NovelToon NovelToon
Kapten Merlin Sang Penakluk

Kapten Merlin Sang Penakluk

Status: sedang berlangsung
Genre:Action
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: aldi malin

seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ledakan terencana

Di ruang koordinasi Interpol Kamboja, Aina berdiri di hadapan para perwakilan hukum internasional. Di tangannya, berkas lengkap mengenai identitas ganda Chen: kewarganegaraan Indonesia dan Kamboja yang ia peroleh secara teknis melalui jalur investasi ilegal beberapa tahun silam.

"Saya Kapten Merlin Aina dari Kepolisian Khusus Jakarta Timur. Chen alias Rangga adalah warga negara Indonesia. Saya mohon agar proses hukumnya dapat dialihkan ke tanah air," katanya tegas.

Salah satu perwakilan Interpol mengangguk, "Kami butuh jaminan perlindungan penuh dan bahwa dia tak akan lolos dari hukum."

"Saya akan bertanggung jawab penuh atas pengawasan dan pengamanan. Kami tidak akan kehilangan dia," ujar Aina.

Setelah diskusi singkat dan konsultasi antar pihak, akhirnya keputusan pun disetujui.

---

Sore itu, dalam kendaraan lapis baja, Chen duduk di kursi tengah—tangannya diborgol, tapi wajahnya tenang. Di hadapannya, Aina duduk dalam diam. Sorot matanya tajam, tapi juga penuh rasa iba.

"Jadi… aku akan pulang, ya?" tanya Chen pelan, mencoba mencairkan suasana.

Aina tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela, menyaksikan kota Kamboja yang mulai redup diterpa senja.

"Belum tentu pulang," bisiknya akhirnya. "Tapi setidaknya… kamu akan menghadapi semuanya dengan benar."

Chen mengangguk. "Kalau harus mati, setidaknya aku mati bukan sebagai pengecut."

"Jangan bicara tentang mati," suara Aina meninggi sedikit. "Aku sudah kehilangan cukup banyak orang dalam hidupku. Jangan tambah satu lagi."

Mereka saling bertatapan.

Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Chen mengulum senyum kecil yang hangat. Tapi senyum itu juga menyimpan rahasia, seperti sesuatu yang belum dia katakan.

Mobil pun terus melaju. Tapi entah kenapa, udara di sekitar terasa berat. Ada ketenangan yang aneh—seperti diam sebelum badai.

Di markas sementara Kepolisian Indonesia di Phnom Penh, suasana terasa berbeda. Sejak Chen ditetapkan sebagai tahanan istimewa dengan status perlindungan hukum, pengamanan di lokasi itu ditingkatkan dua kali lipat. Setiap pintu dijaga, kamera pengintai aktif 24 jam, dan tidak ada yang boleh mendekat tanpa izin langsung dari Kapten Merlin.

Chen ditempatkan di sebuah ruangan bersih dan nyaman—tempat tidur empuk, meja kecil, dan jendela yang menghadap ke taman kecil di halaman belakang markas. Tapi itu bukan bentuk istimewa. Itu strategi.

Karena ancaman terbesar bagi Chen sekarang bukan berasal dari luar… tapi dari dalam sistem itu sendiri.

---

Di ruang pertemuan beberapa meter dari kamar tahanan, Reno dan Merlin berdiri di depan papan taktis. Mereka membahas jalur evakuasi dan strategi penyelamatan Chen untuk diterbangkan ke Indonesia.

"Kita nggak bisa pakai jalur bandara utama," kata Reno sambil menunjuk peta. "Kalau mereka tahu Chen masih hidup dan kita bawa pulang, bisa saja ada sabotase di tengah jalan."

"Alternatif?" tanya Aina, serius.

"Penerbangan diplomatik. Kita minta bantuan KBRI. Pesawat kecil. Tidak mencolok. Tapi... kita harus pastikan tidak ada informan bocor."

Aina menyilangkan tangan, wajahnya tegang.

"Kita harus mengatur semuanya dalam waktu 24 jam. Setelah itu, situasi makin berisiko. Aku bisa merasakannya, Reno."

"Kamu masih percaya Chen?"

Aina menatap Reno lama. "Aku percaya… bahwa dia ingin berubah. Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah... apakah dunia akan membiarkan dia berubah?"

---

Sementara itu, di dalam kamar tahanan, Chen duduk menatap jendela. Di luar, cahaya malam mulai menyusup. Tapi pikirannya gelap.

Ia tahu... waktu tidak berpihak padanya.

Malam mulai larut di Phnom Penh. Setelah pertemuan intens di ruang taktis, Reno dan Aina kembali ke kamar masing-masing. Esok pagi mereka harus fit—misi pemulangan Chen ke Indonesia harus berjalan mulus tanpa celah.

Aina menatap langit-langit kamarnya dalam diam. Di luar, suara kendaraan sesekali terdengar dari jalanan utama. Tapi pikirannya masih penuh. Tentang Chen. Tentang semua yang telah terjadi. Tentang yang akan mereka hadapi di Indonesia.

---

Sementara itu, di ruangan tahanan khusus, Chen duduk di depan laptop yang terkoneksi langsung ke sistem pusat.

