Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.
Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.
Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Minggu Terakhir
Malam itu, suasana rumah keluarga Adhitama lebih sunyi dari biasanya. Lampu-lampu ruang tamu menyala terang, namun bukannya menghadirkan kehangatan—ruangan terasa seperti menahan napas.
Devan baru saja pulang. Ia melepas dasinya sambil memijat tengkuk lelahnya, berjalan masuk tanpa curiga… hingga langkahnya terhenti.
Di ruang tamu, kedua orang tuanya duduk dengan ekspresi tegang.
Dan di kursi utama—kursi yang jarang sekali diduduki siapa pun selain beliau—Kakek Adhitama sudah duduk tegak, tongkat kayu hitam di samping, tatapannya menusuk setajam pisau.
Pertanda buruk.
Devan menghela napas perlahan. “Kenapa semuanya ngumpul kayak gini?”
Kakeknya membuka suara lebih dulu—suara yang terdengar lembut, tapi penuh tekanan halus yang tak bisa ditolak.
“Waktu kamu tinggal tiga minggu lagi, Devan.”
Devan menegakkan tubuhnya. Tidak ada gentar.
Jika ada, hanya ketegasan yang sudah lama ia simpan.
“Aku tahu,” jawabnya tenang. “Dan aku siap meninggalkan Adhitama.”
Danu, sang ayah, spontan bangkit dari sofa. Suaranya meledak tanpa sempat disaring.
“Berani kamu bicara begitu?!”
Devan menatapnya tanpa bergeming. “Kenapa tidak? Ini hidupku, Dad. Kalian tidak punya hak mengatur semuanya.”
Diana mengangkat tangan ke mulutnya, shock. Sementara Kakek Adhitama memejam pelan, seolah kecewa.
Tapi Danu tidak berhenti di situ.
“Devan! Vena itu perempuan baik. Dia berpendidikan, berkelas, punya latar belakang yang cocok untuk keluarga besar ini! Dia—”
“Terserah Daddy mau bilang apa.”
Devan memotong dingin.
“Aku tetap tidak mau menikah dengan dia.”
Danu memukul meja keras hingga gelas di atasnya bergetar. Diana tersentak, wajahnya pucat.
“Devan! Kamu pikir keluarga ini apa?! Semua ini bukan hanya tentang—”
“Justru itu,” balas Devan cepat. “Karena semuanya selalu tentang keluarga ini. Bukan tentang aku.”
Hening menggantung berat.
Devan tidak menunggu respons apa pun.
“Aku capek. Aku naik ke kamar.”
Ia berbalik dan pergi, meninggalkan tiga orang dewasa yang sama-sama terkejut sekaligus tersinggung.
......................
Dalam perjalanan ke kamarnya, langkah Devan melambat ketika melewati pintu kamar Dewa. Pintu itu sedikit terbuka.
Entah kenapa, ia berhenti.
Dari celah sempit itu, ia melihat pemandangan sederhana—tapi hangat.
Dewa berdiri sambil menimang Gerald, bayi mungil mereka.
Naila sibuk merapikan tempat tidur, sesekali melirik suaminya sambil tersenyum kecil.
Rumah kecil… di dalam rumah besar.
Sederhana—tapi bahagia.
Devan terpaku. Ada sesuatu yang mengembang di dadanya… sesuatu yang nyeri, tapi ia rindukan.
Ia mengetuk pelan.
Tok. Tok.
Dewa menoleh. Wajahnya langsung cerah.
“Masuk, Bang.”
Devan melangkah masuk pelan. “Gerald belum tidur?”
“Belum.” Dewa mendekat sambil mengayun bayi itu. “Nih… gendong.”
Devan mengangkat tangan, menolak refleks.
“Gue nggak bisa.”
Dewa langsung tertawa. “Halah, santai aja. Semua bapak-bapak pertama kali juga kaku gitu.”
Naila ikut mendekat, senyumnya lembut. “Iya, Kak. Coba aja. Kalau kaku ya wajar.”
Devan memandang bayi itu. Ragu. Gugup.
Lalu—dengan hati-hati seolah memegang kaca paling rapuh—ia menerima Gerald dari lengan adiknya.
Bayi itu langsung meringkuk nyaman.
Hangat.
Ringan.
Tenang.
Gerald membuka mata sebentar, menatap Devan… lalu memejam lagi dengan damai.
Devan menahan napas. Tatapannya berubah, melunak.
Untuk pertama kalinya sejak Gerald lahir, ia benar-benar menggendong keponakannya.
Dan untuk pertama kalinya juga… bagian dari dirinya yang selama ini kosong, perlahan terisi.
“Gimana, Bang?” tanya Dewa sambil tersenyum melihat wajah kakaknya yang berubah.
Devan menimang pelan. “…Tenang. Dia tenang banget.”
“Iya,” ucap Naila lembut. “Anak kecil bisa ngerasain siapa yang sayang sama dia.”
Ucapan itu seperti menampar sekaligus memeluk.
Devan terdiam. Ia hanya tersenyum tipis—namun hatinya mulai bergetar.
Dewa dan Naila saling pandang. Tidak ada kata. Tapi senyum mereka cukup untuk menjelaskan semuanya.
Bahwa mereka tahu… Devan butuh rumah yang membuatnya merasa dicintai.
......................
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang menenangkan.
Devan masih memandangi Gerald. Jemarinya menyentuh pipi bayi itu dengan lembut, gerakan yang tidak pernah ia lakukan kepada siapa pun—bahkan ketika ia kecil.
Tatapannya tak lagi tajam atau dingin.
Ada sesuatu yang berubah.
Lembut.
Tersesat.
Dan… berharap.
Dewa menepuk bahunya pelan.
“Bang…”
“Hm?”
“Kalau Abang lepas Adhitama buat hal yang Abang bener-bener mau… gue sama Naila dukung. Beneran.”
Naila mengangguk. “Iya, Kak. Hidup Kakak bukan cuma tentang perusahaan.”
Devan menelan ludah. Dadanya terasa sesak, tapi hangat.
Pertanyaan lama yang selalu ia tekan muncul lagi:
Hidupku… sebenarnya buat siapa?
Ia menatap Gerald lebih lama. Bayi itu tidur tenang, seolah seluruh dunia aman dalam dekapannya.
Semua keributan di lantai bawah terasa jauh.
Semua tekanan seakan menguap.
Untuk pertama kalinya malam itu, Devan ingin memperjuangkan hidup yang ia pilih sendiri—bukan yang dipilihkan untuknya.
Dan entah kenapa…
dalam imajinasi samar itu, muncul sosok Arash di meja kerjanya.
Arash yang menunduk, tidak berani menatapnya.
Arash yang menjaga jarak.
Arash yang membuatnya marah, bingung, gelisah…
Tapi juga Arash yang membuat hatinya hidup.
Devan menghela napas panjang. Tangannya mengusap pelan kepala Gerald.
Dewa dan Naila kembali bertukar pandang. Senyum kecil muncul di bibir mereka.
Karena mereka tahu—tanpa harus bertanya:
Devan sedang jatuh cinta.
Dan itulah yang membuat semuanya… menjadi jauh lebih rumit daripada sebelumnya.
mellow banget...... beneran nangis aku ini.....
pe di ledekin ma bocil......😭😭😭😭
😡
ga sabar tunggu update nya....💪
dengan begitu Devan bisa istirahat dari kerjaan nya...ga seperti robot lagi....
di tambah bonus...bisa lebih intens lagi dengan Arash.....💪