NovelToon NovelToon
Sistem Game Uang Gratis

Sistem Game Uang Gratis

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sistem / Kebangkitan pecundang / Harem / Anak Lelaki/Pria Miskin / Dikelilingi wanita cantik
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Quesi_Nue

Alvan hanyalah seorang anak petani yang baru lulus kuliah.

Hidup sederhana di desa, membantu orang tuanya di sawah sambil mencari arah hidup yang belum pasti.

Satu kalimat dari gurunya dulu selalu terngiang:

“Nak, ibu sarankan kamu lanjut kuliah"

Namun dunia Alvan berubah bukan karena gelar tinggi, melainkan karena satu tindakan kecil, menolong seorang anak yang terjatuh di sawah.

Ding!

[Sistem berhasil terikat]

Sejak hari itu, kehidupannya tak lagi sama.
Setiap kebaikan kecil memberinya “misi,” setiap tindakan membawa “hadiah”
dan setiap bibit yang ia tanam… bisa muncul nyata di hadapannya.

Namun, seiring waktu berjalan, Alvan menyadari sesuatu, bahwa selain hal-hal baik yang ia dapatkan, hal-hal buruk pun perlahan mulai menghampiri dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 - 2008

Dan saat tulisan besar bertuliskan “Apartemen Nura Zai (N.Z) Residence” terpampang jelas di depan mereka, Alvan spontan menarik napas pendek.

“Waduh…” gumamnya pelan, matanya menyipit melihat kerumunan reporter di depan gedung.

Beberapa reporter tampak sudah berdiri berbaris rapi di sisi kiri dan kanan jalan tepat di depan apartemen tinggi menjulang itu.

Para reporter itu berdiri dengan sopan dan tidak berteriak seperti biasa nya, dan juga tidak ada yang mencoba masuk ke dalam tanpa pemberitahuan.

Mereka seperti tetap menjaga jarak, seolah paham benar siapa pemilik nama besar “N.Z” di balik gedung itu.

Sepertinya rumor simpang siur tentang salah satu korban selamat dari tragedi konstruksi dan juga satu - satu nya orang yang selamat tanpa luka sedikit pun di tubuhnya sudah perlahan menyabar di kalangan reporter.

Namun sepertinya belum ada yang tahu siapa sebenarnya korban itu karena mereka seperti berbicara terus di telepon.

Tanpa sadar, Alvan menelan ludah, dia merasakan punggungnya sedikit dingin.

"Waduh, kalau Ayah tau anaknya terlibat dalam tragedi itu, bisa - bisa runyam nanti,” pikirnya cepat.

Tepat saat Alvan kini telah berhenti di depan area parkir, beberapa orang berpakaian hitam keluar dari lobby utama.

Salah satu dari mereka melangkah ke depan, berbicara dengan nada tegas namun terukur.

“Karena jumlah reporter cukup banyak, sekitar tiga puluh orang, kami hanya bisa menerima perwakilan total lima belas orang dari masing-masing stasiun TV yang boleh masuk untuk sesi wawancara, ujarnya lantang.

Suasana langsung sedikit ribut dan tetapj beberapa detik kemudian, para reporter saling menoleh dan mengangguk paham.

Beberapa pewawancara yang membawa mikrofon dan kamera kecil melangkah masuk dengan tertib,

Mereka meninggalkan rekan-rekannya yang tetap menunggu di luar dengan kamera besar dan peralatan liputan lengkap.

Dilain sisi,

Vandi mengernyit, matanya menatap ke arah kerumunan reporter dan petugas keamanan di depan gedung.

“Van, ada apa ini? Kenapa ramai sekali? Apakah ada kejadian kriminal di gedung ini?” tanyanya pelan tapi cemas.

Ia menoleh lagi ke arah penjagaan ketat di depan pintu, ada enam pria berpakaian hitam berdiri tegap, ditambah dua satpam yang tampak sibuk mengatur jalur masuk.

“Bolehkah kita masuk sekarang, atau… sebaiknya telepon dulu?” lanjutnya sambil menatap Alvan.

Alvan menelan ludah pelan, pikirannya cepat menyusun alasan kalau sewaktu-waktu ditanya.

Namun wajahnya tetap tenang, bahkan tampak santai di hadapan ayahnya.

“Telepon aja dulu, Yah,” ucapnya datar tapi mantap.

“Kalau situasinya begini, orang yang nggak pakai jas formal kayak kita biasa nya di sangka reporter yang nyamar. Takutnya malah di usir.”

Vandi mengangguk pelan, mulai mengeluarkan ponselnya, sementara Alvan melepaskan helm yang dia pakai.

Suara dari seberang telepon terdengar ramah, sedikit bergetar karena sinyal.

“Oh, Vandi? Ada apa? Sudah sampai ya dengan anakmu?”

Vandi menjawab cepat, nada suaranya seperti biasanya tidak terdengar gugup sama sekali.

“ Oh iya Wan, kami sudah di depan apartemen N.Z Residence nih, tepatnya di area parkir.

Tapi di depan apartemen ramai sekali, banyak reporter dan sepertinya ada delapan petugas keamanan berjaga.

Apakah kami boleh masuk sekarang?”

Suara di seberang terdengar santai tapi tetap berwibawa.

“Oh, begitu ya. Silakan saja masuk, tak apa-apa, hanya begitu doang."

"Vandi, nanti aku kirimkan foto tanda pengenal ku ke ponselmu tunjukkan saja ke petugas di depan. Atau aku turun aja ke lobby sekalian menjemput kalian di bawah?.” Ucap telepon di seberang dengan nada akrab.

“Eh, nggak usah repot, Wan,” ucap Vandi cepat sambil terkekeh kecil.

“Hehe, Aku ini yang perlu ke kau, masa’ udah di jual murah tanah malah nyusahin kau segala.Nanti aku tunjukkin aja foto tanda pengenal yang kau kirim.”

Suara di seberang terdengar ringan tapi jelas.

“Oh, oke oke. Aku tunggu ya. Naik aja pakai lift, aku di lantai dua puluh, kamar 2008 jangan lupa.” Ucap nya.

“Oke, siap, Wan,” ucap Vandi menutup telepon dengan nada akrab.

Setelah menurunkan ponselnya, ia menarik napas kecil sambil tersenyum.

Teman lamanya itu bernama Wanca, terkenal dari keluarga besar tetapi mereka tak tahu dari keluarga mana karena selalu dirahasiakan nya.

“Van,” panggil Vandi sembari menoleh sedikit ke belakang anaknya,

“Kata Pak Wanca, kita langsung naik aja, Beliau udah kirim tanda pengenal, nanti tunjukin aja ke petugas.” Ucap Vandi.

Alvan menatap sebentar, lalu mengangguk pelan.

“Siap, Yah.”

Dup… dup…

Langkah sepatu mereka berdua terdengar teratur di lantai marmer, mendekati pintu masuk apartemen.

Begitu tiba di depan, dua pria berjas hitam langsung melangkah ke depan, menghalangi jalan.

“Sore, Pak. Mohon tunjukkan tanda pengenal Anda,” ucap salah satu dari mereka dengan nada sopan tapi tegas.

Vandi tak panik. Ia segera mengangkat ponselnya dan menunjukkan layar yang menampilkan foto identitas dari Wanca Zai.

“Ini, tanda pengenal dari orang yang akan saya temui,” ucapnya tenang.

Petugas itu menatap layar sejenak, lalu mengangguk kecil.

“Baik, silakan masuk, Pak. Lift tamu ada di sisi kanan lobi dan di sisi tengah adalah lift penghuni.”

“Terima kasih,” ucap Vandi singkat sebelum melangkah masuk ke lobi apartemen.

Ia sempat menoleh ke kanan-kiri, mengamati interior mewah yang membuatnya sedikit kikuk, tapi ia berusaha tetap tenang.

Mereka berjalan menuju lift. Begitu pintu terbuka dan keduanya masuk, Vandi menatap panel tombol penuh angka dengan wajah bingung.

“Aduh… aku nggak ngerti beginian,” pikirnya sambil menggaruk kepala.

Ia menoleh ke anaknya.

“Van, tekan aja, Van. Ayah nggak paham ini cara milihnya gimana,” ucapnya jujur.

Alvan hanya mengangguk, lalu bergeser ke depan menggantikan posisi ayahnya.

“Nomor berapa, Yah?” tanyanya sambil menatap deretan tombol.

“Lantai dua puluh, Nak,” jawab Vandi santai.

Alvan sempat menatap panel itu, lalu bergumam pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

“Dua puluh…? Apakah teman Ayah… orang yang sama?”

Pintu lift menutup perlahan, menyisakan pantulan wajah Alvan di dinding logam yang berkilau.

Ting!

Pintu lift terbuka di lantai dua puluh. Udara sejuk dari koridor menyambut mereka begitu melangkah keluar.

Alvan berjalan lebih dulu keluar, menatap beberapa nomor di dinding sebelah kiri dan sebelah kanan ada meja resepsionis seperti lobby lantai 1 tetapi sedikit kecil.

“Berapa, Yah, nomor kamarnya?” tanyanya sambil melangkah pelan.

“Kamar 2008,” jawab Vandi.

Alvan sempat berhenti sepersekian detik, menatap kosong ke depan.

“Waduh… teman Ayah sepertinya ayahnya Nadia. Semoga aja nggak ngasih tahu apa-apa,” pikirnya cepat sambil menghela napas kecil.

Ia lalu berbalik sedikit ke arah ayahnya.

“Arah kiri, Yah. 2008 di ujung sana,” ucap Alvan.

Vandi mengangguk, masih tampak bingung bagaimana anaknya bisa tahu arah dengan begitu yakin, tapi ia memilih tak banyak bertanya dan mengikuti dari belakang.

Dup… dup…

Langkah mereka bergema pelan di koridor sunyi hingga akhirnya berhenti di depan pintu bernomor 2008.

Pintu itu tampak elegan, dengan panel pemindai wajah yang menyala biru.

Vandi sedikit menunduk, memperhatikan ketika sistem keamanan itu memindai wajahnya.

Beep… beep… beep!

Tiga kali tanda silang merah muncul di layar kecil di samping pintu, lalu muncul tempat tekan sandi PIN.

Vandi yang melihat menghela napas.

“Waduh, ini gimana, Van… kayaknya mesti aku telepon lagi deh—”

Belum sempat ia menekan tombol panggilan, terdengar bunyi klik pelan.

Pintu otomatis terbuka begitu saja.

Vandi menoleh cepat dan mendapati Alvan

dengan tenang, mendorong daun pintu, seperti seseorang yang sudah sering melakukannya.

Vandi terpaku.

“Haah?! Kok… bisa kamu buka?”

1
Syahrian
👍😍
black
lanjutkan thor, jangan berhenti di tengah jalan, ceritanya menarik,
ALAN: iya bener tuh Thor 👍
total 2 replies
ALAN
lanjut Thor 💪😍
ALAN
hadir Thor 😍👍
Aryanti endah
ET buset, Mak bapak adek JD transparan 🤣🤣🤣🤣
ALAN: iya, alvan tak ada malu - malu nya dengan mertua 🤣
total 1 replies
Syahrian
👍💪😍
ALAN
Bagus, lumayan
ALAN
lanjut Thor
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Lala Kusumah
lanjuuuuuuuuut, semangat sehat ya 💪💪
Lala Kusumah
sepertinya bakal seru nih, lanjutkan 👍👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!