Bagaimana jadinya ketika bayi yang ditinggal di jalanan lalu dipungut oleh panti asuhan, ketika dia dewasa menemukan bayi di jalanan seperti sedang melihat dirinya sendiri, lalu dia memutuskan untuk merawatnya? Morgan pria berusia 35 tahun yang beruntung dalam karir tapi sial dalam kisah cintanya, memutuskan untuk merawat anak yang ia temukan di jalanan sendirian. Yang semuanya diawali dengan keisengan belaka siapa yang menyangka kalau bayi itu kini sudah menjelma sebagai seorang gadis. Dia tumbuh cantik, pintar, dan polos. Morgan berhasil merawatnya dengan baik. Namun, cinta yang seharusnya ia dapat adalah cinta dari anak untuk ayah yang telah merawatnya, tapi yang terjadi justru di luar dugaannya. Siapa yang menyangka gadis yang ia pungut dan dibesarkan dengan susah payah justru mencintai dirinya layaknya seorang wanita pada pria? Mungkinkah sebenarnya gadis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maeee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Angry Cats are Adorable
Cherry duduk di kursi meja makan, punggungnya membungkuk, apalagi wajahnya yang terus ditundukkan karena takut bersitatap dengan pria di hadapannya saat ini yang seperti hendak menguliti tubuhnya hidup-hidup.
Morgan menatap Cherry sambil mengetuk-ngetuk meja, di bawah meja kakinya pun tak bisa diam terus mengetuk-ngetuk lantai. Ia berulang kali menarik napas dalam.
Dia tengah berpikir keras. Bagaimana caranya untuk memarahi Cherry? Ia selama ini tidak pernah marah dengan perilakunya, tapi akhir-akhir ini dirinya merasa Cherry selalu bertindak berlebihan.
"Apa ada yang ingin kamu katakan padaku?" celetuk Morgan.
Cherry mengangkat kepalanya sedikit, diam-diam menatap manik mata Morgan, tapi saat dia membalas tatapannya, dirinya kembali menundukkan kepala.
"Tidak ada," jawab Cherry singkat. Dua tangannya terangkat untuk membenarkan jas Morgan di tubuhnya yang secara perlahan merosot.
"Aku pernah bilang padamu, kan dulu! Kamu boleh tidur di kamar ku tapi jangan sentuh apapun yang ada di sana, apalagi sesuatu yang ada di balik ranjang dan sekarang kamu justru melakukannya. Mau beralasan?"
Di mata Cherry saat ini Morgan seperti memandang musuh padanya.
"Aku tidak sengaja," jawab Cherry. Ia memberanikan diri beradu pandang bersama Morgan sebab dirinya merasa tidak begitu bersalah dalam hal ini. Setelah dipikir kembali kenapa dirinya harus takut pada Morgan? Toh, dia tidak pernah bisa marah pada dirinya.
"Aku datang ke kamar mu dengan maksud meminjam pulpen dan tiba-tiba saja aku tersandung koper hitam. Itu tidak di dalam, koper itu ada di luar. Lalu aku penasaran, membukanya, dan mencobanya," jelas Cherry lebih lanjut.
"Kenapa harus mencobanya?" Morgan memijat kelopak matanya.
"Kenapa tidak boleh mencobanya?" tanya balik Cherry. "Aku pikir costum ini juga untukku, jadi aku memakainya saja."
"Kalau itu untuk mu aku pasti sudah memberikannya padamu, tapi aku tidak memberikannya padamu, itu artinya costum itu bukan untuk mu," tandas Morgan.
Pria itu menahan suaranya agar tidak membentak, tapi dari sorot matanya yang melotot membuat Cherry takut tapi juga marah.
"Lalu untuk siapa costum ini kalau bukan untuk aku? Di rumah ini hanya ada kita berdua dan kamu tidak punya pacar. Rasanya tidak masuk akal kalau costum ini mau dipakai olehmu." Cherry menjambak rambutnya sendiri dengan keras bentuk dari rasa frustasinya.
