Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Dasha menelpon pihak kafetaria untuk meminta agar makanannya dikirim ke lantai atas.
Begitu lift terbuka, ia melangkah keluar dan berjalan menuju ruang kerja Issa. Namun, pintunya terkunci. Dasha mengernyit.
“Masih di dalam, ya, si wanita itu?” gumamnya pelan.
Akhirnya ia memilih duduk di area lounge di depan ruangan itu, menunggu sampai mereka selesai. Tak lama kemudian, makanan yang ia pesan tiba, tapi pintu masih saja tertutup.
“Apa mereka sedang berdoa di dalam?” ujarnya kesal, sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di lutut.
Karena bosan dan malas turun lagi, Dasha membuka media sosial. Di notifikasi, muncul permintaan pertemanan dari Colin.
Ia membuka profil pria itu, menelusuri beberapa foto, lalu tertegun. Colin memang menarik perhatiannya. Baru saja ia hendak menggulir lebih jauh, terdengar suara kunci pintu diputar.
Pintu terbuka. Seorang wanita elegan yang belum pernah ia lihat keluar dari ruangan dan berjalan cepat menuju lift. Saat melintas di depan Dasha, wanita itu sempat berhenti sejenak, menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, lalu berlalu tanpa sepatah kata.
“Apa masalahnya orang itu?” desis Dasha. “Sudahlah, mungkin hidupnya memang berat.”
Ia berdiri, membawa makanan masuk ke ruang kerja Issa.
“Maaf, makan siangmu agak terlambat. Sepertinya kamu sibuk tadi. Kalau boleh tahu, siapa wanita tadi?” tanyanya hati-hati sambil meletakkan bungkusan makanan di meja.
“Tak penting. Dan Dasha, lain kali jangan biarkan orang masuk tanpa janji,” jawab Issa datar.
Dasha memutar bola mata. “Aku bahkan tak sempat menahannya. Dia langsung menerobos masuk. Maaf, salahku.” Ia mengembuskan napas kesal, lalu duduk dan menunduk ke arah tumpukan dokumen.
Setelah itu, keduanya tenggelam dalam pekerjaan masing-masing tanpa banyak bicara.
Sekitar pukul satu siang, pandangan Dasha tertuju pada makanan di meja Issa yang masih utuh. Antara kesal dan iba, ia menghela napas.
“Meski kamu tak berselera, tetap makanlah. Bersyukurlah masih punya makanan di depanmu,” ujarnya tanpa menoleh. Dari sudut mata, ia melihat Issa akhirnya mengambil makanan itu dan mulai makan.
“Nah, bisa juga ternyata. Tapi harus disuruh dulu,” gumamnya pelan.
***
Sore harinya, pekerjaan selesai. Mereka turun bersama menggunakan lift. Dasha memilih diam sepanjang perjalanan, masih kesal dengan sikap Issa tadi.
Begitu sampai di lobi, seseorang memanggil namanya. Dasha menoleh. Colin berdiri di sana.
“Hey! Ternyata kamu,” sapanya ramah.
“Ya. Mau pulang juga? Oh ya, terima kasih sudah menerima permintaan pertemanan tadi,” jawab Dasha tersenyum.
“Iya, no problem. Lucu juga ya, ternyata--"
Kalimatnya terpotong ketika Issa menyela dingin, “Ya, dia memang mau pulang bersamaku. Maaf, anak-anak kami sedang menunggu di rumah.”
Ia menatap Colin tajam sambil menggenggam pergelangan tangan Dasha dan menariknya menjauh.
Begitu tiba di area parkir, Dasha menepis tangannya “Issa, kamu keterlaluan! Jangan bersikap kasar seperti itu. Malu di depan orang lain! Tolong belajar bersikap!”
Ia masuk ke mobil dan menutup pintu agak keras. Tak lama kemudian Issa ikut masuk, masih diam.
“Dengar--" katanya, tapi Dasha langsung memotong,
“Diam, Jalan saja. Anak-anak menunggu.”
Issa menarik napas panjang. “Aku minta maaf. Aku bersikap bodoh tadi.”
“Syukurlah kamu sadar,” sahut Dasha ketus.
“Aku hanya... cemburu. Aku ingat dia, pria yang sempat ngopi denganmu. Maaf, aku terbawa perasaan.”
“Cemburu? Ha! Jangan bercanda, Issa.”
“Aku serius, Dasha.”
“Serius? Kalau begitu kenapa tadi kamu begitu ramah dengan wanita cantik itu di kantormu?”
Issa menatap jalan, suaranya lirih. “Dia teman masa kecilku. Baru kembali dari Italia. Dan aku tidak menikmati pertemuan itu seperti yang kamu pikirkan.”
“Sudahlah. Jalan saja,” ucap Dasha akhirnya, pasrah.
Issa menurut. Mereka menuju Masion Keluarga, anak-anak menunggu disana.
**
“Oh, kalian sudah datang,” sambut Maren ramah. “Anak-anak di kamar mereka. Lea kelelahan setelah jalan-jalan dengan Idie, dan Leo tertidur habis bermain dengan Dylan.”
“Terima kasih,” ujar Dasha sopan.
“Sekalian saja makan malam di sini. Mama akan suruh pelayan menyiapkan meja,” kata Maren, lalu pergi sebelum Dasha sempat menolak.
Dasha dan Issa naik ke kamar anak-anak.
“Sayang…” panggilnya lembut pada Lea yang masih terlelap.
“Hmn, Mima?” balas Lea setengah sadar, lalu kembali memejamkan mata.
“Bangun, Putri kecil,” bisik Dasha sambil menggelitik hidungnya. Di sisi lain, terdengar suara Issa membangunkan Leo.
“Bangun, Nak,” katanya lembut. Ajaibnya, Leo langsung duduk dan menguap. Dasha sempat berpikir, andai Lea semudah itu dibangunkan…
“Sayang, ayo turun. Kita akan makan malam bersama. Papa dan semua sudah menunggu,” bujuknya.
“Princess, ayo, kakakmu sudah mencuci muka tuh,” tambah Issa sambil menggendong Lea.
Dasha membantu Leo di kamar mandi, tapi bocah itu menolak.
“Aku bisa sendiri, Mima. Aku sudah besar,” katanya bangga sambil menutup pintu.
Dasha terkekeh. Benar-benar meniru ayahnya.
Ia berbalik dan melihat Issa membawa Lea keluar kamar. Pemandangan itu membuat hatinya hangat.