Raisa, gadis malang yang menikah ke dalam keluarga patriarki. Dicintai suami, namun dibenci mertua dan ipar. Mampukah ia bertahan dalam badai rumah tangga yang tak pernah reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05
Raisa berlari menuju kamar nya,bahkan dia melewati kedua orang tuanya yang sedang duduk manis di luar teras.
"Kenapa anak kita, Pak?" tanya Irah khawatir. Dengan cekatan, Irah bangkit dari duduknya, berniat menyusul putri bungsunya.
"Bu, biarkan dulu Raisa sendiri. Nanti, kalau dia sudah tenang, kita bisa tanyakan baik-baik," cegah suaminya lembut.
Irah terdiam sejenak,dia membenarkan perkataan suaminya. Tapi di sisi lain dia mengkhawatirkan putri nya.
Dengan terpaksa irah kembali duduk di sebelah suaminya, pandangan nya menerawang bebas ke arah perkebunan nya di sebelah rumah nya.
"Aku khawatir dengan Raisa, Pak... Dia satu-satunya anak kita yang tak pernah mau mengungkapkan rasa sakitnya," lirih Irah, matanya mulai berkaca-kaca.
Roni menghela nafas panjang,sebenar nya dia juga sama seperti irah mengkhawatirkan putri bungsunya sekaligus putri satu-satu nya.
Roni dan irah memiliki seorang 3 anak,dua laki-laki dan yang terakhir adalah raisa perempuan. Biasa nya anak bungsu akan manja,tapi berbeda dengan raisa dia lebih dewasa dan mandiri dari kedua kakak nya.
"Bapak juga sama, Buk... Tapi sekarang berbeda, Raisa sudah menjadi istri Iwan. Kalau mereka bertengkar, biarkan mereka menyelesaikannya sendiri. Bapak yakin, Raisa bisa mengatasinya," jelas Roni berusaha menenangkan.
"Bapak ini, kenapa bicara begitu?! Seolah-olah bapak membiarkan anak kita disakiti!" omel Irah dengan nada tinggi.
kesal mendengar penjelasan suami nya,irah berdiri dan pergi meninggalkan roni begitu saja .
Roni hanya terkekeh pelan melihat kelakuan istrinya yang masih saja seperti dulu,jika dia marah pasti akan seperti itu.
"Kenapa kamu berkata seperti itu pada istriku?!" ucap Iwan tegas, nada suaranya meninggi.
sekarang mereka sedang berkumpul di ruang tamu,di rumah sang ibu. Di sana juga terdapat semua anggota keluarga atun. Bahkan anak pertama nya pun sampai turun tangan.
"udin..kenapa seperti itu?apa kamu tidak malu mencaci maki perempuan?istri kamu saja tidak cantik. Kalau boleh teteh jujur, raisa lebih cantik dari si siti!"tegas sari dengan tatapan berkilat penuh amarah.
Sari adalah anak pertama dari atun dan mendiang suaminya. Sari sebagai anak tertua di keluarga nya memang memiliki sikap tegas dan adil.
"teteh gak mau jika kita sebagai saudara harus bertengkar dan tidak akur udin!"ucap nya lagi dengan tatapan tajam.
"Ngapain kalian semua bela Raisa, hah? Mentang-mentang dia dari keluarga yang agak mampu? Alah, Raisa itu memang pelit, Teh! Aku cuma pinjam motor adikku, tapi dia marah-marah seolah-olah motor itu milik dia!" balas Udin enteng. Seolah -olah dia membenarkan kesalahan nya
Sementara atun, sebagai orang tua sama sekali tidak melerai pertengkaran anak-anak nya. Seolah dia menikmati nya.
Sementara itu, Aji, anak ketiga, adik Udin dan kakak Iwan, hanya diam. Ia tak tahu harus berbuat apa.
Diantara semua saudara,hanya aji lah yang pendiam dan tidak pernah membuat masalah . Sebab itu dia sekarang bingung harus bagaimana. Namun, di dalam hati nya dia ingin marah atas kelakuan kakaknya. Aji benar-benar malu dengan kelakuan ajaib kakak nya.
Namun, amarahnya yang semula ditahan perlahan memuncak. Melihat Tetehnya berdebat dengan Udin yang terus saja menyalahkan Raisa, membuat Aji geram.
Hingga akhirnya, Aji berdiri dari duduknya, tatapannya tajam menatap Udin.
"Cukup, Din! Jangan terus-terusan nyalahin Raisa! Kalau kamu yang salah, ya akui, jangan malah nyari alasan! Aku diem bukan berarti aku setuju sama kamu, tapi aku males ribut. Tapi sekarang, kamu keterlaluan!" bentak Aji, suaranya bergetar menahan emosi.
Ruangan seketika hening. Semua orang terkejut, karena Aji yang biasanya pendiam, akhirnya berani bicara lantang.
