Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Tatapan Yang Tak Sengaja Terperangkap
Pintu ruang meeting di lantai duapuluh tujuh itu terbuka perlahan. Udara sejuk dari koridor masuk bersamaan dengan langkah dua pria berpakaian formal — diikuti satu sosok lain yang membawa tablet hitam di tangannya.
Bhumi Jayendra berjalan paling depan. Jas abu tua membingkai bahunya sempurna, kemeja putihnya terpasang rapi, wajahnya tenang tetapi tegas. Setiap langkahnya membawa aura yang membuat ruangan otomatis terasa lebih hening. Di sebelahnya, Marvin Nalendra tampak elegan dalam kemeja biru muda dan jas hitam charcoal, ekspresi wajahnya netral seperti biasa — nyaris tak tergoyah oleh apa pun di sekitarnya.
Dan sedikit di belakang mereka, Arsen Pramudya — sekretaris Bhumi — berjalan dengan postur tegak, memegang tab kecil di tangannya. Wajahnya ramah, senyumnya sopan tetapi hidup, kontras dengan dua pria di depannya yang auranya lebih dingin.
Ketiganya berhenti di sisi meja panjang marmer abu. Bulan dan Liora yang sudah menunggu segera berdiri sopan.
Liora cepat menarik napas, lalu berbisik lirih tanpa sadar, “Ya Tuhan, beneran dia…”
Begitu pintu tertutup, aroma teh melati dan parfum kayu dari jas mereka seolah bercampur di udara.
Liora sempat menarik napas pelan, lalu berbisik cepat ke arah Bulan, “Bul. Bul! Itu—itu cowok yang kemarin!”
Bulan, yang sedang berdiri di sisi meja sambil merapikan pointer presentasi, hanya menoleh sekilas tanpa benar-benar melihat. “Cowok yang mana?”
“Yang gue tabrakan! Yang linen Italia! Sumpah itu dia! Astaga, dunia sekecil ini apa bagaimana sih—”
Namun kata-kata Liora terhenti sendiri ketika Bulan menatap ke depan.
Karena di saat yang sama, Bhumi juga mendongak. Dan untuk sepersekian detik — dunia seolah menahan napas.
Mata mereka bertemu. Tenang, tetapi dalam. Tatapan Bhumi penuh fokus tetapi samar-samar ada sesuatu yang tak bisa dia kontrol — seolah segala ketertarikan yang dia coba sembunyikan semalam di ruang kantornya kini tiba-tiba menabrak balik.
Sementara Bulan... menatap dengan profesional, sopan, dan netral. Tidak ada yang aneh di wajahnya, tetapi ada keheningan tak terjelaskan yang menggantung di udara.
Arsen melangkah setengah langkah ke depan, suaranya terdengar jelas tetapi tetap lembut,
“Selamat pagi, Ibu-ibu sekalian. Perkenalkan, ini Bapak Bhumi Jayendra, CEO dari Arjuno grup, dan di sebelah beliau ada Bapak Marvin Nalendra, CEO Nalendra Property sekaligus rekan bisnis utama kami.”
Bulan dan Liora menunduk sopan hampir bersamaan. “Selamat pagi, Pak Bhumi, Pak Marvin. Terima kasih sudah menerima kami hari ini.”
Bulan menatap ke arah Bhumi dengan pandangan profesional — tetapi detik berikutnya, ketika mata mereka bertemu, dunia seolah menahan napas sepersekian detik.
Tatapan Bhumi tajam tetapi tidak menusuk — ada sesuatu yang dalam dan diam di balik dinginnya sorot itu. Dan Bulan, dengan keanggunan khasnya, hanya membalas dengan senyum tipis dan mata yang tenang.
Bhumi mengangguk kecil. “Selamat pagi. Silakan.”
Arsen kemudian melanjutkan perkenalan singkat, “Hari ini kita akan membahas kerja sama digital sistem hospitality yang dikembangkan oleh PT Global Teknologi untuk diterapkan di jaringan hotel Arjuno grup.”
Liora dengan cepat berdiri di sisi lain meja, mengambil alih bagian awal, suaranya tegas tetapi tetap berenergi. “Perkenalkan, saya Liora Larasmita, CEO dari PT Global Teknologi, dan ini rekan saya, COO kami, Rembulan Adreyna. Kami ingin memperkenalkan sistem digital hospitality yang kami kembangkan khusus untuk kebutuhan Arjuno grup.”
