bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
helena kritis
Langkah kaki Aston terdengar berat di koridor sempit menuju kamar Helena. Matanya merah. Napasnya memburu. Tangannya mengepal keras seperti hendak meninju tembok. Kemarahan membuncah, membakar akal sehatnya. Hasil tes DNA itu jelas—tidak ada kecocokan. Gadis itu bukan adiknya. Berarti, Amira telah berbohong. Dan pembohong tak pantas hidup.
“Ceklek.”
Pintu terbuka. Sunyi menyambutnya. Amira berdiri, mata waspada. Renata menegang.
Aston melemparkan kertas hasil tes DNA ke arah Amira. “Dasar pembohong,” desisnya penuh racun.
Amira memungut kertas itu. Matanya menyapu cepat. "Sial... aku harusnya menyuap dokter itu dulu," batinnya. Tapi wajahnya tetap tenang.
“Pasti ada yang salah dengan tes ini. Lihat wajah mereka! Helena dan Amira itu seperti cermin!” seru Renata, suaranya gemetar. Ia bisa membayangkan kepalanya seperti semangka, pecah ditembak Aston.
Aston tak menggubris. “Bawa mereka.” Suaranya dingin, nyaris tanpa emosi.
Sejumlah pria bersenjata masuk. Senapan diarahkan ke dada mereka.
Lalu terdengar suara jatuh.
“Brakk!”
Helena ambruk ke lantai. Darah mengalir dari mulutnya. Matanya terbuka, penuh ketakutan.
Darah. Warnanya pekat di lantai. Amira menatap tubuh Helena yang kini tergeletak tak berdaya. Suasana seketika berubah sunyi. Bahkan para pria bersenjata tak lagi bergerak. Seolah semuanya terhenti.
"Nyonya Helena!"
Amira berseru, bukan sebagai bagian dari sandiwara atau strategi menyelamatkan diri, tapi sebagai seruan yang entah bagaimana muncul dari sudut hatinya yang paling dalam. Ia berlari tanpa memikirkan sekeliling, lalu bersimpuh di samping tubuh wanita itu—wanita yang bahkan belum lama ia kenal, tapi kini terasa seperti pusat dari segalanya.
Helena bersimbah darah. Nafasnya pendek-pendek, nyaris tak terdengar. Tubuhnya melemah, tapi satu hal tetap hidup: genggaman tangannya pada jemari Amira. Seolah nyawanya tinggal seutas, dan jemari itu satu-satunya tali yang tersisa.
“Jangan begini... Jangan begini, Bu…” bisik Amira pelan, nyaris tak terdengar.
Namun dalam hatinya, kalimat yang lain terucap, dingin dan penuh perhitungan. "Aku harus pura-pura peduli. Kalau tidak, mampuslah aku. Untung saja kau pingsan, Nyonya Helena. Kau benar-benar penyelamatku."
Helena mengerang pelan. “…Anak…ku…”
Suara itu membuat Aston yang berdiri tak jauh tertegun. Matanya menatap ibunya dengan sorot yang berubah. Untuk sesaat, ia bukan Aston sang pemimpin kelompok bayangan. Ia hanya seorang anak lelaki yang melihat ibunya sekarat, menyebut nama orang yang tidak pernah ia kenal sebelumnya.
“Kenapa Ibu begitu ketakutan kehilangan Amira? Kenapa begitu yakin?”gumamnya dalam hati, keraguan menyeruak seperti kabut tipis yang menusuk kepalanya. “Bagaimana bisa aku membunuh gadis ini, sedangkan Ibu begitu berharap dia anaknya?”
Amira masih menggenggam tangan Helena erat. “Aku di sini. Jangan pergi. Aku nggak akan ke mana-mana,” ucapnya, air mata mengalir di pipinya. Air mata yang—entah kenapa—terasa lebih nyata dari yang ia rencanakan. Kadang, emosi memang tidak bisa diprediksi. Bahkan oleh pelakunya sendiri.
“Anakku… jangan pergi…” Helena kembali bergumam, kali ini suaranya lebih lirih, namun jelas terdengar.
Aston menahan napas. Untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka, sorot matanya kehilangan arah. Ia panik. Sangat panik. Bahkan tidak bisa menyembunyikannya. Apa pun rencananya terhadap Amira—membunuh, menyiksa, menghapus jejak—semuanya kini runtuh di hadapan sosok perempuan tua yang memanggil “Anak” sambil menggenggam tangan musuhnya.
Renata berdiri kaku di belakang. Ia tidak berani berkata apa pun. Tapi dalam diamnya, ia terpaksa mengakui: Amira adalah aktris ulung. Tapi lebih dari itu, ia cerdas. Terlalu cerdas untuk gadis yang katanya hanya tukang ojek online.
Aston menoleh tajam. “Siapkan heli! Kita harus segera ke rumah sakit!”
Baling-baling helikopter mulai meraung. Suaranya menembus langit malam, membelah kabut hutan tropis yang basah. Dedaunan bergetar, burung-burung malam beterbangan dari sarangnya. Tim medis berlarian menuruni lereng, mengangkat tandu tempat Helena terbaring. Helikopter itu akan membawa mereka dari gelapnya hutan ke tempat yang lebih terang—atau mungkin ke tempat kebenaran akan terbuka satu per satu.
Helena masih menggigil. Darah belum berhenti dari sudut bibirnya. Nafasnya masih sesak.
“…Anak…ku…”
Gumaman itu kembali terdengar, membuat dada siapa pun yang mendengarnya sesak.
Amira menunduk. Menciumnya tangan Helena dengan lembut. “Saya di sini, Bu. Bertahanlah…”
Salah satu anak buah Aston berlari ke arahnya. “Tuan, helikopter siap!”
