Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 35.
Bu Lastri yang masih berdiri di ambang pintu, dengan cemas dan panik, menggeleng pelan sambil berkata lirih, “Tidak tahu Pak.. tapi saat saya tanya tadi hanya minta doa saja..”
Pak Hasto dan Bu Hasto segera melangkah menuju kamar Anisa, diikuti langkah tergesa Bu Lastri.
Lorong home stay yang sempit terasa sunyi menekan; hanya suara langkah mereka yang bergema pelan, berpadu dengan suara detak jantung mereka bertiga..
Duk..
Duk..
Duk...
“Pa, kita bawa ke rumah sakit saja, mumpung masih ada waktu. Kalau besok Anisa masih sakit, Sang Ratu Jin oasti murka,” bisik Bu Hasto, suaranya bergetar.
“Iya, Ma. Aku hubungi sopir.” Pak Hasto merogoh saku piyama nya, mencari telepon seluler yang tiba tiba terasa dingin di tangannya.
“Semoga Anisa tidak minta bertemu dengan Hegar.. selain itu perlu waktu, akan melanggar waktu yang sudah ditetapkan Sang Ratu.. Perasaan hati ku sifat Hegar tak beda dengan orang tua nya..” ucap Pak Hasto lagi.
“Iya Pa, meskipun mereka saudara.. tapi.. entahlah mungkin Anisa begitu rindu bertemu keluarganya, ingin bertemu dengan saudara satu darah.. Kasihan Anisa sej... “ ucap Bu Hasto menggantung....
Langkah mereka terhenti di depan pintu kamar Anisa. Entah kenapa, udara di sana jauh lebih dingin dibanding lorong sebelumnya.
Bu Hasto menelan ludah. “Pa… kamu rasakan? Udara di sini aneh sekali…”
Tanpa menunggu jawaban, ia memutar gagang pintu dan perlahan mendorong nya.
Krekk… suara engsel pintu berderit panjang, seperti jeritan sesuatu yang sudah lama terkunci.
Begitu pintu terbuka, hawa dingin menyergap keluar, menusuk tulang sumsum.
Bu Hasto spontan memeluk tubuh nya sendiri, bulu kuduk nya berdiri. “Astaghfirullah… kok dingin sekali, padahal tidak ada AC…”
Bu Lastri segera melangkah masuk lebih dulu. “Tadi tidak seperti ini, Bu. Waktu saya keluar, kamar hangat hangat saja…”
Mereka bertiga kini berdiri menatap sosok Anisa di atas tempat tidur.
Gadis itu terbaring sangat tenang. Terlalu tenang. Selimut tebal masih menutupi tubuh nya, namun wajahnya tampak pucat, seolah diselimuti cahaya samar dari lampu yang bergetar redup. Tidak ada lagi suara igauan dari mulut nya ..
“Anisa?” panggil Bu Lastri pelan, mendekat dengan langkah gemetar.
Tidak ada jawaban.
Ia menatap wajah Anisa, kedua mata terpejam rapat, kening nya halus tanpa kerutan, mulut nya diam… namun di sudut bibir nya tampak seulas senyum tipis yang membuat darah Bu Lastri seolah berhenti mengalir.
“Anisa…” kini suaranya bergetar, hampir tak terdengar. Ia menyentuh tangan Anisa.. dan langsung tersentak.
“Ya Allah… dingin!” serunya panik, menatap Pak Hasto dan Bu Hasto dengan mata membulat.
Bu Hasto segera berlari mendekat, menarik selimut Anisa.
Namun saat kain itu tersingkap, hembusan udara dingin kembali menyeruak. Tubuh Anisa terbujur beku..
Pak Hasto terpaku. Dadanya sesak. Ia tahu, ini bukan demam biasa.
“Ma… ini bukan sakit manusia lagi,” ucapnya pelan, nyaris berbisik.
Bu Hasto memandang suaminya dengan mata membesar, wajahnya pucat pasi. “Pa… jangan bilang kalau Sang Ratu sudah datang menjemput… ”
“Hu... hu... hu... kita hanya mengantar sampai di sini hu... hu... hu... Dan Sang Ratu menjemput dengan caranya sendiri hu... hu.... hu... “ tangis Bu Hasto pun pecah.. Dia peluk tubuh Anisa yang dingin beku, tidak lagi demam seperti yang dilaporkan Bu Lastri..
Tiba tiba, dari arah jendela, terdengar suara ketukan lembut ..
tuk…
tuk…
tuk…
Bu Lastri menoleh cepat. Jendela itu tertutup rapat, namun tirainya bergerak pelan, seolah disentuh angin yang tak terlihat.
“Nis…” panggil nya sekali lagi, kali ini nyaris histeris. Ia mengguncang bahu Anisa.
Namun Anisa tetap diam, hanya senyum tipis itu yang semakin jelas di wajahnya.
“Hu... hu.... hu.... hu... Pak, kenapa seperti ini hu.... hu... hu....” tangis histeris Bu Lastri pun kini tak bisa ditahan..
Dan di detik itu juga, lampu kamar berkelip, lalu padam.
Kegelapan menelan semua nya, hanya meninggalkan suara napas tercekat dan desir angin yang berbisik entah dari mana. Mnyelusup di antara tirai kamar yang bergoyang lembut.
Bu Lastri menjerit pelan saat lampu padam.
“Pak… Bu… saya tidak bisa melihat apa-apa!” seru nya panik.
Pak Hasto meraba dinding, mencari sakelar. Tapi jemarinya justru menyentuh sesuatu yang lembap dan dingin seperti embun. Ia menatap ke arah tempat tidur... samar, tampak siluet Anisa yang tetap terbaring diam.
“Ma… tetap di belakangku,” bisik nya tegas, meski suaranya sendiri bergetar.
Namun sebelum ia sempat menekan sakelar, tiba tiba… ada cahaya putih kebiruan berpendar lembut di sekitar tubuh Anisa.
Seperti kabut yang hidup, menyelimuti gadis itu, bergerak pelan pelan, lalu memudar bersama bisikan halus yang tak bisa mereka mengerti.
Bu Hasto menahan napas. “Ya Allah… apa itu?”
Tidak ada yang menjawab. Hanya keheningan yang menekan dada mereka, sementara cahaya itu meresap ke dalam tubuh Anisa... Dann seketika, suasana kamar menjadi hangat kembali.
Lampu menyala sendiri.
Suara jangkrik di luar kembali terdengar.
Bu Lastri menunduk dengan air mata di pipinya, memegang tangan Anisa sekali lagi.
Ia tersentak karena tangan itu kini kembali hangat.
“Bu… Pak… dia hangat! Tangannya hangat!” serunya dengan nada campuran antara tak percaya dan bahagia.
Bu Hasto segera mendekat. “Anisa?” panggilnya pelan.
Kelopak mata Anisa perlahan terbuka. Wajah nya tampak tenang, segar, tanpa demam, bahkan ada cahaya halus di matanya.
Senyumnya lembut, senyum khas yang dimiliki oleh Anisa..
“Bu Lastri…” suara Anisa lembut, nyaris berbisik. “Terima kasih sudah menjagaku.”
Bu Lastri memeluknya dengan haru, tak menyadari bahwa di balik pelukan itu, bayangan samar seorang wanita bermahkota perak muncul di cermin di sudut kamar, menatap mereka dengan senyuman.
Pak Hasto berdiri terpaku. Ia merasa dada kirinya yang bergetar, dingin kembali merambat, meski kamar sudah hangat.
“Ma…” suaranya rendah. “Kau lihat di cermin itu?” bisik lirih Pak Hasto.
Bu Hasto menoleh, tapi sosok itu sudah lenyap.
Yang tersisa hanya asap putih tipis dan suara lembut berbisik entah dari mana, dan hanya Pak Hasto yang mendengar...
“Pernikahan Putera ku dengan mempelai wanita harus terlaksana besok....”
Angin kembali berembus pelan, menggoyangkan tirai putih di jendela. Anisa kini duduk di tepi tempat tidur, memandang kedua orang itu dengan senyum menenangkan.
“Jangan khawatir, Bu… Pak…” katanya lembut. “Saya sudah sembuh tidak pusing lagi...”
Bu Hasto yang masih khawatir menatap suami nya yang wajah nya pucat.
“Pa… jadi ke rumah sakit tidak?”
Namun Pak Hasto hanya diam. Tatapan nya kosong ke arah cermin, di mana bayangan samar itu sempat muncul.. dan kini, di permukaan nya, tergores kabut membentuk tulisan halus... Mempelai sudah siap...
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