Hanya karena costum ini dirinya dan Morgan harus beradu mulut.
Morgan terdiam tak mampu membantah, tapi bukan berarti dirinya membenarkan. Hanya saja mustahil baginya untuk jujur bahwa costum itu untuk digunakan wanita malamnya Minggu nanti.
Dada Cherry naik turun, hembusan napas gadis itu pun terdengar lebih jelas, keningnya berkerut membuat dua alisnya hampir menyatu. Ia menggebrak meja pelan lalu bangun dari duduknya.
"Sepertinya kamu sangat tidak suka aku memakai costum jelek ini," Cicit Cherry seraya melepaskan jas dari tubuhnya.
"Ketika orang tua bicara jangan terus menjawabnya, Cherry. Aku menyekolahkan mu tidak untuk membuat mu membantah semua ucapan ku," tegur Morgan serius. Untuk melihat wajah gadis itu dirinya perlu sedikit mengangkat wajahnya karena posisinya ia masih duduk.
"Baik," tukas Cherry sambil mengangguk mantap. Dadanya terasa sangat panas saat mendengar Morgan berkata seperti itu padanya, matanya hampir berembun tapi ia harus bisa menahan supaya tidak menangis di hadapan Morgan.
Pria itu sepertinya lebih mencintai costum kucing daripada dirinya. Cherry pun mulai melepaskan semua aksesoris costum kucing di tubuhnya, tak lupa bra dan bahkan celana dalam miliknya juga dilepaskan.
Bahkan tidak sedetik pun Cherry menatap Morgan setelah melepaskan semua aksesoris itu dari tubuhnya, dia langsung berlari menuju kamarnya sendiri.
Morgan memejamkan mata, meletakkan dua siku tangannya di meja sementara jari-jarinya kini sedang mengusap wajahnya. Ia menghirup dalam napasnya, menyisir rambut dengan kasar menggunakan kelima jari.
"Mengurus sekawanan singa sepertinya lebih mudah daripada mengurus satu gadis," gumam Morgan.
Sekali lagi, dirinya tidak mempermasalahkan kostumnya, tapi sikap Cherry yang akhir-akhir lebih sering menggodanya. Mungkin hari ini dirinya masih sadar sehingga mampu menahan diri, tapi bagaimana dengan besok atau lusa di saat dirinya kehilangan kesadaran?
Apa dunia tidak akan heboh jika ada berita seorang pria yang mengaku sebagai ayah tapi justru malah melakukan hubungan intim bersama putrinya? Membayangkan hujatan orang-orang padanya saja sudah membuatnya sakit kepala.
Morgan beranjak dari kursi meja makan ini, kue cherry yang ia beli terabaikan begitu saja di atas meja. Ah, sial. Ia menghela napas panjang sembari bergegas menaiki anak tangga menuju kamar Cherry.
Dengan hati-hati ia membuka pintu dan mengintip ke dalam. Gulungan selimut besar memenuhi ranjang, tidak diragukan lagi itu adalah Cherry yang pasti ingin bersembunyi darinya.
"Cherry!" sapa Morgan lembut. Tidak ada jawaban dirinya pun mendekat dan duduk di sisi ranjang.
"Maaf, aku tidak bermaksud memarahi mu. Aku hanya sedikit kesal tapi aku benar-benar tidak marah." Celotehannya tersebut masih tak kunjung mendapat balasan dari gadis yang meringkuk itu.
Ia pun mencoba menggoyangkan bahu gadis itu. "Bangun, Nona Pemarah! Aku membeli kue cherry favorit mu loh," bujuk Morgan.
Gulungan selimut itu bergerak menjauh darinya seperti ulat bulu yang sedang berjalan. Morgan terkekeh pelan. Kenapa ia melihatnya justru menggemaskan?
Ia menarik selimutnya dengan kencang supaya bisa melihat wajah Cherry, tapi secepat kilat gadis itu menarik lagi selimutnya lebih kuat, dia juga membenamkan wajahnya di bantal.