Beberapa jam sebelumnya, ia telah mengeksekusi perintah terakhirnya: membekukan sepenuhnya server “Jakarta Sloot”, situs judi online yang telah menelan banyak korban.

Situs itu kini mati. Tak bisa lagi diakses. Tak bisa lagi dihidupkan.

Di layar hanya ada satu kalimat:

> “This system has been terminated by its creator.”

Chen memejamkan mata. Ia mengembuskan napas panjang. Mungkin ini satu-satunya penebusan yang bisa ia lakukan sebelum hidupnya berubah selamanya.

Malam semakin larut, tapi Aina belum bisa memejamkan mata. Tubuhnya terbaring di ranjang, namun pikirannya berputar—penuh tanya, penuh rasa. Ada gejolak yang tak bisa ia redam. Hasrat yang mulai tumbuh lagi setelah sekian lama ia matikan paksa kini bergelora diam-diam.

Bukan hanya karena Chen… tapi karena luka masa lalu, cinta yang belum selesai, dan janji yang dulu ia ikrarkan di atas abu.

Tak bisa lagi menahan gelisah, Aina bangkit dari ranjang dan mengenakan jaket militernya. Ia membuka pintu kamar dan melangkah menuju pos penjagaan utama.

"Jaga perimeter. Tingkatkan keamanan mulai sekarang. Besok pagi kita bawa tahanan ke Jakarta," ucap Aina tegas kepada dua anggota yang berjaga. "Pastikan tidak ada celah, siapa pun yang coba mendekat tanpa izin, tangkap."

"Siap, Kapten!" jawab mereka serempak.

Aina mengangguk. Tapi ia belum berbalik.

"Saya ingin bicara dengan Chen. Sendirian. Pastikan tidak ada yang mengganggu."

Para penjaga saling pandang sejenak, lalu membuka akses menuju ruangan tahanan khusus.

---

Di dalam ruangan itu, Chen duduk diam, masih terjaga. Tatapannya kosong menatap dinding, tapi ada sedikit senyum kecil saat Aina masuk.

"Kamu belum tidur," ujar Chen.

"Kita berdua sama," jawab Aina singkat. Ia berdiri beberapa meter di depannya, lalu akhirnya duduk di kursi yang disediakan.

"Kau tahu... aku tidak pernah benar-benar berhenti mencintaimu," ucap Aina pelan. "Tapi cinta tidak bisa menghapus kenyataan."

Chen menatapnya dalam. "Dan aku tidak pernah berharap cinta bisa menggantikan keadilan. Aku hanya ingin menebus apa yang bisa kutebus... sebelum mereka datang mencabut hidupku."

Aina menunduk. Tangannya mengepal. Ia ingin memeluk, tapi ia juga ingin membenci. Ia ingin percaya, tapi juga ingin menjauh. Dilema itu seperti bara di dalam dadanya.

"Kau harus kuat besok. Setelah ini… semuanya bisa berubah."

Chen mengangguk pelan. "Asal kamu di sana. Aku akan kuat."

Aina menatapnya lagi. Matanya lembut, tapi suaranya tetap tegas.

"Jangan mati dulu, Chen. Kita belum selesai."

Chen hanya menatap Aina dari balik selimut putih yang masih membungkus sebagian tubuhnya. Matanya menyimpan sesuatu yang tak terucap—mungkin penyesalan, mungkin harapan.

“Kalau aku dihukum seumur hidup, apakah kau masih akan menungguku?” ucapnya lirih, seperti angin malam yang masuk melalui jendela kecil ruangan itu.

Aina—atau Kapten Merlin—tidak langsung menjawab. Ia hanya mematung sejenak, sebelum akhirnya mengenakan topi dinasnya dan berdiri menghadap pintu.

“Aku akan menunggumu...” ucapnya, nyaris tak terdengar. “Sampai takdir sendiri yang berkata sebaliknya.”

Suasana menjadi sunyi. Hanya detak jam dinding dan nafas yang berat menggantung di udara.

Malam itu... mereka menyatu. Mungkin untuk terakhir kalinya. Mungkin hanya sebatas penguatan jiwa sebelum badai kembali menerpa. Mereka tak butuh janji, tak butuh sumpah baru—yang mereka butuh hanyalah kejujuran dalam pelukan yang tak bisa dipalsukan.

Merlin perlahan melangkah ke pintu. Seragam lengkap sudah kembali menempel di tubuhnya, wajahnya kini dingin seperti sedia kala—seorang kapten yang akan memimpin misi.

“Besok pagi, kamu akan dibawa dengan mobil pribadi. Tanpa iring-iringan. Aku tak ingin ada yang mencium pergerakan ini.”

Chen mengangguk kecil dari tempat tidurnya. “Hati-hati, Aina.”

Aina menoleh sedikit. Ada cahaya lembut di matanya.

“Kamu juga.”

Kemudian pintu tertutup, dan malam kembali larut dalam rahasia dua hati yang terikat oleh masa lalu, kesalahan, dan kemungkinan masa depan.

Pagi itu, langit Kamboja tampak tenang. Tapi di dalam hati Aina, badai kecil bergemuruh. Ia duduk di mobil pengawal utama, matanya fokus ke arah jalan, sementara di belakang, mobil hitam tanpa tanda khusus membawa Chen menuju bandara.

“Semua jalur aman, Kapten,” lapor salah satu anggota pengawalan lewat radio.

“Kita tiba di bandara dalam sepuluh menit.”

Aina mengangguk pelan, tak menjawab. Tangannya menggenggam erat radio komunikasi—entah kenapa, firasat buruk merayap di hatinya.

Lalu... suara itu datang.

BOOOOMM!!!

Dentuman keras memecah pagi. Kaca-kaca pecah. Mobil pengawal berguncang keras. Aina terhentak ke depan, sabuk pengaman menahan tubuhnya. Ia langsung menoleh ke belakang.

Api menjulang. Asap hitam membumbung tinggi.

Mobil yang membawa Chen... hancur.

“Tidak!!” teriak Aina seraya membuka pintu dan berlari ke arah kobaran api. Suara-suara lain memenuhi radio, laporan kacau, suara panik.

“Kapten! Jangan dekati, belum aman!”

“Ada kemungkinan bom susulan!”

Tapi Aina tak peduli. Ia berlari seperti wanita yang kehilangan jiwanya.

Tubuh-tubuh tergeletak. Satu per satu korban ditarik dari reruntuhan. Tapi Chen… tidak terlihat.

Aina berdiri terpaku. Napasnya berat. Di wajahnya, antara abu, keringat, dan air mata tak terlihat jelas mana yang lebih dominan.

“Chen…” bisiknya pelan. “Kamu janji akan ikut pulang.”

Api perlahan mulai padam, tapi asap masih mengepul dari bangkai mobil yang hangus terbakar. Para petugas sibuk mengamankan lokasi, namun Aina menerobos kerumunan tanpa mempedulikan teriakan mereka.

Di antara puing dan bara yang masih menyala, seseorang berteriak, “Ada korban selamat... tapi kondisinya kritis!”

Aina langsung mendekat. Tubuh itu... Chen.

Wajahnya penuh luka bakar, sebagian tubuhnya hangus, napasnya tersengal. Tapi matanya—mata itu masih berusaha terbuka, menatap Aina. Ia masih hidup... untuk beberapa detik lagi.

“A... Aina...” bisiknya lemah.

Aina jatuh berlutut, memeluk tubuh Chen yang terbakar, tanpa peduli darah dan abu mengotori seragamnya. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

“Chen... kenapa kamu lakukan ini sendiri?”

Chen tersenyum samar, walau wajahnya sudah nyaris tak bisa dikenali.

“Aku... sudah menebusnya, bukan...?”

“Kau sudah,” Aina membalas, suaranya pecah. “Kau sudah.”

Tubuh Chen melemah di pelukannya. Napasnya tinggal sisa.

“Aku... mencintaimu, Aina...”

Dan dengan sisa senyum di wajahnya, Chen mengembuskan napas terakhir.

Aina menggenggam erat tubuh itu, berteriak tanpa suara, memeluknya seperti tak ingin melepas. Di matanya, bukan hanya duka yang ada—tapi juga dendam yang kembali hidup.

“Aku bersumpah, Chen... mereka akan membayar ini semua.”

Aina masih duduk terdiam, memeluk tubuh Chen yang telah terbujur kaku. Bau asap dan daging terbakar masih menggantung di udara. Namun dalam pikirannya, badai lain tengah berkecamuk.

“Ini bukan sekadar ledakan...” gumamnya lirih.

Tak butuh waktu lama, tim forensik Kamboja dan Interpol datang menyisir lokasi. Salah satu dari mereka menyerahkan fragmen logam kecil yang berhasil ditemukan di dekat sisa mobil yang terbakar.

“Kapten,” kata agen Interpol itu serius. “Bom ini... dipasang dengan sangat profesional. Ada komponen sinyal jarak jauh. Bisa diaktifkan kapan saja.”

“Jadi ini bukan kecelakaan...”

“Bukan. Ini pembunuhan.”

Aina menggertakkan rahangnya. Pandangannya tajam, penuh amarah.

“Kemungkinan ada pengkhianatan dari dalam. Rute, waktu, dan formasi pengawalan hanya diketahui oleh segelintir orang.”

Reno, yang baru tiba di lokasi, langsung menahan bahu Aina.

“Kita akan selidiki satu-satu. Tapi untuk sekarang... kita harus bawa jasad Chen pulang.”

Aina menatap tubuh tak bernyawa itu, lalu perlahan berdiri. Di dadanya, cinta dan dendam bertabrakan hebat. Seseorang telah merenggut Chen dari hidupnya... lagi.

“Aku takkan berhenti. Siapa pun yang mengkhianati kami... akan kuungkap. Sampai ke akar.”

1
aldi malin
terima kasih semoga ikutin episode berikutnya
Lalula09
Dahsyat, author kita hebat banget bikin cerita yang fresh!
うacacia╰︶
Aku sangat penasaran! Kapan Thor akan update lagi?
aldi malin: oke ...dintunggu ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!