Aruna tahu hidupnya tidak lama lagi. Demi suami dan putri kecil mereka, ia memilih sesuatu yang paling menyakitkan... mencari wanita yang akan menggantikannya.
Alana hadir sebagai babysitter tanpa mengetahui rencana besar itu. Adrian salah paham dan menilai Lana sebagai perusak rumah tangga. Namun, pada akhirnya Aruna memaksa keduanya menikah sebelum ia pergi untuk selamanya.
Setelah Aruna tiada, Adrian larut dalam rasa bersalah dan menjauh dari istri keduanya. Lana tetap bertahan, menjalankan amanah Aruna meski hatinya terus terluka. Situasi semakin rumit saat Karina, adik Aruna berusaha merebut Adrian dan menyingkirkan Lana.
Akankah Adrian berani membuka hati untuk Alana, tanpa mengkhianati kenangan bersama Aruna? Atau justru semuanya berakhir dengan luka yang tak tersembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 35.
Sudah dua hari sejak pertengkaran Asmara dan Satria di lorong kampus. Hari ini, Satria resmi mulai magang di perusahaan Adrian, dimana Alima bekerja sebagai Wakil CEO.
Dan sejak melangkah masuk ke lobi megah perusahaan itu, Satria hanya punya satu tujuan. Mendekati Alima… tanpa membuat wanita itu risih.
“Maaf, Nona… ruangannya Wakil CEO ada di mana?”
Resepsionis tersenyum. “Lantai 20.”
Satria menggaruk tengkuk, kikuk. “Terima kasih.”
Di lift, jantungnya berdetak kencang.
Ia bukan ingin mengganggu… ia hanya ingin berada di dekat wanita yang diam-diam sudah ia kagumi sejak SMA.
Saat lift terbuka dan ia melihat Alima sedang berjalan sambil memeriksa tablet, langkah Satria otomatis berhenti.
Dan kini Alima tampak berbeda, sorot mata wanita itu tampak dingin. Ada kebingungan dan luka yang di sembunyikan wanita itu, tetapi tetap terasa.
Satria menelan ludah, tapi dia ingin menyapanya. “Selamat pagi... Bu Alima”
Alima menoleh sebentar, wajahnya datar saat melihat Satria meski dia mengenalnya.
“Pagi, kamu sekarang kerja disini?“
“Iya, baru magang.“
Alima hanya mengangguk singkat, lalu kembali berjalan.
Satria tersenyum kecil. Tidak apa-apa, perlahan saja. Pengejarannya pada Alima tidak akan meledak-ledak, ia ingin mendekati dengan kesabaran.
Alima memang jauh berbeda, ia menyayangi Alana sebagai ibu sambungnya sejak kecil. Tetapi belakangan, pikiran Alima dipenuhi kata-kata Karina.
“Kau terlalu dibutakan oleh Alana.”
“Dia bukan ibumu.”
“Kau diperlakukan baik karena ia ingin harta ayahmu jatuh ke tangannya dan Asmara.”
Kata-kata itu berputar-putar di kepala Alima, kini ia sering mengabaikan pesan Alana. Dan menolak ajakan ayahnya untuk makan siang bersama dengan alasan pekerjaan.
Malam itu, Airlangga datang ke rumah Adrian untuk makan malam bisnis. Sekaligus membicarakan pembatalan pertunangan antara Alima dan Rendi, sebagai perwakilan keluarga.
Airlangga datang mengenakan kemeja hitam sederhana, menyisakan dua kancing atas terbuka. Elegan, berkelas, dan dingin.
Ia memberi hormat sopan pada Adrian dan Alana. “Terima kasih sudah mengundang saya, Tuan Adrian.”
Adrian mengangguk pelan, ekspresinya tenang namun sarat makna. “Kita memang harus membicarakan banyak hal… terutama soal berakhirnya hubungan antara adikmu dan putri sulung saya. Perusahaan kita sudah lama menjalin kerja sama, saya tidak ingin karena sebuah pertunangan yang kandas... mengusik stabilitas bisnis kita.”
Airlangga menanggapinya tanpa sedikit pun mencoba membela sang adik. “Saya paham, saya akan segera membicarakan hal ini dengan orang tua saya.”
Wajah Adrian tampak lega.
Alana tersenyum kecil, penuh kehangatan yang tulus. “Terima kasih, Tuan Airlangga. Keluarga kami menghargai keputusan Anda.”
Airlangga hanya mengangguk, lalu matanya menangkap sosok Asmara yang baru turun dari tangga.
Asmara memakai hoodie kebesaran dan celana pendek, rambut acak-acakan. Ia benar-benar tidak peduli ada tamu, apalagi saat dia tahu yang datang ternyata adalah Airlangga. Tadinya dia ingin menghindar tapi Adrian menyuruh dia tetap ada di rumah saat tamu datang.
Airlangga memandangi gadis itu… terlalu lama.
Asmara baru menyadarinya dan mendelik. “Ngapain ngeliatin?”
Adrian sampai terbatuk kecil karena terkejut, Alana menunduk karena malu dengan sikap putri bungsunya.
Airlangga hanya tersenyum samar. “Tidak, Hanya memastikan kau sudah sehat hari ini.”
Asmara menegang karena tak ada yang tahu kejadian malam itu, sementara Alima menajamkan pandangannya pada dua orang itu.
Saat makan malam dimulai, Alima duduk tepat di sebelah Airlangga. Ia tersenyum lembut. “Saya sudah lama ingin bertemu Anda kembali, Tuan Airlangga. Perusahaan Anda memang luar biasa...”
Airlangga mengangguk sopan. “Tuan Adrian adalah orang yang selalu saya hormati.”
Alima merasa dadanya menghangat, ia merasa Airlangga adalah pria yang baik tidak seperti Rendi. Namun sayangnya… setiap kali Airlangga bicara, mata pria itu selalu beralih ke Asmara.
Bahkan saat Asmara menjatuhkan sendok, Airlangga yang paling cepat bereaksi. “Kau tidak apa-apa?”
Asmara mendesis, “Aku bukan anak kecil.”
“Kadang sikapmu justru seperti anak kecil,” jawab Airlangga santai.
Asmara melemparkan tatapan membunuh, tapi Airlangga mengedipkan mata seolah senang melihat gadis itu kesal padanya.
Asmara tidak bisa menyangkal bahwa pria itu memang menarik… tapi dia gengsi. Ia lebih memilih memasang wajah jutek setiap Airlangga mencoba mendekat.
Tak lama, makan malam diakhiri dengan tenang.
Malam itu, Asmara menerima telepon dari seseorang.
“Nona… kami menemukan identitas wanita hamil yang mengaku mengandung anak Rendi.”
Asmara mengerutkan kening. “Siapa dia?”
Orang itu menjawab pelan. “Perempuan itu bernama Bella, putri dari Karina.”
“Karina, Tante kak Alima?"
Asmara mematikan panggilan, ternyata benar dugaannya, ada sesuatu dibalik semua yang terjadi.