Tak ada cara lain yang terpikir oleh otaknya saat ini, Morgan pun memutuskan merangkak naik ke atas kasur, lantas tidur di samping Cherry.
"Kalau kamu tidak mau keluar dari gulungan selimut ini juga maka aku akan terus memelukmu sepanjang malam seperti ini," ancamannya.
"Kamu tahu, Cherry! Ketua panti asuhan dulu memberiku nasihat bahwa ketika orang dewasa berbicara, katanya aku harus menjawabnya karena itu adalah bentuk sopan santun dari yang kecil pada yang lebih besar," tutur Morgan. Ia sudah pasrah membujuk Cherry.
Tapi tiba-tiba Cherry membuka selimutnya dan melompat duduk di atas tubuh Morgan. Tubuhnya yang tak terbungkus sehelai benang pun kontras dengan selimut tebal yang baru disingkirkannya. Tangannya terulur cepat dan mencekik kuat leher Morgan.
Pria itu justru tertawa riang penuh kepuasan. Akhirnya ia berhasil menarik Cherry dari persembunyiannya.
"Kamu pikir ini lucu? Tadi kamu bilang aku tidak boleh membantah dan sekarang kamu juga marah karena aku diam. Apa sih mau mu?" tanya Cherry sarkastik.
"Aku ingin kamu berhenti marah padaku," jawab Morgan, suaranya justru terdengar santai di tengah situasi yang menegangkan ini. Meski lehernya sakit tapi ia membiarkan Cherry tetap mencekiknya sebagai bentuk pelampiasan rasa marah gadis itu.
"Aku tahu aku salah, tapi aku kan sudah minta maaf. Maka seharusnya semuanya sudah selesai dan kamu juga jangan marah lagi padaku."
Cherry mendengus kesal. "Don't talk to me. I'm angry," serunya seraya membuang muka.
Reaksi Morgan justru tersenyum lebar. Lucu sekali Tuhan....
Pun ia meraih kedua tangan Cherry yang masih mencengkram lehernya dan perlahan-lahan melepaskan tangan itu dari sana digantikan dengan genggaman tangan bersamanya.
"Kamu tahu, Cherry. Ketika kamu marah kamu justru terlihat seperti kucing. Kucing ketika marah sangat menggemaskan dan aku selalu tidak tahan ingin mencubitnya seperti ini."
Morgan mencubit kedua pipi Cherry membuat dua sudut bibir gadis itu tertarik seakan tersenyum.
"Argh!" Cherry yang tak ingin membuat Morgan melihat senyumnya segera menepis tangan pria itu dari pipinya.
Morgan diam, matanya menyusuri tubuh Cherry yang terpampang jelas di depannya. Sangat indah sampai-sampai yang di bawah celananya pun berdiri ingin merasakan. Tapi, ia harus menahan diri.
"Boleh aku bertanya satu hal padamu?" Morgan menunjukkan jari telunjuknya.
"Apa?" tanya balik Cherry masih sedikit ketus dan tak mau menatap mata Morgan, tapi tubuhnya anteng duduk di atasnya.
"Kenapa kamu sangat suka menggodaku?"
"Hanya iseng," jawab Cherry singkat.
"Iseng?" Morgan mengernyit, sedikit tak percaya dengan jawaban yang keluar dari bibir ranum gadis itu. Akan tetapi bukan berarti dirinya akan memaksa dia untuk jujur juga. Baiklah, anggap saja itu jawabannya.
"Apa kamu tidak pernah berpikir jauh, Little Baby? Kalau dari keisengan mu itu bisa membawa mu pergi jauh."
"Apa maksud mu?" Kening Cherry mengernyit dalam, tidak mengerti maksud Morgan.
"Singkat saja, kalau tamu terus menggodaku mungkin suatu hari nanti aku akan benar-benar mengekplorasi tubuhmu dan you know apa yang akan terjadi selanjutnya, kan? Tubuh kita menyatu dan berbagi kehangatan."
"Melakukan hubungan intim?" tanya Cherry begitu enteng kala mengucapkannya.
