Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 33
Rumah tua Arther berdiri seperti hantu di tengah kabut malam.
Bangunannya besar, jendelanya gelap, catnya mengelupas.
Tempat itu seperti membeku dalam waktu.
Mobil Nathan berhenti pelan.
Hana memeluk lengan James, napasnya pendek, tubuhnya hampir berguncang ketakutan.
James meraih wajah Hana dengan kedua tangan, lembut namun tegas.
“Hana… lihat aku.”
Hana menatapnya, mata basah.
“Tidak ada yang lebih penting dari kau.
Apa pun yang terjadi… kau tetap di belakangku. Mengerti?”
Hana mengangguk cepat, tapi suara bergetar.
“James… aku takut dia… menyakitimu…”
James tersenyum kecil, menyentuh pipinya.
“Aku hidup sampai sekarang karena kau memberi aku alasan untuk bertahan.”
Hana terisak dan memeluk James kuat-kuat.
Raina membuka pintu.
“Nathan… mobil itu makin dekat…”
Lampu mobil Soni memotong kabut beberapa ratus meter di belakang.
Dia datang.
Nathan mengeluarkan laptop dan flashdisk rekaman.
“Begitu kita di dalam… kita harus sembunyikan bukti ini.”
James mengangguk.
“Semua berakhir malam ini.”
Rumah itu berderit saat pintu besar dibuka.
Aroma debu dan kayu tua menyelimuti mereka.
James dan Hana masuk dulu.
Nathan dan Raina mengikuti.
Di ruang tamu besar, foto keluarga tua berdebu masih tergantung:
• Foto Soni muda
• Foto Melena tersenyum polos
• Foto James kecil—senyum yang kini terasa pahit
Hana memandang foto Melena lama sekali.
“Kalau saja aku bisa bicara dengannya… satu kali saja…”
James menggenggam tangannya.
“Aku yakin dia ingin kau hidup bebas… bukan hidup dalam ketakutan.”
Hana mengangguk pelan.
Nathan menutup tirai.
Raina memeriksa pintu belakang.
“Untuk saat ini aman,” kata Nathan.
Tapi itu tidak bertahan lama.
Mobil hitam berhenti di depan rumah.
Pintu mobil terbuka pelan.
Soni keluar—
jasnya masih rapi, rambutnya tidak berantakan sedikit pun.
Ia berjalan perlahan ke arah pintu rumah, langkahnya mantap, tidak tergesa.
Seperti seseorang yang datang bukan untuk mengejar…
…melainkan untuk menyelesaikan.
Pintu depan diketuk tiga kali.
Tok.
Tok.
Tok.
Suara itu membuat Hana hampir jatuh.
James langsung meraih pinggangnya dan memeluknya erat.
“Hana… aku ada.”
Hana memegang baju James erat-erat, tubuhnya menggigil.
Pintu didorong perlahan.
Tidak jebol.
Tidak ditendang.
Soni masuk dengan ketenangan yang lebih menakutkan daripada teriakan.
James mendorong Hana ke belakang tubuhnya.
“Berhenti di situ.”
Soni memandang keduanya seperti melihat anak kecil yang sedang membangkang.
“Hana… James…
kenapa kalian lari jauh sekali?”
Hana bersembunyi di belakang punggung James.
Matanya penuh trauma.
Soni melihat itu—
dan matanya menyempit sedikit.
Cemburu.
James melangkah maju satu langkah.
“Soni… aku sudah lihat rekamannya.”
Soni berhenti.
“…rekaman apa?”
James menunjuk Nathan.
“Rekaman ponsel ibu.
Dan rekaman yang kau sembunyikan.”
Soni berdiam selama dua detik.
Hanya dua detik—
tapi cukup untuk menunjukkan bahwa dia tahu apa yang sedang dibahas.
“Aku tidak sembunyikan apa pun,” jawab Soni tenang.
Nathan mengeluarkan laptop.
