajahnya bersinar, tubuhnya mulai berisi. Semua berkat perawatan Amira yang sabar: menyuapi, memandikan, bahkan memijat tubuh Helena yang dulu lemah. Perubahan itu membuat Aston terkejut. Selama puluhan tahun, Helena tidak menunjukkan perkembangan seperti ini.
Namun Aston belum sepenuhnya percaya. Amira terlalu lihai. Kemampuan bertarungnya nyaris setara pasukan elit. Jika gadis itu ternyata bagian dari keluarga Wijaya, maka ia adalah ancaman besar.
Saat itulah Rio datang.
“Tuan, hasil tes DNA-nya sudah keluar.”
Aston menerima amplop itu. Tangannya bergetar. Jika hasilnya cocok, maka ia menemukan adiknya yang lama hilang. Jika tidak, ia harus melenyapkannya.
Amplop dibuka. Hening.
Mata Aston menyapu tulisan hasil tes.
Negatif. Tidak ada kecocokan.
Wajahnya mengeras. Hatinya menganga.
Keputusan besar harus diambil malam ini.
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus