"Aku istrimu, Aditya! Bukan dia!" Aurelia menatap suaminya yang berdiri di ambang pintu, tangan masih menggenggam jemari Karina. Hatinya robek. Lima tahun pernikahan dihancurkan dalam sekejap.
Aditya mendesah. "Aku mencintainya, Aurel. Kau harus mengerti."
Mengerti? Bagaimana mungkin? Rumah tangga yang ia bangun dengan cinta kini menjadi puing. Karina tersenyum menang, seolah Aurelia hanya bayang-bayang masa lalu.
Tapi Aurelia bukan wanita lemah. Jika Aditya pikir ia akan meratap dan menerima, ia salah besar. Pengkhianatan ini harus dibayar—dengan cara yang tak akan pernah mereka duga.
Jangan lupa like, komentar, subscribe ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5 – KENYATAAN YANG TAK TERBANTAHKAN
Luka yang Masih Berdarah
Aurelia menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan anggun, memandangi Karina yang kini terlihat jauh berbeda dari wanita penuh percaya diri yang dulu menantangnya.
Wajah Karina pucat, bibirnya sedikit bergetar, tapi matanya tetap menyorot tajam.
Di sisi lain, Aditya berdiri tegang, jelas-jelas tidak nyaman dengan situasi ini.
Viona, wanita yang baru saja muncul dengan perut membesar, menatap Aditya dengan mata penuh luka.
Aurelia menekan senyum kecil.
Sungguh menyenangkan melihat Aditya berada di tengah kobaran api yang ia ciptakan sendiri.
Namun, permainan ini belum selesai.
Dan sebentar lagi, sesuatu yang jauh lebih besar akan menghantamnya.
****
Dua Wanita, Satu Kebohongan
"Aku sudah menduganya." Karina akhirnya membuka suara, suaranya datar, tetapi ada kilatan tajam di matanya. "Aku hanya tidak mau mempercayainya."
Aditya menghela napas panjang. "Karina, ini tidak seperti yang kau pikirkan."
"Ah, kalimat klasik." Aurelia berdecak pelan. "Kau tidak bosan mengulangnya, Aditya?"
Karina menoleh ke Viona. "Berapa lama hubungan kalian?"
Viona tampak ragu sejenak, lalu menjawab, "Hampir dua tahun."
Dua tahun.
Karina terkesiap, seperti seseorang baru saja meninju dadanya.
"Dua tahun?" ulangnya dengan suara hampir berbisik.
Aurelia melirik Aditya dengan tatapan penuh kemenangan.
Ia tahu persis apa yang sedang Karina rasakan saat ini.
"Jadi, selama kau bersumpah mencintaiku, selama kau memohon agar aku tetap di sisimu, kau juga bersama dia?" suara Karina bergetar.
Aditya menatapnya, bibirnya terbuka seperti hendak bicara, tapi tidak ada kata yang keluar.
Karina tertawa miris. "Sial. Aku benar-benar bodoh."
Viona mengusap perutnya. "Aku tidak tahu tentang Karina pada awalnya."
"Ya, ya, tentu saja." Aurelia mengangguk santai. "Kau semua selalu tidak tahu. Sampai akhirnya semuanya terlambat."
Karina menatap Aditya dengan mata yang memerah, bukan karena air mata, tapi karena kemarahan yang membuncah.
"Aku meninggalkan segalanya untukmu, Aditya. Aku membela hubungan kita. Aku menutup telinga dari semua peringatan. Dan ini yang kudapat?"
Aditya akhirnya bersuara, suaranya nyaris putus asa. "Aku tidak berniat menyakitimu, Karina."
"Aku juga dulu percaya itu," potong Aurelia. "Sampai akhirnya aku menyadari bahwa pria ini tidak pernah berubah. Kau hanya pengganti, Karina. Sama seperti Viona yang menjadi penggantimu."
Viona menatap Aurelia tajam. "Apa maksudmu?"
Aurelia tersenyum tipis. "Tepat seperti yang kau dengar. Aku pernah berdiri di tempatmu. Aku pernah merasakan semua janji manisnya. Aku juga pernah berpikir aku adalah satu-satunya."
Viona membeku.
Karina mendengus, wajahnya semakin kelam. "Jadi ini bukan pertama kalinya?"
Aurelia menggeleng santai. "Bukan, sayang. Aku adalah yang pertama. Dan aku yakin setelah kalian berdua, akan ada yang berikutnya."
Ruangan itu terasa semakin sesak.
Aditya menatap Aurelia dengan kemarahan yang ia tahan. "Cukup, Aurelia."
Aurelia tertawa kecil. "Kenapa? Tidak nyaman mendengar kenyataan, Aditya?"
Karina mengepalkan tangan, suaranya penuh kebencian. "Aku benci diriku sendiri karena pernah mencintaimu."
Aditya terdiam, rahangnya mengeras.
Viona menatap perutnya, lalu mendongak dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Apa kau bahkan pernah benar-benar mencintaiku, Aditya?"
Aditya menarik napas dalam. "Aku…"
Tok. Tok. Tok.
Tiga ketukan pintu yang keras memecah ketegangan.
Semua mata tertuju ke arah pintu.
Aditya melangkah maju, menelan ludah dengan gugup sebelum akhirnya membuka pintu.
Saat itu juga, wajahnya berubah drastis.
Kedatangan yang Mengubah Segalanya
Di ambang pintu berdiri seorang pria tua dengan jas hitam rapi, rambutnya mulai memutih, tapi sorot matanya masih tajam dan berwibawa.
Karina terkejut melihat bagaimana ekspresi Aditya berubah dari tegang menjadi… takut?
Aurelia menyipitkan matanya, merasa ada sesuatu yang menarik di sini.
Pria itu melangkah masuk, suaranya dingin dan penuh otoritas. "Jadi, ini cara hidup yang kau pilih, Aditya?"
Aditya mengerjap, seolah tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. "P—Papa?"
Karina tersentak.
Viona menatap Aditya dengan bingung.
Aurelia hanya tersenyum kecil.
Jadi, inilah sumber kekuasaan yang selama ini menopang Aditya.
Ayahnya.
Seorang pria yang jelas tidak senang dengan apa yang ia lihat.
"Aku sudah lama mendengar desas-desus, tapi aku tidak menyangka akan seburuk ini," suara pria tua itu terdengar tenang, tapi ada ketegasan yang mengintimidasi.
Aditya menelan ludah. "Papa, aku bisa jelaskan—"
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipinya.
Semua orang terkejut, termasuk Aurelia.
Aditya memegangi pipinya yang memerah, matanya penuh keterkejutan.
"Kau pikir ini lelucon, Aditya?" suara pria itu semakin dingin. "Bermain dengan hidup orang lain seperti ini? Mempermainkan perasaan wanita-wanita ini?"
Aurelia menyilangkan tangan di dada, menikmati pemandangan ini.
"Papa, dengarkan aku—"
"Aku sudah cukup mendengar." Pria itu melirik Karina dan Viona sekilas. "Dan aku yakin mereka juga sudah cukup menderita karena kebodohanmu."
Karina berdiri kaku, ekspresinya sulit ditebak.
Viona mengusap perutnya dengan gugup.
Aditya tampak semakin terpojok. "Papa, jangan buat keputusan sekarang. Kita bisa bicara—"
"Tidak ada yang perlu dibicarakan." Pria itu menatapnya tajam. "Kau akan bertanggung jawab. Dan aku akan memastikan ini tidak terulang lagi."
Aditya tampak ingin menolak, tapi ia tidak bisa melawan tatapan ayahnya.
Viona menggigit bibirnya. "Apa maksud Anda… bertanggung jawab?"
Pria itu menatapnya dengan penuh wibawa. "Aku akan memastikan anak yang kau kandung mendapatkan haknya. Dan kau," matanya beralih ke Karina, "kau tidak perlu lagi membuang waktumu untuk pria ini."
Karina tersenyum miris. "Percayalah, aku juga tidak ingin itu."
Aurelia tertawa kecil, lalu berbisik di telinga Karina, "Kau lihat? Ini baru satu contoh dari semua yang pernah kujalani selama lima tahun bersamanya."
Mata Karina membelalak.
Ia menoleh ke Aurelia dengan tatapan penuh keterkejutan.
Satu contoh?
Berarti masih ada yang lain?
Sebelum Karina bisa bertanya lebih jauh, pria tua itu berkata dengan nada tegas, "Mulai hari ini, Aditya tidak lagi bisa seenaknya."
Aditya mengepalkan tangan, wajahnya merah padam.
Tapi kali ini, tidak ada jalan keluar.
Dan Aurelia menikmati setiap detiknya.
Saat semua orang masih terdiam dalam ketegangan, Aurelia dengan santai merapikan gaun putih gadingnya yang elegan. Sinar lampu di ruangan itu memantulkan kilauan lembut pada perhiasan di pergelangan tangannya, mempertegas pesonanya yang menawan namun tajam.
Dengan langkah anggun, ia berjalan ke arah Aditya yang masih terpaku di tempatnya, seolah dunianya baru saja runtuh.
"Bagaimana rasanya, Aditya?" bisiknya dengan suara rendah namun menusuk. "Akhirnya bertemu seseorang yang lebih berkuasa darimu? Yang tidak bisa kau kendalikan?"
Mata Aditya menyala dengan amarah yang ia tahan. Namun, ia tidak bisa menjawab.
Aurelia tersenyum. Senyum penuh kemenangan.
Ia kemudian berbalik ke arah pria tua yang baru saja menggemparkan ruangan. Dengan gerakan anggun, ia sedikit menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan. "Senang akhirnya bertemu dengan Anda kembali, Papa."
Pria itu menatapnya dengan penuh penilaian. "Kau Aurelia, bukan?"
Aurelia mengangguk, matanya tidak menunjukkan sedikit pun rasa gentar. "Benar. Dan sepertinya kita memiliki pemahaman yang sama soal siapa Aditya sebenarnya."
Pak Surya terdiam sejenak, lalu akhirnya tersenyum kecil. "Kau wanita yang cerdas."
"Aku hanya belajar dari luka yang kubawa," jawab Aurelia santai.
Ia kemudian melangkah menuju pintu. Tapi sebelum keluar, ia berhenti sebentar di samping Karina dan menepuk pundaknya ringan.
"Jangan buang waktumu untuk hal yang tidak berharga," katanya lembut, tapi tajam. "Aku dulu seperti itu, dan percayalah, aku menyesalinya."
Karina menggigit bibirnya, tidak bisa membalas kata-kata itu.
Aurelia melirik Aditya sekali lagi, lalu tersenyum sinis sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruangan itu dengan penuh keanggunan.
Langkahnya ringan.
Hatinya lah yang terasa paling ringan.
Hari ini, ia memenangkan pertempuran tanpa perlu mengotori tangannya.
Dan itu adalah kemenangan paling indah.
Apa langkah Pak Surya selanjutnya terhadap Aditya?
Bagaimana Karina menghadapi kenyataan yang baru ia temukan?
Bersambung.
kadang dituliskan "Aurelnya pergi meninggalkan ruangan tsb dengan Anggun"
Namun.. berlanjut, kalau Aurel masih ada kembali diruangan tsb 😁😁🙏