“Semua terekam.
Suara pemeras.
Suara kau malam itu.”
Soni menatap Nathan dengan dingin.
“Rekaman itu tidak membuktikan apa pun.”
Hana bicara—suara pelan tapi jelas:
“Aku lihat…
malam itu…
aku lihat kau berdiri di samping Melena setelah dia jatuh…”
Soni menoleh perlahan ke Hana.
“Hana…”
Suara Soni seperti suara seseorang yang sangat tersinggung dan merasa dikhianati.
“Jangan ulangi kata-kata itu.
Kau satu-satunya orang yang tidak boleh menyalahpahami aku.”
Hana mundur ketakutan.
James langsung memeluknya dari belakang.
“Dia tidak salah paham.
Dia takut.
Karena kau membuatnya begitu.”
Soni menatap tangan James yang memegang Hana—
dan wajahnya berubah.
Iri.
Cemburu.
Takut kehilangan kendali.
“Semenjak kapan kau sentuh dia seperti itu?” suara Soni rendah.
“Sejak dia butuh perlindungan dari kau,” jawab James dingin.
Soni maju selangkah.
“Hana milikku.”
Hana tersentak, air mata jatuh deras.
“Tidak…”
Hana mengguncang kepala.
“Aku bukan milikmu…”
Soni menahan napas dan menatap Hana lama.
“Kau…
bahkan sekarang pun…
kau masih memilih dia?
Anak yang bukan darah dagingku?”
James menegang.
“Saya memang bukan anakmu.
Tapi itu tidak berikan hak padamu untuk menyakiti orang yang tidak berdaya.”
Soni mendengus.
“Anak itu bukan darahku…
ibumu tidak pernah setia…
dan dia hampir menghancurkan hidupku…”
James maju.
“Dan kau membiarkan dia mati.”
Soni berhenti.
Untuk pertama kalinya, ada retakan kecil di wajahnya.
“Penyesalan terbesar aku,”
ucap Soni pelan,
“bukan melihat Melena jatuh…
tapi membiarkan dia keluar malam itu.”
Hana menatapnya kaget.
Raina menutup mulut.
Nathan tidak berkedip.
James menggertakkan gigi.
“Kau berdiri di atas tubuhnya dan tidak menolong.
Jangan bicara seolah kau korban.”
Soni menghela napas pelan sekali.
“James…
kau tidak tahu apa pun.”
James mengangkat flashdisk.
“Kalau begitu jelaskan.
Jelaskan SEBELUM aku sebarkan ini.”
Soni menatap flashdisk itu seperti menatap pisau yang siap ditancapkan ke jantungnya.
“Baik…” katanya pelan.
“Aku akan jelaskan.”
Soni duduk di kursi tua dengan tenang.
“Hana… James…
dengarkan baik-baik.”
Ia menarik napas panjang.
Dan kalimat berikutnya mengubah segalanya:
“James…
ayah kandungmu…
bukan siapa pun yang kalian kira.
Dia orang yang masih hidup…
dan dia yang memeras ibumu.”
James memucat.
Hana memegang dadanya.
Raina menatap mereka berdua.
Nathan menegang.
Soni menatap James lurus-lurus.
“Ayah kandungmu…
adalah pria yang lebih berbahaya daripada aku.
Dan dia akan datang menjemputmu setelah ini.”
Ruangan itu hening.
Debu di udara pun seolah berhenti bergerak.
James menatap Soni tanpa berkedip.
Hana memegang lengannya, merasakan getaran halus dari tubuh James.
“Ulangi,” suara James pelan, rendah, hampir seperti menggeram.
“Ayah kandungku… masih hidup?”
Soni mengangguk sekali.
“Ya.”
Raina menelan ludah.
Nathan mengencangkan rahang.
James melangkah maju, tapi Hana memegang pinggangnya dari belakang, mencegahnya kehilangan kendali.
