Di dunia dark web, satu nama ditakuti: LOOTER. Tak ada yang tahu identitas aslinya, hanya bahwa ia adalah algojo bayaran dengan keterampilan militer luar biasa. la bisa menyusup, membunuh, dan menghilang tanpa jejak. Kontraknya datang dari kriminal, organisasi bayangan, bahkan pemerintah yang ingin bertindak di luar hukum.
Namun, sebuah misi mengungkap sesuatu yang seharusnya terkubur: identitasnya sendiri. Seseorang di luar sana tahu lebih dari yang seharusnya, dan kini pemburu berubah menjadi buruan. Dengan musuh di segala arah, LOOTER hanya punya satu pilihan -menghancurkan mereka sebelum dirinya yang lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khabar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4
Waktu: 03:46
[AKHIR MISI PERTAMA]
Tubuh pasukan Renoir tergeletak di lantai bunker, darah mereka masih menggenang di sela-sela ubin logam dingin. Aroma mesiu bercampur bau besi menyeruak di udara. Aku menarik napas dalam, menjaga fokus. Kaira berdiri di sampingku, tangannya masih erat menggenggam H416 yang larasnya berasap.
Kami tidak bisa berlama-lama. Target utama kami masih menunggu di lantai dua.
"Ayo maju. Ruang kontrol harusnya ada di atas," kataku.
Kaira mengangguk. "Tetap waspada. Kita sudah kehilangan banyak waktu."
Kami bergerak melalui lorong sempit bunker. Lampu-lampu berkedip-kedip di sepanjang dinding, memberikan kasan suram dan menegangkan. Langkah kaki kami nyaris tidak bersuara, hanya terdengar detakan pelan dari sepatu taktis yang menginjak lantai logam.
Begitu kami berbelok ke persimpangan lorong, suara langkah lain terdengar dari depan. Aku langsung mengangkat senjata, begitu juga Kaira.
Dari balik bayangan, tiga prajurit Renoir muncul dengan sigap, senjata mereka sudah terangkat.
Bang! Bang!
Kami berdua langsung menembak, memaksa mereka berlindung di balik peti amunisi dan panel kontrol yang rusak. mereka membalas dengan agresif.
Kaira bergumam. "Mereka tidak akan menyerah tanpa perlawanan."
Aku merapat ke dinding, menarik granat asap dari kantong perlengkapanku.
"Aku lempar asap. Saat visibilitas mereka turun, hancurkan mereka," kataku.
Kaira mengangguk, lalu aku menarik pin dan melempar granat asap ke tengah-tengah mereka. Begitu asap putih tebal memenuhi lorong aku dan Kaira langsung bergerak cepat.
Aku mengarahkan H416 ke sudut kanan, menarik pelatuk. Brrrt! Brrrt! Salah satu musuh jatuh tersungkur, darah menyembur dari dadanya.
Kaira menembak yang lainnya dengan cepat, menembus helm dan membuatnya terhuyung sebelum jatuh ke lantai.
Namun, sebelum kami bisa bergerak lebih jauh, suara langkah berat terdengar dari ujung lorong.
Sosok tinggi dan berbahaya muncul dari balik kabut asap. Renoir sendiri.
Dia tidak mengenakan helm seperti anak buahnya, tetapi pakaian tempurnya menunjukkan bahwa dia jauh lebih berpengalaman. sebuah senapan otomatis besar tergantung di punggungnya, sementara di tangannya tergenggam pistol dengan laras panjang.
Renoir tersenyum tipis. "Sudah lama aku tidak melihat lawan yang bagus seperti kalian."
Dia langsung melepaskan tembakan ke arah kami, memaksa aku dan Kaira berlindung di balik panel logam.
Di sisi lain bunker, suara komunikasi Bravo terdengar kacau.
"Bravo! Sial! Mereka membantai kita!"
Aku mengertakkan gigi. Pasukan Bravo sedang di hancurkan di tempat lain, dan sekarang hanya tersisa komandannya.
"Kita harus menghabisi Renoir sebelum Bravo kalah total," kataku.
Kaira menjawab cepat. "Kau urus Renoir aku akan mengalihkan perhatiannya."
Dia melempar granat flashbang ke arah Renoir.
Duar!
Ledakan cahaya membuat Renoir sedikit terguncang, cukup untukku berpindah posisi dan membidiknya dengan presisi.
Aku menekan pelatuk.
Brrrt!
Peluruku mengenai bahunya, tetapi Renoir tidak jatuh. Dia hanya menyeringai dan langsung menembak balik.
Peluru hampir mengenai helmku, tapi aku berhasil bergerak ke samping tepat waktu.
Kaira mengalihkan perhatiannya dengan tembakan beruntun. Aku mengatur napas, membidik lagi.
Brrrt!
Peluru terkhirku menghantam tepat di tenggorokannya. Renoir terbatuk, darah mengalir dari mulutnya, sebelum tubuhnya akhirnya jatuh keras di lantai.
Aku tetap mengarahkan senjata ke arahnya untuk memastikan dia benar-benar mati. Tidak ada gerakan lagi.
Kaira mendekat. "Akhirnya."
Aku menarik napas dalam. "Kita haris ke ruang kontrol sebelum bala bantuan mereka tiba."
...----------------...
[PENGAMBILAN DATA]
Kami menaiki tangga logam menuju lantai dua. Aku bisa mendengar suara dengungan mesin di belakang dinding, pertanda bahwa sistem bunker ini masih beroprasi.
