Irsyad mendapat tugas sulit menjadikan Bandung Medical Center sebagai rumah sakit pusat trauma di Bandung Timur.
Kondisi rumah sakit yang nyaris bangkrut, sistem yang carut marut dan kurangnya SDM membuat Irsyad harus berjuang ekstra keras menyelesaikan tugasnya.
Belum lagi dia harus berhadapan dengan Handaru, dokter bedah senior yang pernah memiliki sejarah buruk dengannya.
Bersama dengan Emir, Irsyad menjadi garda terdepan menangani pasien di Instalasi Gawat Darurat.
Terkadang mereka harus memilih, antara nyawa pasien atau tunduk dengan sistem yang bobrok.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sesah Hilapna
Melihat Reynand ada di dalam kedai kopi, Maira membatalkan niatnya untuk masuk. Ketika dia berbalik, ternyata kedua orang tuanya sudah berada di belakangnya. Arsy malah mengajak anak dan suaminya masuk ketika melihat Reynand.
“Dokter Arsy, Om.”
Reynand langsung berdiri ketika melihat Arsy dan Irzal mendekati mejanya. Pria itu mempersilakan keduanya untuk duduk. Dia juga menarik sebuah kursi untuk Maira. Walau enggan, akhirnya Maira mendudukkan diri juga.
“Saya pikir dokter sudah pulang.”
“Belum, dok. Tadi saya sedang menyelesaikan masalah dengan Renya.”
“Renya itu pacar kamu?”
“Ehmm.. sudah putus, dok. Baru aja,” Reynand mengusap tengkuknya untuk menutupi rasa malu yang menyergap. Apalagi ada Maira di antara mereka.
Pria itu tidak tahu kalau Maira mendengar semua percakapannya dengan Renya. Entah bagaimana tanggapannya kalau pria itu tahu.
“Bagus kalau sudah putus. Lebih baik tidak usah pacaran. Kalau sudah bertemu dengan yang cocok, lebih baik langsung menikah,” ujar Irzal.
“Iya, Om.”
“Dokter tinggal di sini atau mau langsung pulang ke Bandung?”
“Saya nginap semalam dulu, dok. Besok pagi baru pulang ke Bandung.”
“Bawa mobil atau naik transportasi umum?”
“Naik motor, dok.”
“Ngga capek?”
“In Syaa Allah, ngga. Anggap aja lagi touring.”
“Ma, aku ngantuk,” sela Maira. Gadis itu ingin segera pergi dari hadapan Reynand.
“Kami pergi dulu, dokter Reynand.”
“Iya, dok. Kebetulan saya juga mau kembali ke penginapan.”
Reynand ikut berdiri ketika Arsy dan yang lain berdiri. Keempatnya segera keluar dari kedai kopi tersebut. Sekeluarnya dari lobi, Reynand bergegas keluar dari pelataran parkir. Penginapannya tidak jauh dari hotel tempatnya berada. Jadi tadi dia ke sini berjalan kaki.
Mata Maira terus melihat pada Reynand sampai pria itu tidak terlihat lagi. Tanpa gadis itu tahu, sang Bunda terus memperhatikannya sedari tadi.
***
Sama seperti Reynand, Irzal dan keluarga pun memutuskan untuk menginap semalam di Jakarta. Besok pagi dia masih ada urusan di kota ini. Setelah urusannya selesai, barulah dia kembali ke Bandung.
Irzal bersama keluarga menginap di hotel yang ada di bilangan Jakarta Selatan, dekat dengan tempat pertemuan esok hari.
Sesampainya di hotel, semuanya segera masuk ke dalam kamar. Maira segera mengganti pakaian dan membersihkan diri, kemudian naik ke ranjang. Dia masih belum memejamkan matanya. Pikirannya masih tertuju pada Reynand.
Entah mengapa gadis itu tidak bisa menghilangkan adegan ciuman Reynand dan Renya dari pikirannya. Dan itu semakin membuatnya kesal. Ditambah lagi pria itu juga menjadikan dirinya sebagai salah satu alasan untuk putus dari Renya.
Di tengah lamunannya, Maira dikejutkan dengan suara bel. Gadis itu segera bangun dari duduknya lalu membukakan pintu. Ternyata Arsy yang membunyikan bel. Sambil memeluk anak perempuan semata wayangnya, Arsy masuk ke dalam kamar.
“Ada apa, Bunda?”
“Ada yang mau bunda tanya. Bunda penasaran soalnya dan ngga mau nunggu sampai besok.”
“Soal apa?” kening Maira nampak mengernyit.
“Kenapa Bunda ngerasa kamu tuh sinis banget sama dokter Reynand. Emangnya dia punya salah apa sama kamu?”
“Ck.. Bunda datang ke kamar ku cuma mau nanyain soal ini?” wajah Maira nampak cemberut.
“Iya. Kan Bunda udah bilang, kalau Bunda penasaran.”
“Pertemuan pertama ku dengan dokter Rey itu meninggalkan kesan buruk.”
“Kenapa?”
Maira pun menceritakan awal pertemuannya dengan Reynand, lanjut ke pertemuan kedua sampai yang terakhir. Bahkan gadis itu juga menceritakan pembicaraan antara Reynand dan Renya. Termasuk saat Reynand mengatakan rasa sukanya sebagai salah satu alasan memutuskan Renya.
“Tapi alasan dokter Rey putus dengan Renya bukan saja karena dia sudah jatuh cinta pada mu kan?”
“Iya sih Bunda. Tapi aku kesal aja. Dia itu tipe cowok ngga setia. Lagi pacaran sama Renya, eh jatuh cinta sama perempuan lain.”
“Dan perempuan itu kamu,” Arsy menjawil hidung mancung anaknya.
“Ish.. Bunda.”
Wajah Maira nampak cemberut. Gadis itu masih kesal karena terseret arus pusaran kisah asmara Reynand dan Renya. Walau dia tidak mengenal Renya, tapi sebagai sesama wanita, Maira bisa merasakan sakit yang mendera Renya ketika Reynand mengakui sudah jatuh cinta pada perempuan lain.
“Bun, orang tua Renya memangnya pengusaha terkenal?”
“Bisa dibilang begitu. Mereka termasuk keluarga old money. Memiliki beberapa cabang anak perusahaan yang semuanya sedang dalam grafik menaik. Ayah mu juga bekerja sama dengan Subroto untuk beberapa proyek.”
“Pantas aja sih kalau mereka mementingkan bibit, bebet dan bobot untuk anaknya. Tapi menurut ku ngga adil kan, Bun kalau hanya menilai orang dari tiga kriteria tadi.”
“Tiap keluarga punya aturan masing-masing. Apalagi Pak Subroto dan istrinya adalah keturunan Jawa asli yang masih menganut sistem feodal yang kuat. Tapi Bunda bersyukur kalau dokter Rey bisa lepas dari Renya. Kalau pun mereka akhirnya menikah, keluarga Renya akan tetap meremehkan dokter Rey. Kamu ngga tertarik sama dokter Rey? Dia itu ganteng, baik dan bertanggung jawab,” goda Arsy.
“Ish Bunda. Kan aku udah cerita, pas mereka pacaran tuh mereka udah sering kontak fisik. Masa ciuman di parkiran basement, kaya ngga tahu tempat. Lagian aku tuh pengen punya suami yang kaya Ayah, Bang Ars, Bang Irs atau Bang Var. Yang ngga pernah mengumbar nafsu sebelum halal dan pantang menyentuh perempuan yang bukan mahram. Tapi dokter Rey..”
Maira tidak melanjutkan ucapannya. Dia kembali teringat adegan ciuman antara Reynand dan Renya. Kepala gadis itu menggeleng pelan, mencoba mengusir adegan yang selalu muncul setiap kali Maira melihat atau mengingat Reynand.
“Kamu ngga bisa menjudge seseorang tidak baik hanya karena yang dilakukannya. Tidak ada orang yang sempurna. Di satu sisi bisa dibilang dokter Rey mungkin bukan pria yang bisa menahan diri. Tapi di sisi lain, pasti ada sisi baik darinya yang bisa dijadikan tauladan. Dan Bunda yakin, pada dasarnya dokter Rey itu laki-laki yang baik, sopan dan tahu bagaimana menghargai wanita. Dia tidak mungkin menyentuh perempuan kalau perempuan itu tidak mengijinkan. Bisa jadi Renya lah yang membuatnya berani melakukan itu.”