“Siapa dia?” tanya James pelan, namun matanya berapi.
Soni menyandarkan punggung ke kursi tua.
“Pria itu, James…
adalah alasan ibumu selalu takut.”
James menggertakkan gigi.
“NAMA-NYA.”
Soni mengusap wajahnya sekali—gerakan lambat, putus asa.
“Aku tidak ingin kau tahu…”
James meninju tembok di sampingnya, membuat plester retak.
“Cukup bermain-main dengan aku! KAU sudah menghancurkan hidup kami! Katakan namanya!”
Soni mengangkat wajahnya.
Tatapannya kosong.
Dan ia mengucapkan nama itu dengan tenang:
“Nama ayah kandungmu adalah—
Arman Davre.”
Hening.
Hilang udara.
Hilang logika.
Nathan langsung menegakkan tubuh.
“Arman… Davre…?
Bos besar Davre Corporation?
Manusia paling berkuasa setelah Soni?!”
Raina menutup mulutnya.
“Dia… hidup?
Dia… ayah James?!”
Hana memegang dada, hampir pingsan.
“Davre… yang memeras Melena?”
Hana hampir tidak bisa bicara.
Soni mengangguk.
“Ya.”
James memucat.
Ia merasa dunia berputar.
Ia hampir jatuh jika Hana tidak memegangi bahunya.
Soni mulai bicara… cepat… tegas…
seolah ia ingin mengeluarkan racun yang ia simpan bertahun-tahun.
“Melena pernah bekerja di Davre Corporation sebelum menikah denganku.
Dan Arman Davre… jatuh cinta padanya.”
Soni menghela napas berat.
“Dia kekasih lamanya.”
Hana menutup mulut.
James mengepalkan tangan.
“Tapi Melena memutus hubungan itu,” lanjut Soni.
“Ia pilih hidup bersamaku.
Sederhana, tenang.”
Soni memandang foto tua Melena di tembok.
“Tapi Melena hamil…
dan dia tidak yakin siapa ayahnya.”
Hana menunduk, air mata jatuh tanpa suara.
James merasa dadanya sesak luar biasa.
Seperti dihancurkan dari dalam.
“Aku menerima James sebagai anakku,” kata Soni pelan.
“Aku tidak peduli siapa ayah kandungnya. Aku hanya ingin keluarga utuh.”
Nathan menarik napas panjang.
“…tapi Davre datang kembali?”
Soni mengangguk.
“Arman memeras Melena begitu ia tahu Melena punya anak.”
Soni mengepalkan tangan.
“Dia yakin James adalah darahnya.”
James menatap lantai.
Hana memegang pipinya, memaksa James melihatnya.
“James… kau tidak bersalah… ini bukan pilihanmu…”
James tidak menjawab.
Soni melanjutkan.
“Melena mencoba melindungi kau, James.
Itu sebabnya dia keluar malam itu.”
Soni menutup mata.
“Bukan karena aku.
Tapi karena Arman mengancam bahwa dia akan mengambil kau.”
Raina jatuh terduduk.
Nathan mengutuk pelan.
James akhirnya bicara, suara hancur:
“Jadi…
selama ini…
kau tahu semua itu?
Dan kau biarkan ibuku mati?”
Soni menggeleng perlahan—tidak defensif, tidak marah.
“Tidak, James.
Aku melihat Melena sudah tidak bergerak.
Aku tidak tahu siapa yang membuatnya terpeleset.
Tapi aku tahu satu hal…”
Mata Soni berubah gelap.
“Jika dunia tahu kau anak Arman Davre—
kau tidak akan hidup normal.
Kau akan menjadi alat.”
Hana menahan napas.
Soni berdiri.
“Dan aku tidak biarkan itu terjadi.”
James menatapnya tajam.
“Lalu kenapa kau kejar Hana?
Kenapa kau sakiti dia?!”
Soni menatap Hana.