Begitu mencapai pintu ruang kontrol, Kaira mengawasi lorong sementara aku menempelkan alat pembuka kunci elektronik. Setelah beberapa detik, pintu terbuka dengan bunyi desisan udara.
Ruangan itu dipenuhi layar komputer yang menampilkan data tentang sistem pertahanan dan senjata anti-pesawat. Server besar berderet di sepanjang dinding, lampunya berkedip-kedip.
Aku segera menuju terminal utama dan menarik hard disk dari ranselku.
Kaira memberi instruksi cepat. "Temukan terminalnya. Kamu ambil datanya, aku urus bagian luar. Cepat! kita kehabisan waktu."
Aku memasukkan hard disk ke slot utama, lalu memulai menyalin data. Angka-angka di layar menunjukkan progres transfer data.
30%... 50%... 70%...
Di luar, aku bisa mendengar suara Kaira menembak. Dia menahan musuh agar tidak masuk.
Tiba-tiba, suara komunikasi terdengar dari radio.
"Alpha! Bravo masuk! Ulangi, rekan masuk!"
Aku langsung menjawab, "Apa sudah selesai? kita harus pergi!"
Suara Bravo-1 terdengar di radio, suaranya sedikit terengah-engah.
"Kamu hampir melewatkan pestanya."
Bravo- 1 mendekat dengan ekpresi dingin. "Tenang. Kita seharusnya profesional."
Aku hanya mengangguk, lalu melirik layar komputer.
"Transfer data selesai. Kita pergi sekarang."
Kaira kembali masuk, memberi isyarat bahwa area luar sudah cukup aman untuk kabur.
Kami semua segera bergegas keluar dari ruang kontrol, menyusuri tangga dengan cepat. Lorong-lorong bunker bergetar di bawah langkah kaki kami yang terburu-buru.
Suara deru mesin mobil lapis baja yang mendekat terdengar samar dari kejauhan. Waktu kami hampir habis.
"Pembawa cahaya di sini," suara dari radio terdengar tegas, "Pengelas kembali ke bunker! Segera mundur! Elang 1 terbang dalam 2 menit."
Aku menoleh ke Kaira, yang masih menjaga barisan belakang. Wajahnya tegang.
"Kita harus keluar dari sini, sekarang!" serunya.
Kami terus berlari melewati lorong panjang, melewati Sisa-sisa pertempuran sebelumnya. Mayat pasukan Renoir berserakan di sepanjang jalan, darah mereka mengering di lantai dingin. Tidak ada waktu untuk memikirkan mereka. Fokus utama kami adalah keluar hidup-hidup.
Sesampainya di pintu keluar bunker aku bergegas ke roda putar logam yang mengunci pintu. Tangan-tanganku berlumuran keringat dan darah saat aku memutarkannya dengan seluruh tenaga.
Sementara itu, radio kami terus di penuhi laporan dari unit lain.
"Tim Elang, bersiap untuk mundur!" seru Kaira begitu pintu bunker terbuka.
"Elang 1 menuju ke lokasi. Bersiap mundur! Ikuti penanda merah besar. Elang 1 meninggalkan wilayah udara."
"Elang 2 terisi dan siap mundur."
"Tim Api 1 siap mundur."
"Tim Api 2 terkonfirmasi untuk mundur."
"Elang 4, siap mundur."
Setelah pintu bunker benar-benar terbuka dengan suara logam yang berderit, aku melangkah keluar menarik napas dalam-dalam. Udara dingin menyentuh kulitku, namun suasana tidak terasa lega. Ada sesuatu yang tidak beres.
Saat aku dan Kaira berjalan menuju titik ekstraksi, suara tembakan mendadak menggema di udara.
DOR!
Kaira tiba-tiba terhuyung, lalu jatuh ke tanah.
Aku terkejut, berbalik seketika, dan melihatnya terkapar dengan mata terbuka kosong. Peluru menembus helmnya, satu tembakan langsung ke kepala.
Aku mendongak, dan yang kulihat adalah Bravo-1, masih memegang senjata dengan laras yang mengepul.
"Sial... Bravo...?"
Namun, sebelum aku bisa berbuat sesuatu, aku merasakan hantaman keras di tubuhku. Peluru mengenai dadaku, membuatku terhuyung mundur.
Aku jatuh ke tanah, rasa panas menjalar dari luka tembak di tubuhku. Pandanganku mulai kabur. Aku masih sadar, tapi tubuhku tidak bisa bergerak.
Bravo-1 mendekat, lalu berjongkok di sampingku.
Dia menarik hard disk dari ranselku dan memasukkannya ke dalam sistem senjata anti-pesawat yang ada di dekat bunker.
Tiba-tiba, suara mesin berat terdengar. Aku melihatnya dengan mata yang kabur. Bravo telah meluncurkan tiga roket ke langit.
Aku baru menyadari sesuatu....
Dia bukan bagian dari kami. Dia adalah LOOTER.
Seorang pengkhianatan.
"Jangan salahkan aku," katanya dengan nada santai. "Bisnis ya bisnis. Kamu baik-baik saja... Tapi... seharusnya tidak berakhir seperti ini. Sayang sekali kamu akan melewatkan momen besar Renoir."
Aku mencoba mengangkat senjataku, tapi tubuhku terlalu lemah. Luka tembakku terlalu dalam.
Bravo-1 hanya tersenyum, lalu mengangkat pistolnya.
"Itu sangat menyenangkan. Sampai jumpa lagi."
TEMBAK!
Dua peluru terakhir menembus dadaku.
Duniaku menjadi gelap.
To Be Continued.....