Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Ia menatap layar laptopnya. Grafik, laporan, dan angka-angka kembali memenuhi pandangannya. Tangannya bergerak cepat, rapi, seperti biasa. Tidak ada yang berubah setidaknya dari luar.
Namun beberapa menit berlalu, dan Leonard berhenti.
Ujung jarinya mengetuk meja sekali. Pelan. Tidak sabar.
Ia menarik napas dalam, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi kerja. Tatapannya kosong, rahangnya mengeras. Ada rasa tidak nyaman yang sulit ia definisikan bukan marah sepenuhnya, bukan juga kesal murni.
Punya istri…
pada akhirnya sama saja seperti Jaesica.
Pengganggu di waktu yang tidak tepat.
Leonard tidak menyukai kesimpulan itu. Ia juga tidak menyukai fakta bahwa pikirannya sampai ke sana. Dengan satu gerakan tegas, ia kembali duduk tegak, membuka berkas berikutnya, memaksa dirinya tenggelam dalam pekerjaan.
Ia adalah Leonard Alastair.
CEO Alastair Group.
Pekerjaan selalu di atas segalanya.
Namun tetap saja, fokusnya tidak setajam biasanya. Ia membaca satu paragraf dua kali. Angka yang sama kembali ia cek. Hal-hal kecil yang seharusnya tidak pernah terjadi.
Leonard menutup map itu dengan sedikit lebih keras dari perlu.
“Cukup,” gumamnya pada diri sendiri.
Ia berdiri, berjalan ke jendela ruang kerjanya, menatap pemandangan kota dari ketinggian. Wajahnya kembali dingin, ekspresinya terkunci rapi. Tidak ada celah yang bisa dibaca siapa pun.
Ini hanya gangguan kecil.
Dan gangguan tidak layak dipikirkan.
Meski jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang belum sepenuhnya reda.
Leonard berjalan kembali ke arah mejanya. Ia duduk, lalu menekan alat kecil di sisi meja interkom pribadi yang hanya terhubung ke satu orang.
“Adriel,” ucapnya datar.
“Bawakan secangkir kopi. Aku rasa aku perlu menenangkan pikiranku.”
“Baik, Tuan,” jawab Adriel singkat dari seberang.
Leonard meletakkan siku di atas meja, menautkan jemarinya. Pandangannya lurus ke depan, namun pikirannya tidak sepenuhnya berada di sana. Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang ia ciptakan sendiri.
Tak lama kemudian, ketukan pelan terdengar di pintu.
“Masuk.”
Adriel melangkah masuk membawa secangkir kopi panas. Ia meletakkannya dengan hati-hati di meja Leonard tanpa banyak bicara.
Leonard menggeser beberapa berkas yang sudah tersusun rapi, lalu menyerahkannya pada Adriel.
“Ini sudah selesai. Pastikan ulang semuanya sebelum diteruskan ke divisi terkait.”
Adriel menerima map itu dengan kedua tangan. “Baik, Tuan.”
Leonard meraih cangkir kopinya, uap tipis masih mengepul. Sebelum Adriel berbalik pergi, Leonard menambahkan dengan nada tenang namun tegas,
“Untuk sementara, jangan ada yang masuk. Biarkan aku santai dulu.”
Adriel mengangguk paham. “Saya pastikan, Tuan.”
Pintu tertutup kembali, menyisakan Leonard seorang diri.
Ia menyesap kopi perlahan. Rasa pahitnya menyebar, cukup untuk membuat pikirannya sedikit lebih jernih. Leonard menyandarkan punggung ke kursi, menatap langit-langit ruangan sejenak.
Keheningan itu ia butuhkan.
...Hanya dirinya dan pikirannya sendiri yang perlahan, meski enggan, mulai ia tenangkan. Ponsel di sampjng laptopnya tiba-tiba bergetar pelan....
Satu pesan masuk.
Ibu.
Leonard melirik layar ponsel itu sekilas, lalu mengambilnya.
“Sayang, ke rumahlah nanti malam bersama Leora. Ibu tunggu.”
Alis Leonard sedikit berkerut. Jarinya bergerak cepat, membalas singkat tanpa banyak emosi.
“Iya, Bu.”
Hanya itu. Tidak lebih.
Ia meletakkan kembali ponselnya, lalu meneguk sisa kopi di cangkirnya. Tangannya naik, meremas-remas rambut dan kepalanya sendiri, mencoba mengusir rasa pening yang semakin terasa.
Leonard menatap layar laptop di depannya. Grafik analisis kerja sama Damian Group dan Alastair Group terpampang jelas garis-garis naik yang konsisten, angka-angka pendapatan yang terus melonjak, proyeksi keuntungan yang melampaui target awal.
.....................
Gerbang rumah utama Alastair terbuka perlahan. Mobil hitam Leonard berhenti tepat di depan teras. Seperti biasa, beberapa staf dan pengawal sudah berdiri rapi, menunduk hormat saat Leonard turun. Wajahnya tetap datar, langkahnya tegas lelaki itu membawa sisa ketegangan kantor sampai ke rumah.
“Selamat sore, Tuan,” sapa salah satu staf.
Leonard hanya mengangguk singkat.
Ia berjalan masuk, melewati aula besar yang sunyi. Saat langkahnya mengarah ke tangga, sosok itu muncul dari arah berlawanan.
Leora.
Ia baru keluar dari ruang keluarga. Rambutnya tergerai rapi, pakaiannya sederhana. Begitu mata mereka bertemu, Leora tersenyum kecil bukan senyum penuh makna, hanya refleks yang lembut.
“Kau sudah pulang,” ucapnya singkat.
Tanpa menunggu balasan, Leora berbelok ke arah dapur.
Satu langkah.
Belum sampai dua, suara Leonard menghentikannya.
“Leora.”
Nada itu membuat Leora berhenti. Ia berbalik, menatap Leonard dengan ekspresi tenang.
“Kau tahu,” Leonard mulai, kedua tangannya masuk ke saku celana, “teleponmu siang tadi… sangat mengganggu waktu kerjaku.”
Leora mengangkat alis tipis, tapi tidak membantah.
“Aku sedang di kantor. Jam kerja,” lanjut Leonard dingin. “Seharusnya kau bisa membedakan waktu.”
Hening sejenak.
Leora menarik napas pendek, lalu tersenyum tipis bukan meremehkan, lebih ke menenangkan suasana.
“Maaf,” katanya ringan. “Aku cuma..”
Ia mengusap tengkuknya pelan, gestur kecil yang menunjukkan rasa bersalah, meski suaranya tetap santai.
“Lain kali aku perhatikan waktunya,” tambahnya. “Aku nggak bermaksud ganggu.”
Leonard menatapnya beberapa detik. Ada sesuatu di sikap Leora yang membuat kemarahannya… tidak menemukan sasaran. Tidak defensif. Tidak dramatis.
Hanya jujur.
“Pastikan,” ucap Leonard akhirnya singkat.
Leora mengangguk.
“Oh, Oke.”
Ia kembali melangkah ke arah dapur, kali ini tanpa dihentikan. Leonard tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Leora menjauh.
Sekitar setengah jam kemudian, langkah kaki Leora terdengar pelan menaiki tangga menuju lantai dua. Koridor itu tenang, hanya lampu-lampu temaram yang menyala rapi.
Di dalam hatinya, pikirannya berputar.
"Benar juga… aku juga salah.
Kenapa sih tadi siang aku harus chat Leonard?
Pantes aja dia jadi sensitif."
Ia berhenti sejenak di depan pintu kamar mereka. Menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Niatnya sederhana mengajak Leonard makan, memperbaiki suasana.
Leora mengetuk pelan, lalu masuk.
Leonard sudah ada di dalam. Ia sedang membuka manset jam tangannya, wajahnya tenang tapi tertutup.
“Leon—” Leora baru membuka suara.
“Cepat bersiap,” potong Leonard datar tanpa menoleh. “Habis ini kita ke rumah utama.”
Leora berkedip.
“Ke rumah utama?”
“Ibu ingin mengadakan makan malam bersama,” lanjut Leonard. “Katanya ada sesuatu yang ingin dibicarakan.”
Leora refleks menghela napas kecil.
“Yah… aku sudah masak,” ucapnya setengah kecewa, setengah bercanda. “Kupikir kamu makan di rumah aja.”
Leonard akhirnya menoleh. Tatapannya singkat.
“Tidak usah,” katanya tegas. “ Tadi Ibu sudah kirim pesan ke aku.”
Leora terdiam beberapa detik. Ada rasa sayang pada masakan yang belum disentuh, ada juga rasa kikuk karena niat baiknya datang terlambat.
“Oh… ya sudah,” ujarnya akhirnya, nadanya tetap ringan meski hatinya sedikit mengempis. “Aku siap-siap dulu.”
Leonard mengangguk singkat. Tidak ada penjelasan tambahan.
Leora berbalik menuju lemari.
Leora membuka lemari pakaiannya. Jemarinya menyusuri deretan gaun hingga berhenti pada satu pilihan.
Dress selutut berwarna merah, dengan motif bunga yang sederhana namun elegan. Tidak berlebihan, tapi pantas untuk makan malam keluarga di rumah utama.
“Ini aja,” gumamnya pelan.
Ia mengeluarkan gaun itu dan melangkah menuju ruang ganti, berniat cepat-cepat bersiap sebelum Leonard tidak sabar.
Baru beberapa langkah, suara Leonard terdengar dari belakang.
“Kenapa ganti baju di ruang ganti?”
Leora berhenti, menoleh.
“Hm?”
“Ganti saja di sini,” lanjut Leonard datar. “Aku kan suamimu.”
Leora terkejut sesaat, lalu terkekeh kecil karena tidak menyangka arah pembicaraan itu.
“Leonard… apaan sih”
“Kita sudah menikah,” jawab Leonard tenang, seolah itu argumen mutlak.
“Aku tahu,” balas Leora santai. “Tapi aku belum terbiasa. Aku lebih nyaman ganti di ruang ganti.”
Leonard menyilangkan tangan di dada.
“Hanya ganti baju.”
“Dan cuma pindah ruangan,” Leora mengangkat bahu. “Simple.”
Leonard mendecak pelan. Lalu, seperti refleks, ia menambahkan dengan nada setengah menyebalkan, setengah spontan,
“Aku juga sudah lihat.”
Leora langsung membeku.
Ia menoleh perlahan, menatap Leonard dengan ekspresi kaget sekaligus geregetan.
“Kita suami istri,” ujar Leonard ringan. “Kita juga udah lakuin.”
Pipi Leora terasa hangat. Ia mendengus kecil, lalu tertawa singkat bukan malu, lebih ke kesal yang ditahan.
“Ya ampun, itu beda konteks.”
“Beda di mana?” Leonard mengangkat alis.
“Beda,” jawab Leora cepat. “Yang itu situasinya beda. Ini aku mau ganti baju.”
Leonard menatapnya beberapa detik, jelas tidak sepenuhnya setuju.
“Logikamu aneh.”
balas Leora enteng. “Aku belum nyaman aja.”
Sebelum pintu tertutup, ia menoleh sebentar.
“Oh ya, jangan modus deh lo”
Pintu tertutup.