Seketika Maira terdiam. Gadis itu mengingat kembali percakapan sepasang kekasih yang sekarang sudah berstatus mantan. Saat itu Reynand mengatakan kalau Renya menganut gaya hidup bebas. Tapi dari ucapan Reynand, Maira menyimpulkan kalau pria itu belum berbuat terlalu jauh dengan melakukan hubungan s*ks sebelum menikah.
“Mau Bunda ceritakan sedikit tentang dokter Rey? Kenapa Bunda sangat menyukainya?”
“Memangnya kenapa, Bun?”
“Bunda sudah mengenal dokter Rey waktu dia masih kuliah kedokteran. Dia mendapat beasiswa full dari universitas Ibnu Sina. Selain pintar, dokter Rey juga tidak pelit berbagi ilmu. Dia sering membantu teman-temannya yang kesulitan memahami sesuatu. Selain kuliah, dokter Rey juga tidak gengsi bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan membantu Ibu pantinya mengurus adik-adik di panti.”
Masih belum ada komentar dari Maira. Gadis itu masih diam mendengarkan cerita tentang Reynand. Mendengar kalau Reynand seorang pekerja keras yang tidak gengsi melakukan pekerjaan apapun, ada sedikit kekaguman di hati Maira. Tapi hanya sedikit saja.
“Bahkan dia pernah jadi cleaning service di kantor Ayah mu.”
“Hah? Yang benar, Bun?”
“Iya. Bayangkan dia yang mahasiswa kedokteran, ngga malu bekerja sebagai cleaning service. Dia bekerja bukan untuk dirinya sendiri, tapi juga demi adik-adik pantinya. Bayangkan bagaimana bertanggung jawabnya dia kalau sudah menikah nanti.”
“Bunda tahu dari mana kalau dokter Rey pernah kerja jadi cleaning service di kantor Ayah?”
“Bunda lihat sendiri. Tapi Bunda sengaja ngga nemuin, takutnya dia malu.”
“Sudah malam, lebih baik kamu tidur,” lanjut Arsy.
Wanita itu segera turun dari ranjang. Maira pun langsung berbaring. Arsy mendaratkan ciuman di kening anak bungsunya seraya menarik selimut menutupi tubuh anaknya sampai sebatas dada. Setelahnya wanita itu segera keluar dari kamar.
Sepeninggal Arsy, Maira masih belum bisa memejamkan matanya. Pikirannya masih tertuju pada pembicaraan tentang Reynand. Ada kekaguman di hati Maira, namun kekesalannya pada pria itu juga belum sepenuhnya hilang. Dan yang semakin membuatnya kesal, bayangan ketika Reynand mencium Renya masih terbayang-bayang di kepalanya.
***
“Pagi dok,” sapa Nayraya pada Reynand yang sudah kembali bertugas setelah mendapat skors selama tiga hari.
“Pagi.”
“Bagaimana liburannya?”
“Alhamdulillah sangat bermanfaat,” jawab Reynand seraya tersenyum.
“Masalah mu dengan Renya sudah selesai?”
“Sudah. Dan sekarang aku resmi menjadi jomblo, hahaha..”
“Kalau begitu kamu bisa fokus mengejar Maira sekarang.”
“Euung.. aku tidak tahu.”
Jawaban Reynand terdengar ragu. Begitu mengetahui kalau Maira anak dari pengusaha terkenal, dia jadi sedikit ragu. Takut kalau akan kembali menerima perlakuan seperti keluarga Renya. Walau Arsy sangat baik padanya, tapi untuk urusan jodoh anaknya, belum tentu wanita itu akan menerima dirinya. Apalagi Arsy tahu tentang masa lalunya.
Nayraya memandangi Reynand yang nampak sedang termenung. Inginnya dia bertanya lebih lajut, tapi seorang pasien sudah memasuki ruang IGD. Husein langsung membantu pasien yang diantar oleh seorang Nenek. Perawat pria itu segera membawa sang pasien ke ranjang nomor tiga. Sambil mengalungkan stetoskopnya, Reynand mendekati sang pasien.
“Pagi, siapa nama mu?” tanya Reynand ramah.
“Aruna, dok.”
“Apa yang kamu rasakan?”
“Perut saya sakit dok.”
Reynand segera memeriksa perut Aruna. Dia menekan di beberapa area. Nampak gadis itu meringis kesakitan ketika Reynand menekan di titik yang menimbulkan rasa sakit untuknya. Tanpa diminta, Husein segera membawakan USG.
Setelah mengoleskan gel ke probe, Reynand segera menggerakkan alat tersebut di perut Aruna, sementara matanya terus melihat ke layar monitor.
“Panggilkan dokter Irsyad.”
Husein hanya menganggukkan kepala. Dengan cepat dia kembali ke nurse station.
“Aruna, dari hasil pemeriksaan, kamu mengalami masalah dengan usus mu. Sepertinya kamu harus segera dioperasi.”
Aruna melirik pada Neneknya yang berdiri di samping ranjang. Sang Nenek hanya menganggukkan kepalanya.
Tak berapa lama kemudian Irsyad tiba di IGD. Dokter bedah trauma itu segera menuju ranjang di mana sang pasien berada. Begitu dia menyibak tirai, pria itu langsung mengenali pasien yang tengah berbaring.
“Aruna.”
“I.. iya, dok.”
“Kenapa? Apa kamu sakit lagi?”
“Apa dokter mengenalnya?”
“Iya. Sebelum pindah ke sini, aku sempat mengoperasi Aruna. Dia mengalami appendicitis. Aku sudah membuang bagian ususnya yang luka dan bernanah.”
“Tapi dia mengalami sakit di bagian yang sama lagi.”
“Benarkah?”
Reynand kembali melakukan USG di perut Aruna. Irsyad memperhatikan dengan seksama gambar di layar. Keningnya nampak berkerut. Kondisi perut Aruna sama persis seperti yang dialaminya beberapa bulan yang lalu.
“Aku yakin sudah membuang bagian itu,” gumam Irsyad.
“Apa mungkin ada kesalahan?”
“Lebih baik lakukan CT Scan.”
Kepala Reynand mengangguk. Dia melihat pada Aruna yang wajahnya terlihat semakin pucat.
“Jangan takut. Kami pasti akan mengobati mu.”
Di saat Reynand sedang menenangkan Aruna yang nampak ketakutan, Irsyad bergegas menuju nurse station. Lebih dulu dia menghubungi staf di Ibnu Sina untuk mengirimkan rekam medis Aruna. Sebelumnya gadis itu memang melakukan operasi di Ibnu Sina.
“Raya, aku sedang meminta rekam medis Aruna dari Ibnu Sina. Kalau sudah terkirim, segera kirimkan pada ku dan hubungi kedua orang tuanya.”
“Baik, dok.”
Usai memberi pengarahan pada Nayraya, Irsyad kembali ke ranjang Aruna. Diperhatikannya Aruna dengan seksama. Gadis itu terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Ditambah lagi sekarang Aruna terlihat lebih pendiam. Padahal Aruna yang dulu ditanganinya berkepribadian ceria dan begitu percaya diri. Bertolak belakang dengan keadaannya sekarang.
Pandangan Irsyad kemudian tertuju pada wanita tua di dekat ranjang. Ini pertama kalinya dia melihat wanita itu.
“Maaf, Ibu siapa?”
“Saya yang menemukannya. Karena keadaannya yang sakit, saya membawanya ke sini.”
Cukup lama Irsyad terdiam. Dilihatnya Aruna tengah menarik baju wanita tua itu sambil terus melihatnya. Seperti ada yang disembunyikan olehnya.
***
Yang ngga ngerti judulnya, artinya susah lupanya.
Besok aku libur🤗
apa katanya gk takut dgn Dadvar....padahal ciut dlm hatinya pasti deh iya takut🫣
Bagus Davdar biar Sentanu mingkem, baru tau kalau dia bermasalah. Titip salam sama Sentanu, kalau dipulau Rinca butuh CMO kalau dia mau bisa tuh ngatur ngatur komodo, kali aja komodonya manut sama Sentanu😂😂😂