Morgan menghela napas tapi juga tersenyum. Padahal dirinya sudah berbicara agar tidak terlalu frontal, tapi gadis di atasnya saat ini berbicara begitu blak-blakkan.
"Ya. Mungkin saja."
"Lalu apa salahnya dengan itu?" Kembali, Cherry bertanya dengan bibir yang selalu ringan bicara dan tatapan polosnya.
"Beberapa temanku bilang kalau mereka suka melakukan hal itu bersama pacarnya," lanjut Cherry.
"Tapi aku bukan pacar mu," sergah Morgan.
"Kamu juga bukan ayah asliku," tandas Cherry dan seketika Morgan diam tak bisa membantah.
"Kamu selalu melarang ku untuk dekat dengan pria lain, aku pikir itu karena kamu ingin tubuhku ini menjadi milikmu seutuhnya. Apa kamu pikir melindungi saja cukup?" Cherry cemberut.
"Aku juga memiliki nafsu jadi melindungi ku saja tidak cukup. Kalau kamu tidak mau aku bersama pria lain maka itu artinya kamu harus bersama ku," tukas Cherry dengan berani, ekspresi wajahnya seakan menantang.
Morgan seketika bangkit, dua tangannya meraih dua bokong Cherry yang hangat, menahan gadis itu supaya tetap duduk di atas pangkuannya.
"Mau ku beritahu satu rahasia?" bisiknya di daun telinga Cherry, membuat gadis itu menggeliat geli.
"Apa?" tanya Cherry malas. Palingan Morgan akan menasehatinya.
Morgan tersenyum lebar, wajahnya didekatkan pada Cherry hingga jarak mereka hanya tinggal beberapa centimeter saja.
"Sejujurnya aku sangat sangat suka dan senang ketika kamu menggodaku," aku Morgan dengan suara yang berat nan terasa sensual.
Cherry menahan napasnya ketika hembusan napas Morgan yang panas menerpa wajahnya.
"Aku suka tubuhmu, semua inci tubuhmu tanpa terkecuali, aku suka semua yang ada dalam dirimu," akunya lagi.
"Tapi aku tidak ingin merusak mu dengan hasrat ku yang tidak akan ada ujungnya," lanjut Morgan, keduanya saling beradu pandang yang dalam.
"Aku berpikir mungkin kamu harus mencapai dulu pendidikan mu yang lebih tinggi dan juga menunggu mu hingga lebih dewasa dari sekarang dan saat itulah mungkin aku akan berpikir dua kali sebelum menolak godaan mu."
"Aku tahu aku bukan ayahmu, aku juga bukan keluarga asli mu, tapi akulah yang membesarkan mu hingga saat ini, salah kah jika aku ingin melihat mu sukses dengan semua cita-cita dan harapan mu?"
Morgan menyandarkan pipinya ke sebelah dada Cherry sehingga tetap membuatnya bisa bertatapan dengan gadis itu. Ia tersenyum puas ketika melihat pipi Cherry memerah.
"Tapi kalau kamu terus menggodaku seperti ini, aku tidak menjamin aku bisa menahan diri hingga hari sukses itu tiba."
Tangan Morgan diam-diam terangkat dan tiba-tiba saja sudah menyangga salah satu bukit Cherry.
"Aku tidak ingin pada akhirnya kamu menyesali semua ini. Jika sudah seperti ini jangan salahkan aku, kamulah yang memulai semua ini."
Jari jari kekar Morgan meremas lembut bukit Cherry, jari telunjuk pria itu digunakan untuk mencubit bagian merah muda di ujungnya juga. Rasa yang tak bisa ia jelaskan menjalari seluruh tubuhnya, seperti rasa sakit tapi juga nikmat.
Mata Cherry menatap ke dalam manik mata Morgan. Bibir pria itu tersenyum nakal.
"Mau lanjut?" godanya.
wajar dia nggak peduli lg dgn ortu kandungnya secara dia dr bayi sdh dibuang.🥲