Arsen kemudian menatap sekilas ke arah Marvin yang duduk di samping Bhumi. “Oh iya, Bapak Marvin juga tertarik untuk mempelajari lebih lanjut sistem ini, karena berpotensi diterapkan di properti dan residensial milik Nalendra grup.”
Marvin hanya mengangguk kecil. “Benar. Sistemnya cukup menjanjikan, saya ingin lihat bagaimana integrasinya bisa berfungsi lintas sektor.” Suaranya dalam tetapi datar — kalem, terukur, dan jelas.
Liora dengan cepat merespons, “Senang mendengarnya, Pak. Kami yakin sistem kami bisa diadaptasi juga untuk lini properti, dengan sedikit modifikasi pada interface dan analisis data pengunjung.”
Arsen mencatat sesuatu di tab-nya, lalu menatap mereka dengan senyum profesional. “Kalau begitu, kami serahkan waktunya kepada tim PT Global Teknologi.” dia menunduk hormat, lalu mundur beberapa langkah ke belakang, berdiri di sisi ruangan, siap membantu kapan pun dibutuhkan.
Bulan maju ke depan, pointer di tangannya menyala pelan. Layar besar menampilkan tampilan biru-emas bertuliskan:
Digital Hospitality Integration System (DHIS)
By PT Global Teknologi
Ruangan kembali hening, hanya terdengar dengung lembut pendingin ruangan dan suara pelan dari sistem proyektor. Bulan menatap layar sejenak, lalu mulai berbicara dengan nada stabil dan tenang — seperti seseorang yang tahu persis apa yang sedang dia bicarakan.
Bulan melangkah ke depan layar dengan langkah pasti, jemarinya menelusuri pointer, matanya fokus penuh pada layar, bukan pada pria yang duduk di depannya. Namun, tanpa dia sadari, tatapan Bhumi tak pernah lepas darinya sejak awal.
“Program ini,” ucap Bulan lembut tetapi tegas, “kami rancang untuk menciptakan pengalaman tamu yang lebih personal dan efisien.
DHIS adalah sistem terintegrasi yang menghubungkan semua elemen hotel: reservasi, housekeeping, restoran, bahkan guest experience feedback — semuanya tersimpan dalam satu basis data real-time.”
Slide berganti menampilkan diagram interaktif.
“Program ini kami rancang untuk menyatukan seluruh sistem hotel — mulai dari reservasi, housekeeping, restoran, hingga guest feedback — dalam satu ekosistem digital yang efisien.”
Tangannya bergerak halus di atas pointer, slide berganti menampilkan diagram interaktif. “Setiap tamu yang melakukan reservasi akan langsung mendapatkan QR Check-in Code. Dari kode ini, sistem akan membaca preferensi tamu berdasarkan data historis, seperti suhu kamar, aroma ruangan, hingga minuman favorit di bar hotel.”
Bhumi, yang biasanya jarang menunjukkan ekspresi, memperhatikan dengan intens. Ada sesuatu dalam cara Bulan menjelaskan — efisien tetapi elegan, rasional tetapi lembut. Setiap kalimatnya terdengar seperti harmoni antara kecerdasan dan ketenangan.
Marvin sempat melirik ke arah Bhumi, lalu ke layar, lalu ke arah dua perempuan di depan. tetapi ketika matanya tanpa sengaja berhenti pada Liora, yang sedang menjelaskan bagian marketing expansion plan berikutnya —
dia merasakan deja vu singkat.
Liora bicara penuh semangat, tangannya bergerak kecil tetapi ekspresif. “Selain efisiensi data, kami juga menyiapkan fitur Smart Recommendation AI untuk promosi internal. Jadi, sistem ini bisa memprediksi perilaku pelanggan, memilihkan promo yang relevan, dan otomatis mengirim notifikasi personal.
Tujuannya sederhana — meningkatkan loyalitas tamu tanpa terasa seperti iklan.”
Marvin tetap diam, matanya menatap lurus, tetapi sorotnya bergeser pelan ke wajah Liora. dia tahu itu perempuan yang semalam menabraknya. Masih suara yang sama, gaya bicara cepat dan penuh energi — tetapi kali ini dia berbeda: terarah, profesional, bahkan menawan dengan caranya sendiri.
Marvin menahan senyum tipis, hampir tak terlihat. Namun Liora — sibuk bicara sambil menatap layar — sama sekali tidak sadar kalau pria yang membuatnya panik semalam kini duduk hanya beberapa meter di depannya.
Sementara Bhumi memperhatikan dengan diam. Wajahnya tidak menunjukkan banyak reaksi, tetapi tatapan matanya terlalu fokus untuk disebut biasa. dia bukan sekadar mendengar — dia memperhatikan.
Gerak tangan Bulan, nada suaranya yang tenang, cara dia menatap layar lalu kembali ke audiensi tanpa gugup.
Untuk seseorang seperti Bhumi yang terbiasa dengan profesionalisme dingin, Bulan justru memancarkan ketenangan yang… menenangkan. Sesuatu yang jarang dia temui di dunia bisnis.
Di sebelahnya, Marvin mencondongkan tubuh sedikit, memperhatikan data yang ditampilkan. “Ada integrasi dengan sistem property management software?” tanyanya pelan.
Bulan menoleh sekilas, menjawab dengan percaya diri. “Ada, Pak. Kami sudah menyiapkan API khusus untuk koneksi ke PMS apabila Arjuno Grup ingin terkoneksi dengan Nalendra Property, dengan keamanan data terenkripsi end-to-end.”
Marvin mengangguk pelan. “Baik. Sistemnya terdengar stabil.”
tetapi di sela-sela kalimat formal itu, tatapan matanya sempat bergeser singkat ke arah Liora — yang sedang mengatur slide berikutnya dengan ekspresi gugup campur kagum. dia tak berkata apa-apa, hanya satu lirikan kecil, sebelum kembali datar menatap layar.
Liora? Dia gak sadar.
Masih sibuk menahan degup jantung dan memastikan suaranya gak bergetar waktu lanjut bicara,
“Selain itu, tadi kami juga sudah memberi tahu bahwa kami menambahkan fitur Smart Recommendation AI, selain bisa memprediksi perilaku pelanggan, memilihkan promo yang relevan, dan otomatis mengirim notifikasi personal, system ini juga bisa membaca perilaku tamu dan menyesuaikan promosi internal atau personal — misalnya untuk restoran, spa, atau event hotel.”
Bhumi bersandar ringan di kursinya. Wajahnya tetap datar, tetapi jemarinya mengetuk halus sisi meja, ritmis. Tatapan matanya kembali ke Bulan — kali ini lebih lama. Ada rasa ingin tahu yang tidak semata-mata profesional. Bagaimana seseorang bisa terlihat begitu kalem, bahkan di hadapan dua CEO besar sekaligus?
Bulan tetap dalam mode kerja. Tatapannya fokus, nadanya stabil, tidak terseret atmosfer di sekeliling.
Namun, saat satu momen singkat mereka kembali saling menatap — ada sesuatu yang diam-diam bergeser. Senyap, tetapi kuat.
Seperti gelombang kecil yang nyaris tak terdengar, tetapi terasa di dada masing-masing
Bulan melanjutkan bagian akhir presentasi. “Dengan integrasi penuh DHIS, Arjuno grup dapat mengelola seluruh jaringan hotel dari satu dashboard utama. Semua data disinkronkan secara otomatis antar cabang, termasuk laporan keuangan, okupansi kamar, dan aktivitas tamu.”
dia menatap layar, lalu perlahan beralih ke meja. Tatapan matanya menelusuri satu per satu wajah hadirin, sampai akhirnya — berhenti pada Bhumi.
Hanya sekejap, tetapi cukup untuk membuat waktu terasa berhenti. Tatapan itu murni profesional, tetapi di mata Bhumi, ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar presentasi bisnis. Senyap sejenak.
dia bahkan tak sadar jarinya mengetuk pelan permukaan meja, ritme lambat yang tak biasa darinya.
“Presentasi yang sangat baik,” suara Marvin memecah diam.
Suaranya datar tetapi berkelas. “Sistemnya matang. Integrasinya bisa menekan error rate internal sampai 30%.”
Liora tersenyum lebar. “Persis. Kami udah uji coba di dua hotel independen di Jakarta. Hasilnya, revenue naik 18% dalam tiga bulan.”
Bhumi akhirnya bicara, suaranya rendah tetapi stabil. “Menarik. Saya ingin lihat simulasi real-time-nya.”
Bulan menoleh. “Tentu. Kami bawa sistem demo-nya.”
dia melangkah ke meja, meletakkan tablet di depan Bhumi. Saat jemarinya hampir menyentuh meja yang sama, udara di antara mereka terasa berubah. Hening, tetapi penuh tegangan halus.
Bhumi menatap layar, tetapi matanya sekali lagi melirik ke arah Bulan. Ada sesuatu di cara perempuan itu berdiri — tenang, tegap, tetapi memancarkan kekuatan yang tak biasa. Dia bukan tipe orang yang mudah terkesan, tetapi kali ini...
sesuatu dalam dirinya terasa goyah tanpa sebab.
Sementara itu, di sisi lain meja…
Liora dengan susah payah menjaga fokus karena menyadari siapa yang duduk di seberang. Cowok berjas hitam dengan wajah too perfect to be real.
Marvin — tanpa ekspresi — masih menatap layar presentasi. Sampai di satu titik, ketika Liora menunduk sedikit, rambut bob-nya jatuh menutupi wajah, dia menoleh sekilas. Hanya sepersekian detik. Lalu kembali menatap tablet seperti tidak terjadi apa-apa.
Presentasi berakhir dengan tepuk tangan ringan dari tim Arjuno Grup.
Bulan menunduk sopan. “Terima kasih atas waktunya.”
Bhumi akhirnya bersuara, tenang dan dalam. “Terima kasih, Ibu Rembulan. Presentasi Anda menarik. Sistemnya… tampak lebih matang dari yang saya harapkan.”
Kalimat itu terdengar biasa. tetapi caranya mengucapkan nama Rembulan — pelan, penuh jeda, dan sedikit terlalu lembut untuk sekadar formalitas — membuat udara di ruangan terasa berbeda sesaat.
Bulan tersenyum sopan, masih menjaga wibawanya. Namun, di dalam dirinya… ada sesuatu yang bergetar samar.
Bhumi menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya berdiri. “Baiklah, kita lanjutkan pembahasan teknisnya minggu depan.”
dia mengulurkan tangan terlebih dahulu — gerakannya tenang, pasti, tetapi entah mengapa terasa lebih personal dari sekadar formalitas bisnis. Bulan menyambut dengan lembut, genggamannya ringan tetapi penuh keyakinan. Untuk sesaat, ada jeda hening di antara mereka,
sentuhan itu singkat, tetapi cukup lama untuk membuat udara seolah berhenti bergerak.
“Terima kasih, Pak Bhumi.”
“Sama-sama, Ibu Rembulan.” Nada suaranya rendah dan dalam, menyebut nama itu seolah takut merusaknya.
Liora, yang berdiri di sebelah Bulan, buru-buru ikut menyalami Marvin.
“Tadi presentasinya lumayan bikin tegang ya, Pak,” ucapnya cepat sambil tersenyum kaku.
Marvin menatapnya datar, suaranya tenang. “Biasa saja.”
“Biasa saja?” Liora berkedip dua kali. “Gue—eh, maksud saya—kami udah deg-degan setengah mati, Pak.”
“Kalau begitu berarti latihan presentasinya efektif,” jawab Marvin, tanpa ekspresi.
Bulan sempat menahan tawa kecil, sedangkan Bhumi hanya melirik ke arah Marvin dengan pandangan ‘jangan diladeni tetapi juga lucu’.
Sementara Liora berdiri canggung, masih belum tahu apakah dia baru dipuji atau dibekukan secara verbal.
Setelah semua salam dan basa-basi penutup, Arsen kembali masuk membawa Tab kecil. “Pak Bhumi, Pak Marvin, restoran sudah menyiapkan meja untuk makan siang. Apakah langsung ke sana?”
Bhumi melirik jam tangannya, lalu berkata pelan, “Ya. Ajak juga tim PT Global makan bersama. Kita lanjutkan pembicaraan ringan di sana.”
Bulan menoleh spontan. “Oh, tidak perlu repot, Pak. Kami tidak ingin mengganggu waktu—”
“Tidak apa-apa,” potong Bhumi dengan nada kalem tetapi tegas. “Pertemuan yang baik sebaiknya ditutup dengan makan yang baik.”
Liora menatap Bulan dengan mata membulat lebar — ‘itu ajakan makan bersama dari dua CEO besar, Bul!’
Bulan menatap balik, mencoba tetap tenang.
“Baiklah, kalau begitu,” jawabnya sopan.
**
Restoran di lantai bawah Arjuno Grand Hotel tampak seperti potongan keindahan yang dirancang dengan cermat. Langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung kristal berwarna keemasan yang memancarkan cahaya hangat, jatuh lembut di atas meja-meja marmer putih yang tertata rapi. Dindingnya dilapisi panel kayu dengan ukiran halus, dipadukan dengan aroma lembut dari bunga mawar putih segar yang diletakkan di setiap meja.
Pelayan-pelayan berpakaian rapi dengan rompi hitam bergerak tanpa suara, menyajikan hidangan dengan presisi yang nyaris seperti tarian terlatih. Lantunan musik jazz klasik mengalun pelan dari pengeras suara tersembunyi, cukup terdengar untuk menenangkan, tetapi tidak sampai mengganggu percakapan.
Jendela-jendela kaca tinggi di sisi ruangan membingkai pemandangan taman kecil di luar — taman dengan jalan setapak batu dan deretan simak lavender yang tertata simetris, di tengahnya berdiri air mancur kecil yang memantulkan cahaya matahari siang, menciptakan pantulan berkilau di permukaan lantai restoran. Beberapa burung kecil sesekali terbang melintas, menambah kesan tenang namun hidup di antara keanggunan ruangan itu.
Meja mereka terletak di sudut dekat jendela, cukup privat tanpa benar-benar terisolasi. Pemandangan air mancur di depan terasa seperti lukisan yang bergerak perlahan, menjadi latar yang sempurna bagi percakapan serius yang sebentar lagi akan berubah jadi sesuatu yang… jauh lebih personal dari sekadar urusan bisnis.
Pelayan membukakan kursi dengan sikap sopan. Bhumi duduk lebih dahulu, mengambil posisi di sisi kanan meja — tempat dengan pandangan langsung ke taman kaca. Bulan duduk di sebelah kanannya, gerakannya anggun, tanpa ragu tetapi juga tanpa berlebihan, seperti seseorang yang terbiasa menghadapi situasi penting dengan kepala dingin.
Di sebelah kiri Bhumi, Marvin duduk dengan tenang, tablet kecilnya sudah tertutup rapi di sisi piring,
sementara Liora—tentu saja—mengambil tempat di sebelah kiri Marvin dengan semangat yang terlalu besar untuk ukuran pertemuan bisnis.
Pelayan datang membawakan buku menu berwarna hitam keemasan. “Silakan, Bapak, Ibu. Chef kami menyiapkan menu spesial lunch set untuk tamu Arjuno.”
Bhumi hanya mengangguk pelan. “Terima kasih.”
Matanya sekilas menatap daftar menu, lalu berpindah lagi… pada sosok di depannya.
Rembulan Adreyna.
Perempuan dengan sikap tenang itu kini tengah membuka menu dengan jemari ramping, alisnya sedikit berkerut—tanda dia benar-benar membaca, bukan sekadar pura-pura sopan.
Entah mengapa, pemandangan sesederhana itu terasa menarik dimatanya.
“Wah, pilihannya banyak sangat,” gumam Liora sambil membalik-balik halaman.
“Bul, ini liat deh. Ada grilled salmon with truffle cream sauce — kayaknya enak sangat.”
Bulan tersenyum kecil. “Ambil saja, Li. Lo gak usah nunggu gue, nanti malah kelaparan.”
“Ya kali gue makan sendirian di depan dua CEO. Gue masih punya harga diri, Bul.”
Bhumi menatap interaksi mereka sekilas — caranya bicara, cara Bulan tersenyum tanpa benar-benar tertawa. Ada ketenangan yang tulus di sana.
Sementara Liora… energinya seperti warna kontras di antara dua dunia: dirinya dan Marvin.
Pelayan datang kembali mencatat pesanan. Bhumi memesan sirloin steak medium rare, Marvin memilih pan-seared duck breast with honey glaze, Bulan memilih grilled barramundi with citrus butter sauce,
dan Liora tentu saja—dengan suara percaya diri—memesan “apa saja yang keliatannya mahal tetapi gak nyusahin chef.”
Pelayan hanya tersenyum sopan, mencatat tanpa komentar.
“Tempatnya luar biasa ya,” kata Liora sambil menatap sekeliling dan memecah keheningan. “Bahkan sendoknya kayaknya bisa ngaca.”
Marvin tanpa ekspresi menjawab, “Itu fungsi logam, bukan keajaiban.”
Liora menatapnya tak percaya. “Pak, itu bukan candaan, kan?”
“Tidak.”
“Ya ampun,” Liora berbisik pelan kearah Bulan. “Ni orang bukan kulkas dua belas pintu lagi, tetapi lemari es laboratorium.”
Bulan yang duduk di sebelahnya menunduk, berusaha menyembunyikan senyum geli di balik gelas airnya.
Sementara di sisi kanan meja, Bhumi mulai percakapan dengan formal, lebih sunyi, tetapi punya kedalaman yang aneh.
“Jadi,” ujar Bhumi dengan nada rendah, “sistem digital Anda… dikembangkan sepenuhnya oleh internal tim?”
“Iya, Pak,” jawab Bulan, lembut tetapi pasti. “Kami punya tim riset yang bekerja sama dengan analis data untuk menyesuaikan algoritma rekomendasi berdasarkan kebiasaan tamu.”
“Termasuk behavioral prediction?”
“Termasuk,” jawab Bulan sambil menatapnya. “Kami ingin sistem ini bukan hanya memantau, tetapi memahami.”
Bhumi diam sesaat. Memahami. Kata itu terasa familier, tetapi jadi lebih bermakna saat keluar dari mulut perempuan ini.
Di sisi lain meja… Liora sudah dalam mode “berjuang sendirian melawan es abadi.”
“Pak Marvin, kalau boleh tahu, Bapak kerja bersama Pak Bhumi udah lama?”
“Cukup lama.”
“Lama itu… berapa tahun?”
“Banyak.”
“Banyak itu—”
“Cukup banyak.”
Liora menatapnya bengong. “Pak, ini saya wawancara orang atau main tebak kata?”
Marvin menatap Liora, santai. “Anda yang mulai.”
Bhumi menoleh sebentar, menahan tawa. Bulan menatap Liora dengan tatapan tolong sabar ini ujian.
*
Pelayan datang membawa hidangan utama. sirloin steak medium rare, pan-seared duck breast with honey glaze, dan grilled barramundi with citrus butter sauce disajikan di atas meja dengan presisi sempurna. Bulan mengucapkan terima kasih pelan, matanya sekilas menangkap tatapan Bhumi di depannya — hangat, tetapi dalam. dia pura-pura tak menyadari, fokus memotong daging di piringnya. tetapi entah mengapa, setiap kali dia mengangkat pandangan, Bhumi sudah lebih dahulu menatap.
Tatapan itu bukan tajam — melainkan tenang, penuh perhatian, tetapi terlalu intens untuk disebut sekadar sopan.
Bulan mencoba mengalihkan diri dengan bertanya, “Jadi, Pak Bhumi, apakah Arjuno grup sudah memiliki sistem internal sebelumnya?”
Bhumi mengangguk perlahan, menyandarkan diri ke kursi. “Sudah. tetapi belum cukup efisien. Kami butuh sistem yang tidak hanya berfungsi, tetapi juga mengerti perilaku tamu.” Nada suaranya dalam dan stabil, tetapi di akhir kalimat ada penekanan halus di kata “mengerti” —
dan entah mengapa, Bulan merasa kalimat itu terdengar lebih personal daripada konteks bisnis.
“Kalau begitu, semoga sistem kami bisa menjawab kebutuhan itu,” jawab Bulan, tetap tenang.
Bhumi hanya tersenyum kecil. “Saya tidak ragu.”
Di sisi lain meja, Liora masih mencoba membuka obrolan dengan Marvin. “Jadi, Pak Marvin, proyek property di Gresik itu... yang lagi viral itu punya Bapak ya?”
Marvin menatapnya datar. “Mungkin.”
“Mungkin?”
“Saya punya lebih dari satu.”
“Wow... sombong tetapi jujur,” gumam Liora setengah kagum setengah sebal.
Bhumi menoleh sekilas, menatap Marvin dengan tatapan ‘tolong bersikap sedikit manusia’. Marvin cuma mengangkat alis datar dan meminum airnya.
Liora akhirnya menyerah, lalu berbisik ke Bulan, “Gue baru ngerti mengapa kulkas punya pintu banyak — biar gak keluar hawa dinginnya.”
Bulan menutup mulutnya, menahan tawa. tetapi di sisi lain meja, Bhumi mendengarnya cukup jelas —
dan tawa lembut, hampir tak terdengar, lolos dari bibirnya untuk pertama kali hari itu.
Marvin menoleh pelan, tampak setengah bingung. “Apa yang lucu?”
Bhumi hanya menggeleng ringan. “Bukan apa-apa.”
Makan siang itu berjalan dalam ritme yang aneh tetapi menyenangkan. Ada kesunyian elegan di sisi Bhumi dan Bulan — dan kekacauan lucu di sisi Liora dan Marvin.
Namun di sela-sela percakapan ringan itu, tatapan Bhumi tak pernah benar-benar lepas dari Bulan.
Setiap kali perempuan itu bicara, matanya mengikuti, setiap kali dia tersenyum kecil, Bhumi diam-diam memperhatikan garis lembut di wajahnya.
Dan Bulan — seprofesional apa pun dia berusaha tampil — mulai merasa halusnya getaran aneh itu setiap kali mata mereka bertemu. Tatapan yang tidak mengganggu, tetapi membuatnya sulit menenangkan pikirannya.
Pelayan datang membawa minuman tambahan, dan dalam pantulan gelas wine, Bulan bisa melihat Bhumi menatapnya — bukan dengan cara yang mengganggu, tetapi dengan ketenangan seseorang yang sedang mempelajari sesuatu yang ingin dia mengerti perlahan-lahan.
Tatapan itu tidak tajam, tetapi dalam. Dan entah mengapa, Bulan sulit berpaling.
Mungkin karena di balik dingin dan wibawa pria itu, ada kehangatan samar yang terasa… menenangkan.
Atau mungkin, karena untuk pertama kalinya, dia merasa ada seseorang yang benar-benar melihatnya — bukan hanya mendengarkan.
Di akhir makan, Liora yang paling dahulu memecah keheningan. “Pak Marvin, kalau boleh tahu, Bapak biasanya ngomong segini dikitnya setiap hari, atau ini spesial karena saya?”
Marvin menatapnya tanpa ekspresi. “Spesial.”
Liora terdiam sejenak, matanya berbinar. “Maksudnya saya spesial?”
“Enggak. Spesial karena saya biasanya bicara lebih sedikit.”
Bulan hampir tersedak airnya. Bhumi menatap sahabatnya itu dengan pandangan ‘tolong jangan makin memperburuk suasana’, tetapi akhirnya menunduk sedikit, menahan senyum yang hampir terlihat.
Liora ternganga. “Gila, ini manusia atau tembok?!”
Arsen yang dari tadi berdiri tak jauh menahan tawanya .
*
Saat akhirnya mereka berempat berdiri untuk berpamitan, suasana terasa… berbeda. Lebih ringan, tetapi anehnya juga lebih dekat.
“Terima kasih atas waktunya, Pak Bhumi,” ucap Bulan lembut.
Bhumi mengangguk pelan. “Terima kasih juga, Ibu Rembulan. Makan siang yang menyenangkan.”
dia mengulurkan tangan — dan untuk kedua kalinya hari itu, dunia di sekitar mereka terasa sedikit lebih pelan.
Liora melirik mereka berdua, lalu menatap Marvin, “Pak Marvin… mungkin kalau saya tabrakan lagi, Bapak baru bisa ngobrol panjang.”
Marvin menatapnya tanpa ekspresi. “Tolong jangan.”
Dan saat mereka berdua akhirnya melangkah keluar dari restoran, Liora mendesah panjang.
“Gue gak tahu harus senang atau stres, Bul. Gue bertemu lagi sama linen Italia, tetapi... dia kayak suhu ruangan di kutub utara.”
Bulan tersenyum samar. “tetapi lo survive.”
“Nyaris,” jawab Liora, menghembuskan napas dramatis. “Dan lo... mengapa lo keliatan kayak baru habis liat sesuatu yang bikin deg-degan tetapi lo gak mau ngaku?”
Bulan menatap ke depan, matanya sedikit menerawang.
“Mungkin karena gue memang baru liat sesuatu,” katanya pelan.
Liora melirik. “Apa tuh?”
Bulan menatap jendela besar di ujung koridor hotel — pantulan dirinya berbaur dengan cahaya sore.
“Tatapan yang... gak seharusnya terasa sehangat itu.” gumannya lirih.
**
Masih di dalam restoran, Bhumi masih duduk tenang di meja makan yang tadi, sementara Marvin sedang menerima telepon tidak jauh dari meja makan itu. dia sedang berpikir tanpa benar-benar tahu mengapa — menatap pantulan yang sama dari sisi lain jendela. Sambil berpikir dalam diam,
‘Jika dunia mempertemukan seseorang dua kali, mungkin semesta memang ingin dia memperhatikan lebih lama.’
**
tbc