Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Rangga dan Nayla saling pandang saat mereka berdua akan membicarakan sesuatu.
"Kamu duluan yang bicara, Nay." ucap Rangga.
Nayla menggelengkan kepalanya dan meminta Rangga yang bicara terlebih dahulu.
"Nay, tolong jangan berpikir untuk menjadi Anita. Karena sampai kapanpun Anita tetap di hatiku dan satu lagi besok ada undangan ulang tahun Tante Ida. Aku harap kamu mau datang." ujar Rangga tanpa menghiraukan perasaan Nayla.
Mendengar perkataan dari Rangga yang berkata seperti itu membuat perasaan Nayla hancur.
Ia tidak menyangka jika Rangga akan berkata seperti itu. Padahal ia ingin mendengar Rangga yang memarahinya karena pulang terlambat.
"Sekarang giliran kamu, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Rangga.
"Aku minta maaf karena pulang terlambat." jawab Nayla yang kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke kamar.
Rangga meminta Nayla untuk segera istirahat agar lekas sembuh.
Nayla tidak menghiraukan perkataan suaminya dan masuk ke kamar
Tangisan Nayla langsung pecah dan ia menutup mulutnya agar tangisannya tidak terdengar oleh siapapun.
"Ternyata kamu juga menganggap aku sebagai seorang pengganti Mas. Lalu untuk apa aku disini jika hati kamu masih mencintai Anita."
"Nay, kamu tidak boleh seperti ini," bisiknya dalam hati, berusaha menenangkan diri.
Namun, suara hatinya terus berbisik bahwa ia memang menginginkan sebuah pernikahan yang sesungguhnya.
Setelah puas menangis, Nayla menuju ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya.
Sementara itu di kamar lain dimana Rangga masih saja memandang foto Anita.
"Sayang, aku merindukanmu. Apakah kamu disana juga merindukan aku?"
Rangga kembali mengingat kebersamaanya bersama dengan Anita.
Andaikan saja Anita masih hidup mungkin sekarang mereka berdua sedang berada di Paris untuk bulan madu.
Tubuh yang lelah membuat Rangga tertidur sambil memeluk foto Anita.
Keesokan paginya dimana Nayla telah bersiap untuk berangkat kerja.
Nayla membuka pintu kamar dan melihat Bi Ina yang sedang memasak.
"Bi, aku berangkat kerja dulu." ucap Nayla.
"Non Nayla tidak berangkat sama Den Rangga?" tanya Bi Ina.
Tanpa sengaja Bi Ina melihat mata Nayla yang bengkak.
Nayla menggelengkan kepalanya dan ia mengambilnya roti bakar yang sudah ada di meja makan untuk sarapannya.
Bi Ina lekas membungkus beberapa roti dan memberikannya kepada Nayla.
"Hati-hati Non," ucap Bi Ina.
Nayla langsung memanggil taksi yang kebetulan lewat di depan rumah.
"Pak, tolong antarkan saya ke Pantai."
Supir taksi langsung melajukan mobilnya menuju ke Pantai yang diinginkan oleh Nayla.
Sementara itu Rangga yang baru saja bangun tidur dan melihat pintu kamar Nayla yang masih tertutup.
Rangga masih belum tahu jika Nayla sudah berangkat terlebih dahulu.
"Den Rangga mau sarapan sekarang?" tanya Bi Ina.
"Nanti saja Bi, biar sama-sama dengan Nayla." jawab Rangga sambil menyeruput kopinya.
"Tapi Non Nayla sudah berangkat ke rumah sakit, Den." ucap Bi Ina.
Rangga yang terkejut mendengarnya langsung mengambil ponselnya dan menghubungi Nayla.
Rangga diliputi kecemasan saat mendengar kabar tentang Nayla. Hatinya terasa kalut, terlebih ketika mengetahui Nayla pergi tanpa sempat menunggunya. Dengan tergesa, ia mengenakan pakaian terbaiknya, berharap masih sempat menyusul Nayla di rumah sakit.
Setelah menyesap kopi dan menyegarkan diri di kamar mandi, Rangga segera keluar rumah. Sesampainya di luar, ia langsung mengemudikan mobil menuju rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Mengapa Nayla pergi ke rumah sakit tanpa menunggunya?
Di sisi lain, saat Nayla tengah berada di pantai, suara deburan ombak mengalun lembut di telinganya, seolah menenangkan hatinya yang sedang gundah.
"Andai saja kamu di sini, Mas... pasti aku akan merasa lebih bahagia," bisik Nayla pelan, membayangkan kehadiran Rangga di sampingnya.
Namun, kenangan akan perkataan Rangga—yang mengaku tak pernah bisa mencintainya—membuat hati Nayla kembali terluka. Ia merasa seakan tak lagi memiliki tempat di rumah itu.
"Non, apakah masih lama?" suara sopir taksi yang menunggunya membuyarkan lamunannya.
Nayla menggeleng perlahan, lalu segera melangkah masuk ke dalam mobil.
"Mau diantar ke mana sekarang, Non?"
"Ke rumah sakit, Pak," jawab Nayla singkat.
Tanpa banyak tanya, sopir itu langsung menjalankan mobilnya menuju rumah sakit.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi—Nayla sadar bahwa ia sudah terlambat masuk kerja. Namun, ia telah menyiapkan diri untuk menghadapi segala konsekuensi, terutama jika harus bertemu dengan suaminya nanti.
"Kalau ada yang membuat Non merasa sesak di hati, jangan sungkan untuk bercerita. Saya siap mendengarkan," ucap sang sopir dengan nada tulus, sambil memperkenalkan dirinya sebagai Pak Bambang.
Nayla tersenyum tipis. "Insyaallah, Pak. Kalau kita bertemu lagi, saya pasti akan cerita."
Perjalanan pagi itu berjalan lancar tanpa banyak hambatan. Tak lama kemudian, mereka pun sampai di rumah sakit.
Nayla mengucapkan terima kasih, lalu menyerahkan beberapa lembar uang kepada Pak Bambang sebelum melangkah turun dari mobil.
Setelah itu Nayla bergegas menuju ke ruang kerjanya dan disaat akan masuk, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suaminya yang berdiri di hadapannya.
Rangga langsung menarik tangan istrinya dan membawanya ke ruangan kerja Nayla.
"Dari mana saja kamu? Apa kamu masih menemui lelaki itu?!" tanya Rangga dengan wajah penuh emosi.
Nayla tidak menjawab pertanyaan suaminya dan meminta Rangga untuk melepaskan tangannya.
"Lepaskan aku, Mas Rangga! Aku kesini mau bekerja, bukan untuk bertengkar," kata Nayla keras, berusaha melepaskan tangan Rangga.
"Aku tidak akan melepaskan tanganmu sampai kamu mengatakannya! Kamu pasti ada hubungan dengan dia, kan?" Rangga menatap tajam, suaranya bergetar karena marah dan cemburu.
Rangga mengira kalau Nayla masih mempunyai hubungan dengan Jati.
Nayla masih bungkam dan tidak mau mengatakannya kepada Rangga.
"Katakan, Nayla! Kalau memang tidak ada apa-apa, buktikan padaku!" Rangga berteriak, suara penuh emosinya.
Nayla menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya terasa kelu.
"Lepaskan tanganmu dan keluarlah dari sini. Aku tidak mau orang lain melihat kita tidak profesional dalam bekerja," ucap Nayla dengan wajah datar, berusaha menjaga ketenangannya.
Disaat yang bersamaan, terdengar suara perawat yang memanggil Rangga.
"Dokter Rangga, ada pasien yang menunggu di ruang VIP."
Rangga langsung keluar dari ruang kerja Nayla dengan wajah yang masih penuh amarah.
Setelah suaminya pergi, Nayla membuka laptopnya dan mulai menyelesaikan pekerjaannya dengan langkah berat.
Ia menatap layar laptop sambil menangis sesenggukan. Air matanya mengalir deras, dan suaranya berbisik pelan,
"Kenapa hidupku harus seperti ini? Apakah aku tidak boleh bahagia?"
Nayla berusaha mempercepat pekerjaannya, berharap segera bisa pergi dan meninggalkan Rangga, beserta segala kenangan yang menyakitkan.
Meski air mata masih mengalir di pipinya, ia tetap berusaha fokus menyelesaikan tugas-tugasnya.
Ia ingin merampungkan semuanya secepat mungkin, lalu mencari pekerjaan baru sebagai langkah awal untuk memulai hidup yang berbeda.
Jam telah menunjukkan pukul empat sore, namun Nayla belum sempat makan siang.
Sejak pagi, ia hanya menyantap sepotong roti yang dibawakan Bi Ina, dan setelah itu tak ada lagi yang masuk ke perutnya.