Aston menatap Amira. “Kau ikut. Renata tetap di sini.”
Amira langsung berdiri. “Tidak. Aku tidak mau.”
“Tidak ada bantahan!” seru Aston.
Amira menatapnya tajam. “Nyawa ibumu bergantung padaku. Kalau dia mencariku nanti, dan aku tidak ada, apa yang akan kau katakan padanya?”
Aston menggeram. “Dasar licik!”
“Bukan licik. Aku hanya lebih waras darimu. Kalau kau paksa aku tinggal, dan ibumu sadar mencariku, lalu meninggal karena syok, apa kau siap menanggungnya?”
Aston melangkah maju. “Kau mempermainkan nyawa ibuku.”
Amira menahan senyum tipis. “Kau pikir dengan membunuh aku dan ibu mertuaku, ibumu akan selamat? Kau terlalu paranoid. Belum tahu aku siapa, sudah ketakutan lebih dulu.”
“Siapa kamu?”
“Cuma tukang ojek online,” jawab Amira datar. “Tapi aneh, ya. Yang katanya cuma tukang ojek bisa bikin kau setakut ini.”
Aston terdiam. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal, tapi tak bisa membantah logika Amira.
“Tuan!” seru perawat. “Nyonya melemah!”
Aston akhirnya menarik napas dalam. Menunduk. Lalu berkata dengan suara pelan, nyaris seperti mengalah. “Baiklah. Kau dan ibu mertuamu ikut.”
Helena dibawa ke helikopter amira ikut dan renata juga ikut.
“Amira, kamu hebat sekali…” bisik Renata, matanya masih menyisakan keterkejutan dan kekaguman.
“Aku akan lakukan apa pun, asal Ibu selamat,” jawab Amira lembut.
“Kamu baik sekali, Amira…”
Amira tersenyum kecil. “Iya dong, harus baik sama Ibu. Kan aku bakal dapat warisan nanti.”
Renata terkekeh pelan. “Kamu bisa saja, Amira.”
.....
Setelah mendapat pencerahan dari Budi dan Rahayu, Andika akhirnya kembali ke rumah. Rumah yang dulunya ramai kini terasa hampa. Tak ada lagi suara omelan ibunya yang selalu mengatur hidupnya, tak ada lagi Amira yang kehadirannya selalu membuatnya kesal, namun kini justru ia rindukan diam-diam.
Andika duduk di sofa ruang tengah, menatap kosong. Ia mencoba menghubungi Bianka, tapi tak ada jawaban. "Dua hari dua malam kamu nggak aktif, ke mana kamu, Bianka..." gumamnya frustrasi.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama “Oma Viona” muncul di layar. Ia menarik napas, lalu mengangkat.
“Andika! Kamu katanya jarang masuk kantor. Perusahaan hampir kehilangan arah. Kalau begini caranya, lebih baik Oma turunkan jabatan kamu jadi staf biasa!” tegur Viona tajam.
“Iya, Oma. Terserah Oma saja. Aku mau cuti dua bulan. Aku mau ke markas Alesandro.”
“Jangan gegabah kamu, Dika!”
“Membalas dendam ibuku lebih penting, Oma. Lagian aku sudah dicoret dari daftar pewaris, jadi sekarang aku mau memilih jalan hidupku sendiri.”
“Dika, jangan lakukan sendiri. Kamu harus bersama Felix.”
Andika menggeleng. “Oma, ada yang nggak beres. Aku belum tahu siapa sebenarnya yang menginginkan nyawa Ibu. Alesandro memang musuh kita, tapi dia tidak punya alasan kuat membunuh Ibu. Justru harusnya dia mengincar nyawaku sebagai keturunan asli Wijaya.”
“Bukti sudah lengkap dan semua mengarah pada Alesandro!”
“Beri waktu Dika menyelidiki sendiri, Oma.”
....
Kita sekarang mengintip kehidupan dr. Alecia, yang sedang memeriksa pasien di ruangannya saat ponselnya berdering. Nama Aston terpampang di layar.
“Ica, Mamah dirawat di rumah sakit kita,” suara Aston terdengar tegang.
“Apa? Kenapa dengan Ibu, Ka?” tanya Alecia panik, jantungnya berdegup cepat.
“Kamu sekarang ke sini saja,” jawab Aston singkat.
Alecia langsung berdiri, menanggalkan jas dokternya. Perasaannya berkecamuk. Sejak kecil, ia tak pernah dipanggil “anakku” oleh Helena. Tapi kemarin, untuk kaknya mengabarkan helena pertama kalinya, berkata “anakku” tapi bukan pada dirinya tapi pada orang lain.
Dan kini, mendengar ibunya kritis, rasa khawatir itu makin menyesakkan dada Alecia.
kena jebakan sendiri nih...
felix ini yang jadi tangan kanan oma viona yang berusaha menyingkirkan keluarga wijaya dan bagus akan dijadikan pewaris....
wah, keren nih ceritanya 👍 makin seru
lanjut dong thor...
dipihak allesandro ada si rio....
jadi ini semua adalah jebakan mereka yang pasti ada dalang utama nya... membuat dua kubu saling berselisih paham, semoga cepat terbongkar...
kira2 siapa ya ? apa jangan2 yang disebut ayah oleh si bagus .....
lanjut dong thor❤️
allesandro tidak tahu kalau amira anaknya, tanpa disadari hasil TEs DNA sudah di sabotase....
alecia selidiki lebih lanjut tentang amira,,,
coba tes Dna ulang kembali pasti 99,9%.
siapa yang disebut bagus adalah ayah???
setiap kesalahan yang mengenai oma viona pasti dicuragai allesandro....
benarkan sudah disabotase hasil Tes DNA milik amira....
semoga secepatnya terbongkar kebusukan mereka....
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya