Dara, seorang detektif yang menangani kasus pembunuhan berantai harus menelan kenyataan pahit. Pasalnya semua bukti dan saksi mengarah padanya. Padahal Dara tidak kenal sama sekali dengan korban maupun pelaku, begitu juga dengan anggota keluarga dan saksi-saksi yang lain.
Dalam keadaan yang terpojok dan tanpa bantuan dari siapapun, Dara harus berusaha membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam aksi pembunuhan keji tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pertiwi1208, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
"Kenapa keadaannya bisa seperti itu?" tanya Dara pada Sasa.
Saat ini dia dan Dani sedang berada di tempat kerja Sasa, mereka berdua pun melihat mayat yang sudah terbujur kaku di ruangan tersebut. Sasa segera menutupi mayat itu dari kaki hingga ke dada, sehingga hanya menyisakan wajahnya saja.
"Sepertinya saat kemalangan itu berlangsung, dia melakukan perlawanan," ucap Sasa.
"Lihatlah," ucap Sasa seraya mengeluarkan kedua tangan mayat dari balik selimut. Dara dan Dani bersiap untuk mendengar penjelasan Sasa.
"Kuku wanita ini patah-patah, dan kamu juga melihat sendiri, bahwa wajahnya babak belur hingga membiru seperti itu," jelas Sasa.
"Apa dia melakukannya dengan benda tumpul?" tanya Dara.
"Tidak, tidak ada hal yang menunjukkan korban dipukul oleh benda tumpul, sepertinya pelaku menggunakan tangan kosong saat itu," jawab Sasa.
Dara hanya bisa menutup mulutnya dengan kedua tangan, karena tidak bisa memikirkan saat pembunuhan tersebut berlangsung.
"Jam berapa dia meninggal?" tanya Dara.
"Tengah malam, sekitar jam 12 malam atau jam 1," jawab Sasa.
"Sama seperti Ana," gumam Dara yang suaranya masih bisa didengar oleh semua orang yang ada di ruangan.
"Ana?" tanya Sasa mencoba memperjelas sembari melihat ke arah Dara.
"Korban pertama yang jari kelingkingnya juga hilang, dia bernama Ana," jelas Dani. Sasa pun hanya mengangguk tipis.
"Apa penyebab kematiannya?" tanya Dara.
"Kehabisan nafas, tapi ini sepertinya tidak menggunakan tali, dia menggunakan kain atau benda yang lainnya," Jawab Sasa sembari menunjuk leher korban yang ada di hadapan mereka, di leher mayat tersebut terdapat bekas berwarna merah melingkar.
"Apa identitas korban sudah ditemukan?" tanya Dara pada Dani.
"Sedang diselidiki," jawab Dani.
"Sepertinya kita tidak akan kesulitan juga mencari identitas korban," imbuh Dani. Dara pun segera menoleh ke arah Dani.
"Semua barang-barangnya tidak ada yang hilang, bahkan ponselnya juga ditemukan di sebelah korban," jelas Dani yang melihat Dara meminta penjelasan.
"Mari kita kembali ke kantor dulu dan mencari tahu hal-hal yang lain," ajak Dara.
"Sasa, jangan lupa selalu laporkan padaku apapun yang kamu temukan," ucap Dara seraya dia mulai berjalan keluar.
"Ya... " jawab Sasa tanpa melihat ke arah Dara, karena dia saat ini tengah fokus pada mayat yang ada di hadapannya.
***
Di kantor.
"Apa identitas korban sudah ditemukan?" tanya Dara, saat baru saja dia memasuki ruangannya.
Di sana terlihat Pak Tedi yang tengah gelisah, beliau beberapa kali mondar-mandir di depan meja, seraya menggaruk tengkuknya dan juga mengacak-acak rambutnya.
"Ada apa ini?" tanya Dani, tapi Pak Tedi dan Tara tidak menjawab pertanyaan tersebut.
