NovelToon NovelToon
Cinta Terlarang Dengan Abang Tiri

Cinta Terlarang Dengan Abang Tiri

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Cinta Terlarang / Cintapertama
Popularitas:39.2k
Nilai: 5
Nama Author: mama reni

“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”

Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.

Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.

Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.

Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab Dua Puluh Enam

Davina duduk di lantai cukup lama sebelum akhirnya tubuhnya bergerak sendiri, seolah ada tangan tak terlihat yang mendorongnya bangkit. Pikirannya terus berputar, kacau, tumpang tindih antara kemungkinan dan ketakutan.

"Aku … harus tanya Bang Kevin."

Suara itu keluar begitu pelan, hampir tak terdengar, tapi cukup kuat untuk membuatnya meraih ponsel di meja. Tangannya gemetar hebat ketika ia membuka kontak Kevin. Foto profil Kevin, senyumnya yang sedikit miring, rambut berantakan waktu mereka swafoto saat makan malam menyambutnya dengan hangat sekaligus membuat hatinya perih.

Ia menekan tombol telepon. Berdering. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Tidak diangkat.

Davina memejamkan mata. Bahunya turun. Nafasnya terasa berat.

“Mungkin dia lagi rapat …,” gumamnya, meski ia tahu itu hanya alasan agar ia tidak semakin panik.

Ia mencoba lagi. Berdering. Tetap tidak diangkat. Kali ketiga masih berdering.

Davina lalu mengirim pesan suara, “Bang angkat dong, aku butuh kamu.”

Suaranya pecah di akhir kalimat. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh, menuruni pipi perlahan.

Davina menghapusnya cepat, mencoba menenangkan diri. “Jangan nangis, Davina. Jangan.” Ia memegang kepala yang kembali terasa berat.

Tapi rasa takut itu semakin menusuk. Ketakutan yang tak bisa ia tahan lebih lama. Maka ia menekan tombol telepon lagi. Sampai panggilan ke delapan akhirnya terdengar suara napas terhubung dari seberang sana.

“Davi ...?”

Begitu Kevin menyebut namanya, Davina langsung roboh duduk di lantai, tangan menutupi wajah. Tangisnya pecah sekencang-kencangnya hingga Kevin di seberang hanya bisa terdiam beberapa detik.

“Davi? Hei … hei, kenapa? Kamu kenapa, Sayang?”

Davina mengusap air matanya. “Bang … aku takut .…”

Nada panik Kevin langsung terdengar. “Ada apa? Kamu di rumah? Papa … Papa marah? Mama kamu ....”

“Bukan itu bukan ….” Davina menggeleng walau Kevin tidak bisa melihat. Napasnya tersengal. “Bang … aku … aku mungkin … aku … aku telat.”

“Telat apa, Davi?” tanya Kevin akhirnya, suaranya rendah dan sangat serius.

Davina menutup wajahnya dengan tangan. “Bang … aku mungkin hamil.”

Ada suara gesekan kursi terseret dari seberang telepon. Lalu langkah cepat. Lalu pintu dibuka dan dibanting.

“Davi, kamu di mana sekarang?” Kevin berbicara cepat, napasnya terdengar berat seperti berlari. “Kamu sendirian?”

“Iya … Mama tadi tanya-tanya. Dia bilang aku mungkin hamil. Bang, aku takut .…”

“Kamu udah tes?”

Davina menggeleng, masih tersengal. “Belum … aku takut. Aku nggak berani beli tes. Papa pasti lihat kalau aku keluar rumah.”

“Kamu pusing? Mual?”

“Iya. Tiap pagi dan beberapa malam.”

Kevin mengumpat pelan, bukan padanya, pada keadaan. “Oke. Dengar aku ya, Davi.”

Davina menggigit bibir.

Kevin mengembuskan napas panjang, tapi jelas ia sedang berusaha menahan kecemasan. “Aku pulang sekarang.”

Davina terlonjak. “Bang, jangan! Papa bisa ....”

“Aku pulang,” Kevin mengulang lebih tegas. “Aku nggak peduli Papa mau apa. Kalau kamu takut, kalau kamu bisa aja lagi sakit, aku harus ada di sana.”

“Bang .…”

“Aku bisa naik pesawat dua jam lagi. Aku berangkat sekarang. Kamu dengar?”

Davina mengusap air matanya. “Iya … tapi kalau Papa ....”

“Aku yang jelasin. Kamu nggak usah takut apa pun. Kamu tunggu aku.”

Nada suaranya tidak memberi ruang untuk bantahan.

“Bang .…” Davina menelan tangisnya yang tersisa. “Aku … aku takut kalau benar aku ....”

“Hasilnya apa pun, kamu nggak sendiri.” Suara Kevin melembut. “Davi, kamu dengar aku? Kamu. Tidak. Sendiri.”

Air mata Davina jatuh lagi, tapi kali ini karena lega.

“Kalau kamu merasa pusing lagi atau mual, baring dulu. Jangan turun. Jangan stress. Aku bakal telepon kamu waktu aku sampai bandara.”

“Bang .…”

“Hm?”

“Aku kangen.”

Di seberang sana, Kevin terdiam sejenak. Lalu ia mengeluarkan suara napas yang terdengar seperti menahan emosi.

“Aku lebih kangen.”

Dua jam kemudian, setelah panggilan terakhir Kevin memberi tahu bahwa ia sudah di pesawat, Davina hanya bisa menunggu di kamar sambil memegangi perut yang tidak sakit tapi entah kenapa juga tidak tenang.

Setiap menit terasa seperti satu jam. Ia mencoba memejamkan mata, tapi pikirannya berlari ke mana-mana.

Apa benar ia hamil? Apa Papa akan membunuh Kevin? Apa Mama akan semakin membencinya? Apa Kevin akan menyesal?

Davina memegangi kepalanya. Semua pertanyaan itu bermain di kepalanya. “Aduh .…”

Ia duduk di tepi tempat tidur ketika teleponnya berbunyi, dari Kevin. Ia buru-buru mengangkat.

“Aku baru landing,” suara Kevin cepat. “Kamu siap?”

Davina berdiri. “I–iya. Tapi gimana aku keluar? Papa ....”

“Kamu bilang saja mau beli obat pusing. Di rumah kamu pasti banyak orang. Nggak ada yang curiga. Kamu keluar pelan-pelan, naik ojek ke bandara. Aku tunggu di depan pintu kedatangan.”

Davina menghela napas. “Oke … aku coba.”

“Davi?”

“Hm?”

“Jangan takut. Aku di sini.” Dan Kevin menutup telepon.

Davina menuruni tangga perlahan. Mama sudah tidak di ruang tamu. Papa juga belum pulang dari kantor. .

Davina langsung keluar dari pintu depan, memesan ojek, dan lima belas menit kemudian ia turun di depan bandara.

Ketika ia menoleh ke arah pintu kedatangan domestik, ia melihat Kevin berdiri di sana, tas selempang masih menyilang di dada, wajah lelahnya tercetak jelas, tapi matanya, mata itu yang membuat dada Davina langsung sesak, hanya memandangnya tanpa kedip.

Begitu mata mereka bertemu, Kevin langsung berjalan cepat. Davina ikut mendekat. Dan tanpa menunggu apa pun, Kevin menariknya masuk ke dalam pelukan.

Pelukan itu tidak kencang. Tapi hangat. Dalam. Seolah Kevin juga baru bisa bernapas setelah memegangnya.

“Bang .…” Davina menyandarkan wajah ke dada Kevin.

“Hey … aku di sini.” Kevin mengusap punggungnya dengan lembut. “Aku di sini, Davi. Jangan takut!”

Beberapa detik kemudian, Kevin melepaskan pelukan dan menatap wajah Davina penuh cemas.

“Kamu pucat banget,” ucap Kevin sambil menyentuh pipinya.

“Aku capek dan takut.”

Kevin meraih tangan Davina. “Kita ke rumah sakit sekarang, ya?”

Davina mengangguk. Mereka berjalan menuju taksi bandara. Kevin membuka pintu, membiarkan Davina masuk lebih dulu. Begitu taksi berjalan, Kevin meraih tangan Davina dan menggenggamnya erat.

“Davi .…”

“Hm?”

“Apa pun hasilnya nanti, aku ada di samping kamu. Jangan takut.”

Davina menunduk. “Bang … kalau … kalau aku beneran hamil, gimana?”

Kevin menatapnya lama. “Kita urus bareng.”

Davina menatap Kevin, matanya basah. “Bang, Papa bisa bunuh kamu.”

Kevin tersenyum kecil. “Aku udah setengah mati waktu kamu bilang kamu mungkin hamil.”

“Bang!”

Kevin mencubit pipinya pelan. “Hei … tenang. Kita belum tahu apa-apa. Jangan dulu panik.”

Davina akhirnya menghela napas panjang. “Iya .…”

Kevin menggenggam tangannya lebih kuat. “Pokoknya, apa pun itu … kamu nggak sendiri.”

Setengah jam kemudian, mereka tiba di rumah sakit swasta yang tidak terlalu besar tapi sangat bersih. Kevin menarik nafas panjang, memegang pundak Davina.

“Kita masuk?”

Davina menelan ludah. “Bang … aku deg-degan.”

Kevin meraih kedua tangannya. “Aku juga. Tapi kita masuk sama-sama.”

Davina akhirnya mengangguk. Mereka melangkah masuk ke ruang pendaftaran. Kevin yang berbicara dengan perawat, sementara Davina hanya berdiri diam, memegangi perutnya tanpa sadar.

“Nama pasien?” tanya perawat.

Davina menjawab pelan, Kevin yang melengkapi data.

“Keluhan?” tanya perawat lagi.

Kevin menoleh ke Davina. Wanita itu tidak bisa membuka mulut.

Kevin akhirnya menjawab, “Telat datang bulan. Pusing. Mual pagi.”

Perawat mengangguk mengerti, wajahnya datar. “Oke. Bisa tunggu di depan ruang dokter kandungan. Lima belas menit lagi masuk.”

Kevin memegang punggung Davina dan menuntunnya duduk. Begitu duduk, Davina langsung menarik napas panjang, hampir gemetar.

Kevin memijat punggungnya pelan. “Hei … nggak apa. Dokternya cuma mau periksa. Nggak sakit.”

Davina mengangguk, meski wajahnya tetap tegang. Lima belas menit terasa seperti dua jam. Setiap kali pintu ruang dokter terbuka, jantung Davina berdetak cepat.

Akhirnya nama Davina dipanggil. Kevin berdiri lebih cepat daripada Davina.

Ia menoleh dan menatap Kevin. “Bang .…”

“Hm?”

“Temenin aku?”

Kevin menjawab tanpa ragu. “Aku masuk.”

Mereka berjalan masuk ke ruangan dokter. Bau antiseptik menusuk hidung. Di dalam, seorang dokter wanita berusia empat puluhan tersenyum ramah.

“Davina, ya? Silakan duduk.”

Davina duduk pelan. Kevin di sampingnya.

Dokter membuka catatan. “Keluhannya telat datang bulan, pusing, dan mual?” Davina mengangguk.

“Kita akan lakukan pemeriksaan dasar dulu, ya. Kalau perlu, USG transvaginal.”

Davina langsung menegang. Kevin memegang tangannya cepat.

Dokter tersenyum kecil. “Tenang, tidak semua pasien perlu itu. Kita lihat dulu.” Davina mengangguk pelan.

“Hm.” Dokter berdiri. “Ikuti saya. Kita periksa di ruangan sebelah.”

Davina bangkit dengan kaki yang gemetar. Kevin berdiri di belakangnya, menahan bahu Davina agar stabil.

Ketika Davina sudah masuk ke ruang pemeriksaan, dokter menutup tirai. Kevin menunggu di luar tirai. Napasnya berat. Detik terasa seperti menit.

Beberapa detik kemudian Davina keluar dari balik tirai, wajahnya pucat dan bingung.

Kevin langsung menghampiri. “Kamu sakit? Ada apa?”

Davina menggeleng pelan. “Aku … aku nggak ngerti, Bang.”

Dokter duduk kembali di meja, merapikan berkas, lalu menatap keduanya. “Silakan duduk.”

Kevin dan Davina duduk bersisian. Tangan mereka saling menggenggam erat. Dokter membuka catatan hasil pemeriksaan. Keduanya menanti dengan tegang, apa yang akan dokter katakan.

1
Ida Nur Hidayati
solysi terbaik ke dokter dan memang Kevin harus sepenuhnya bertanggung jawab. hadapi bersama apapun yang terjadi
LB
berani berbuat berani bertanggung jawab ya Kevin, lelaki sejati harus begitu.
kalau sudah salah jangan menambah kesalahan lagi.
berani menghadapi apapun resikonya.
Ida Nur Hidayati
tanda tanda kamu hamil Davina...
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
Sri Gunarti
di gangung 🤦‍♀️
Sri Gunarti: gantung
total 1 replies
Teh Euis Tea
hebat kevin wlupun jauh dia databg untuk tangung jawab, masalah hrs di tanggung ber2, jgn takut kevin davina apapun resikonya kalian jgn menyerah
shenina
pinisirinn... lanjut mam..
Ervina Ardianto
Apa ini novel alurnya mau dipercepat ya?
🌷Vnyjkb🌷
👍👍gitu dong, mslah d hadapi brsma, jgn ada drama davi pergi, atau ortu yg campur tangan berlebihan, malah bikin kusut mslah
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak
Nar Sih
seperti nya bnr kmu hamil vina,dan mungkin ini awal dri penderitaan mu juga jauh dri kevin ,moga aja dia tau klau kmu hamil dan mau tanggung jwb
Mutia
Davina apa bodoh, gak tau resiko bakal hamil...
anju hernawati
tetaplah tegar davina dengan apa yang sudah terjadi padamu ......
olyv
woww menyalah mama tiri 🔥🫢👊
sunshine wings
Testpack dulu Davina dan kasi tau keputusannya pada bang Kevin kemudian pikirkan solusinya sama² ya sayang.. ❤️❤️❤️❤️❤️
sunshine wings
Pasti bang Kevin akan tanggungjawab..
sunshine wings
Apa Davina hamil ya? ❤️❤️❤️❤️❤️
sunshine wings
jangan sampe menyesal papa..
sunshine wings
Kok gitu sih pa.. Dengan mengorbankan perasaan dan kebahagiaan anak².. Fahamilah biar sedikit daripada papa kehilangan dua²nya sekaligus..
sunshine wings
Nikahkan aja pa..
sunshine wings
bikin iri aja bang 😍😍😍😍😍
sunshine wings
❤️❤️❤️❤️❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!