Tatapannya kosong, namun ada sesuatu di baliknya—
kemarahan?
takut?
atau rasa tidak ingin kehilangan kendali?
“Aku ingin Hana tetap diam.
Karena jika rahasia itu bocor…
Davre akan datang mencarimu.”
Hana mundur, memeluk dirinya.
“Jadi…
kau hanya ingin aku bungkam…
bukan karena kau cinta aku?”
Soni memalingkan wajah, tidak menjawab.
Hana menangis pelan.
James langsung memeluk Hana.
“Dia tidak punya hak atas kau,”
bisik James.
Hana menyimpan wajah di dada James.
BAGIAN 3 — KEDATANGAN A
Pintu belakang rumah berderit pelan.
Nathan menoleh cepat, siap menyerang.
Raina memegang kursi.
James memeluk Hana dan bersiap.
Tapi sosok yang masuk adalah—
A.
Ia terlihat lelah, mantel basah, tapi matanya tajam.
“Akhirnya kalian tahu.”
Soni menegang.
A berjalan mendekat, berdiri di antara Soni dan James.
“Aku sudah bilang…
kebenaran malam itu lebih rumit daripada yang terlihat.”
James mendekat.
“Kau kerja untuk siapa sebenarnya?
Melena?
Soni?
Davre?”
A menghela napas.
“Aku bekerja untuk Melena.
Sejak sebelum dia menikahi Soni.”
Hana memegang tangan James semakin erat.
A melanjutkan.
“Dan aku saksi… bahwa Arman Davre hidup.
Dan dia tahu kalian membuka rekaman itu.”
Soni menatap A tajam.
“Kau memanggilnya?”
A menggeleng.
“Tidak perlu dipanggil.
Dia selalu mengawasi.”
James merasakan seluruh tubuhnya menjadi dingin.
“Dia tahu aku… anaknya?”
A menatap James dalam-dalam.
“Sejak kau lahir.”
Raina berseru kecil.
Nathan memaki.
Soni memejamkan mata.
Hana menahan tangis.
A mendekat satu langkah dan berkata:
“Dan sekarang, James…
dia sedang menuju ke sini.”
James menegang sepenuhnya.
“Untuk apa?”
A menjawab tanpa ragu:
“Untuk mengambil kau.”
Hana langsung memeluk James dengan kedua tangan, panik.
“Tidak… James tidak ke mana pun! Dia tidak pergi! Dia tetap dengan kami!”
James memeluknya erat.
“Aku tidak pergi ke mana pun, Hana.
Tidak meninggalkan kau.”
A menatap mereka serius.
“Kalian punya dua pilihan:”
Menemui Arman Davre dan berdamai dengan kebenaran
Atau melawan dia—dan hidup dikejar selamanya
Hana menunduk, tubuhnya gemetar.
James menatap A.
Dan berkata dengan tegas:
“Aku tidak akan jadi alat siapa pun.
Termasuk dia.”
A mengangguk.
“Saya tahu.
Itu sebabnya Soni selalu takut padamu.”
Soni mendengus.
James menggenggam tangan Hana.
“Kalau dia datang… aku hadapi dia.
Tapi Hana tetap di belakangku.”
A menatap keduanya dan akhirnya berkata:
“Kalau begitu—
bersiaplah.”
Ia membuka jendela sedikit.
Lampu mobil hitam kedua muncul di kejauhan.
Berbeda dari milik Soni.
Siluet besar.
Panjang.
Mahakaya.
A tersenyum tipis.
“Itu dia.”
Hana menjerit kecil dan memeluk James erat-erat.
James memegang wajahnya.
“Hana… aku tidak tinggalkan kau.
Kita hadapi ini. Bersama.”
Hana mengangguk sambil menangis.
Dan mobil itu berhenti di depan rumah.
Seseorang turun.
Sosok tinggi berpakaian mahal…
langkah lembut tapi mematikan…
02-12-2025