Dara dan Dani pun hanya bisa bertukar pandang sembari menarik nafas dalam. Mereka berdua terdiam dan menunggu Pak Tedi siap untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.
"Kalian tidak akan percaya dengan yang aku temukan," ucap Pak Tedi akhirnya, setelah suasana di ruangan tersebut sangat tegang untuk waktu yang cukup lama.
"Apa memangnya? Apa yang anda temukan? Apa anda bisa menemukan sesuatu lebih cepat dariku?" cecar Dara yang masih belum bisa membaca situasi.
"Mayat yang ditemukan tadi pagi adalah…”
“Putrinya Pak Bagas."
"APA???" Dara dan Dani pun memekik, bahkan Dara juga menutup mulutnya dengan kedua tangan, karena saking terkejutnya.
"Apa Pak Bagas sudah tahu?" tanya Dara dengan segera.
"Entahlah, aku tidak memberitahunya, tapi sebentar lagi berita juga akan segera tersebar," jelas Pak Tedi.
"Siapa tadi yang melaporkan menemukan mayat tersebut?" tanya Dara.
"Seorang petugas yang biasanya menyapu jalan," jawab Pak Tedi.
"Kita harus tetap memberitahu Pak Bagas," ucap Dara.
"Bagaimana caranya?" tanya Pak Tedi.
"Sebelum dia tahu dari media, memang lebih baik Pak Bagas tahu dari kita," sahut Dani.
Semua orang pun terdiam mematung, mereka memikirkan cara bagaimana menyampaikan hal tersebut pada Pak Bagas, agar beliau tidak sampai terkejut mendengar berita duka ini.
***
Mereka berempat pun memutuskan untuk pergi ke ruangan Pak Bagas secara bersamaan, tapi rupanya pintu ruangan Pak Bagas sudah terbuka, itu adalah hal yang sangat jarang Pak Bagas lakukan, sehingga mereka berempat pun segera bergegas masuk.
"Pak Bagas," ucap Pak Tedi dengan gugup.
Pak Bagas menarik nafas dan menghembuskannya dengan perlahan. "Aku sudah tahu," ucap Pak Bagas, seraya menatap lantai dengan tatapan kosong.
Mereka berempat pun hanya bisa diam menunduk dan suasana di ruangan tersebut menjadi sunyi.
"Aku ingat betul kejadian kemarin." Pak Bagas mencoba membuka pembicaraan. Mereka berempat segera mengangkat wajah mereka dan melihat ke arah Pak Bagas, yang tetap menatap lantai dengan tatapan kosong.
"Tepat saat berita tentang Pak Tama kabur tersebar di seluruh penjuru, aku mendapatkan pesan." Pak Bagas meraih ponselnya yang ada di atas meja dan membuka ponsel tersebut, serta meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Pak Tedi pun segera berjalan mendekat dan meraih ponsel Pak Bagas.
"Tiba-tiba saja ada pesan misterius yang masuk," imbuh Pak Bagas.
Pak Tedi yang sudah memegang ponsel Pak Bagas pun segera membuka aplikasi pesan, di sana Pak Tedi melihat ada satu pesan dari nomor yang tidak disimpan oleh Pak Bagas.
"Aku harap kamu menjaga keluargamu yang paling berharga," ucap Pak Tedi membaca pesan yang ada di ponsel Pak Bagas.
"Saat itu yang aku pikirkan hanya cucuku, jadi aku langsung mengemudikan mobilku dengan cepat menuju taman kanak-kanak, sesampainya di taman kanak-kanak, aku tidak bisa menemukan cucuku di sana," jelas Pak Bagas, semua orang melihat ke arah Pak Bagas dan memperhatikan setiap keterangan yang beliau berikan.
"Semua guru juga kehilangan dia, hingga akhirnya kami menemukannya di bawah kolong taman bermain. Dia berada di bawah kolong perosotan plastik yang ada di taman sembari membawa satu kantong kresek kecil."
"Saat aku tanya kenapa dia ada di situ, dia mengatakan bahwa ada Om yang mengajaknya dan memberinya jajanan satu kantong tersebut, yang berisi coklat serta permen. Tentu saja anak kecil sangat suka dengan benda itu."
"Aku bertanya lagi bagaimana rupa Om tersebut. Dia mengatakan tidak tahu, karena Om tersebut menggunakan mantel yang berwarna hitam, padahal hari tidak sedang hujan," jelas Pak Bagas.
"Tapi aku tidak tahu, kalau ternyata yang dia incar adalah putriku." Pak Bagas pun mulai terisak, mereka berempat hanya bisa memandang Pak Bagas dengan menyesal dan iba.
"Apa itu dilakukan dengan orang yang sama?" tanya Pak Bagas seraya dia menyeka air matanya.
"Kami harus menyelidikinya lebih dulu Pak," jawab Pak Tedi.
"Lakukanlah dengan cepat dan kirimkan keamanan yang ketat ke rumahku, aku tidak mau jika sampai cucuku menjadi korban selanjutnya." Pak Bagas memberikan perintah.
"Baik Pak." Pak Tedi dan timnya pun kemudian keluar dari ruangan Pak Bagas.
Namun, saat mereka sudah berada di ambang pintu, Dara segera berbalik badan dan kembali ke arah Pak Bagas. "Dimana putri Bapak saat Pak Bagas menuju ke taman kanak-kanak?" tanya Dara.
PLAK.
"Apa kamu sudah gila!" Pak Tedi segera berbalik badan dan memukul kepala Dara dengan tidak terlalu keras, tapi Dara tidak menghiraukan hal tersebut.
"Pak Bagas sedang berduka saat ini, kenapa kamu meminta keterangan sekarang?" geram Pak Tedi.
"Oh iya, aku juga bertanya pada cucuku, kenapa ibunya tidak ada di taman kanak-kanak tersebut, padahal waktu itu sepertinya sudah hampir waktunya pulang," jawab Pak Bagas.
"Lalu?" tanya Dara dengan tatapan menyelidik.
"Dia mengatakan, bahwa ibunya tidak bisa menjemputnya hari itu, karena harus menghadiri acara untuk menjadi juri," jelas Pak Bagas. Seketika Dara mengernyitkan keningnya.
"Apa dia menjadi juri di perusahaan kakakku?" tanya Dara dengan sedikit ragu.
"Iya, sepertinya itu adalah perusahaan kakakmu. Putriku memang sangat ingin sekali melihat perusahaan tersebut dari dekat, karena dia juga suka membagikan setiap momen-momen yang dia lakukan di sosial medianya," terang Pak Bagas. Dara mengangguk tipis beberapa kali. Setelah mendengar hal itu, Dara pun segera berbalik badan dan pergi dari ruangan Pak Bagas tanpa berpamitan.
"Maafkan timku Pak." Sementara Pak Tedi sangat tidak enak hati kepada Pak Bagas karena kelakuan Dara.
"Hmb." Pak Bagas hanya menjawabnya dengan singkat.
Setelah semua orang pergi dari ruangannya, Pak Bagas segera beranjak dari kursinya dan melihat ke arah luar melalui jendela kaca. "Apa kamu akan sesabar ini, jika saja yang menjadi korban adalah salah satu anggota keluargamu?" Kata-kata Pak Krisna seketika terngiang-ngiang di telinga dan pikiran Pak Bagas saat ini.
BUGH.
PRAK.
Pak Bagas pun mengepalkan tangannya dan memukul tembok dengan sangat keras, hingga beberapa pigura yang menempel di tembok tersebut pun terjatuh. "Apa yang sebenarnya terjadi ini?" gumam Pak Bagas.
"Aku tidak mengenal Pak Tomo, aku juga sudah menyelidiki keluarganya dan tidak ada salah satu keluarganya pun yang aku kenal."
"Apa bukan Pak Tomo pelakunya?"
"Dia hanya boneka yang dijadikan umpan untuk mengalihkan kita semua dari pelaku sebenarnya."
"Tapi kenapa harus putriku?"
"Putriku tidak ada hubungannya sama sekali dengan masa laluku!" kesal Pak Bagas sembari mengepalkan tangannya.
Ting.
Saat beliau masih berkecamuk dengan pikiran dan hatinya, ponselnya tiba-tiba berbunyi, ada notifikasi pesan yang masuk. Dengan sangat enggan, Pak Bagas pun mengambil ponsel tersebut yang ada di atas meja dan segera membuka pesan yang baru saja masuk.
Saat membuka pesan tersebut, ternyata terhubung ke sebuah link misterius, tanpa pikir panjang Pak Bagas pun membuka link tersebut dan terlihatlah saat putrinya terikat tidak berdaya.
GLEK.
Pak Bagas menelan salivanya sembari meletakkan kembali ponselnya di atas meja dengan posisi layar di bawah, sepertinya beliau tidak siap melihat video tersebut.
Pak Bagas menarik nafas beberapa kali dan mencoba mengatur emosinya. Setelah memastikan bahwa beliau siap, Pak Bagas pun perlahan membalik ponselnya kembali dan melihat video tersebut.
Pak Bagas melihat Putrinya dengan keadaan yang memprihatinkan. Mulut terikat dengan kain hingga ke belakang, tangan dan kakinya juga terikat, saat itu baru saja sang pelaku membuka plastik hitam yang menutupi kepala Dita.
Orang tersebut mengambil video Dita dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seketika itu juga jantung Pak Bagas berdegup tidak menentu. "Jika kamu ingin tahu alasannya, kenapa aku melakukan ini. Tanyakan pada ayahmu, apa yang sudah ayahmu lakukan di masa lalu," ucap orang tersebut dengan suara yang menggema. Sepertinya suara tersebut disamarkan menggunakan alat.
Orang tersebut pun melepas ikatan yang menutup mulut Dita. "Dengarlah, aku tidak tahu apa yang dilakukan ayahku di masa lalu, tapi aku mewakili ayahku untuk meminta maaf padamu. Aku benar-benar minta maaf padamu karena perlakukan ayahku di masa lalu."
"Tolong lepaskan aku, aku tidak ada hubungannya dengan masa lalumu dan jangan biarkan anakku hidup sendirian."
"Aku sudah bersusah payah membesarkan anakku sendirian saat ini, tolonglah bersimpati sedikit padaku. Aku akan memberi apapun yang kamu inginkan," ucap Dita dengan memohon dan menangis terseduh.
"Aku tidak membutuhkan apapun darimu, aku hanya ingin masa laluku kembali, sehingga aku tidak hancur seperti ini. Apa kamu bisa mengembalikannya?" tanya orang tersebut dengan suara yang menggema.
"Tolonglah lepaskan aku, aku benar-benar minta maaf karena perlakuan ayahku dimasa lalu."
Blub.
Video pun berakhir di situ.
BRAAKKK !!!
Pak Bagas menggebrakkan ponselnya di atas meja dengan sangat keras, hingga kaca tebal yang ada di meja tersebut pun retak. "Bener dugaanku, ini berhubungan dengan masa lalu," geram Pak Bagas.
"Tapi siapakah dalang dari semua ini?"
"Apa mungkin Pak Tama juga ada di masa laluku?" tanya Pak Bagas pada dirinya sendiri dengan kesal, sembari menggertakkan giginya.
Pak Bagas pun segera keluar dari ruangannya dengan raut wajah yang menyeramkan, semua orang yang melihat Pak Bagas tidak berani menegurnya, karena mereka semua juga sudah tahu perihal anak Pak Bagas yang menjadi korban pembunuhan. Pak Bagas pergi dari kantor, entah kemana.