"Bahkan kamu lebih memilih membela orang lain daripada saudara sendiri, Ji?!" bentak Udin, nada suaranya meninggi, kali ini malah berbalik menyerang Aji.
Aji menghela napas panjang, tangannya mengepal erat menahan amarah. Beberapa detik kemudian, ia memijat keningnya pelan, mencoba menenangkan diri.
"Urus saja urusanmu sendiri, Din. Aku nggak mau ikut campur lagi," ucap Aji, suaranya terdengar berat dan penuh penekanan, menandakan ketegasan yang jarang sekali ia perlihatkan.
Pandangan Aji beralih ke Iwan dan Sari, bergantian.
"Maaf, Teh. Aku pulang dulu. Aku kira Teteh manggil karena ada urusan penting, ternyata cuma masalah Udin lagi. Aku capek, Teh. Aku nggak mau ikut campur lagi. Udin keras kepala, nggak pernah mau dengar," lanjutnya, nada suaranya masih sopan meski jelas terdengar kecewa.
Tanpa menunggu jawaban, Aji melangkah pergi, meninggalkan ruangan yang masih hening.
"Lagian, Teteh ini ngapain sih sampai ngumpulin semuanya di sini? Ini cuma masalah sepele, Teh. Raisa aja yang memang pelit! Pasti dia yang ngadu sama Teteh, kan?" ucap Atun akhirnya, membuka suara setelah keheningan panjang.
Sari menoleh cepat ke arah ibunya. Pandangan matanya tajam, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Bukan Raisa yang ngadu, Bu. Tapi Iwan!" jawab Sari tegas, menekankan setiap katanya.
Udin mendengus sinis. "Iwan tuh emang laki takut istri! Ngapain sih, Wan, ngadu segala ke Teteh? Nambah ribet aja! Aku cuma ngomong apa adanya kok! Kadang kejujuran memang nyakitin, ya kan? Lagian, dia emang jelek, Wan. Ngapain sih kamu nikahin Raisa? Mantan-mantan kamu juga..."
"DIAM! DIAM, UDIN!" bentak Sari tiba-tiba, suaranya gemetar menahan amarah.
Matanya mulai berkaca-kaca, wajahnya memerah menahan emosi yang hampir meledak.
Sari berdiri dari duduknya, menatap Udin dengan tatapan tajam penuh kekecewaan. "Aku nggak habis pikir sama kamu, Din. Kamu keterlaluan! Sampai segitunya ngomongin adik ipar kamu sendiri! Apa kamu nggak punya hati?!" seru Sari dengan napas memburu.
"Sudahlah, Sari. Kenapa kamu segitu membelanya? Orang lain kok kamu bela. Raisa itu orang luar, sementara Udin adik kamu sendiri. Jangan kayak gitu. Udin memang benar, Raisa itu pelit," ucap Atun akhirnya, berusaha menengahi pertengkaran dua anaknya, meski jelas-jelas berpihak pada Udin.
Sari menggelengkan kepala kuat-kuat, matanya memerah menahan tangis yang akhirnya tumpah juga.
"Ibu ini… selalu aja belain Udin! Lihat sendiri, Bu! Dengan mata kepala Ibu sendiri! Udin yang selalu nyusahin Ibu, bikin malu keluarga, bikin masalah terus!" suara Sari meninggi, suaranya pecah di ujung kalimat.
Sari mengusap air matanya kasar, lalu kembali menatap ibunya dengan tatapan kecewa.
"Sedangkan kami, Bu... aku, Aji, Iwan... kami ini anak-anak Ibu juga! Tapi kami gak pernah nyusahin Ibu! Kami diem, kami berusaha nurut, tapi Ibu selalu meremehkan kami, menyepelekan kami! Kenapa, Bu? Kenapa Udin yang jelas-jelas salah selalu Ibu belain?!" tegasnya, kali ini air matanya jatuh tanpa bisa dibendung lagi.
Ruangan mendadak sunyi. Semua orang terdiam, hanya isakan Sari yang terdengar.
Iwan yang duduk di sebelah Sari, cepat-cepat meraih pundak kakaknya, menenangkan.
"Udah, Teh... udah, jangan nangis, Teh..." bisik Iwan pelan, hatinya ikut perih melihat kakaknya menangis seperti itu.
Dalam hati, Iwan merasa bersalah. Seharusnya dia tidak menceritakan masalah ini ke Sari. Tapi waktu itu dia benar-benar bingung, muak, dan marah melihat Udin yang makin kurang ajar menghina istrinya sendiri apalagi lewat pesan chat kepada istri nya langsung
Iwan menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tapi hatinya hancur melihat kakaknya yang selama ini tegar, akhirnya menangis karena keadilan di keluarganya sendiri tidak pernah berpihak.