Cinta seharusnya tidak menyakiti. Tapi baginya, cinta adalah awal kehancuran.
Yujin Lee percaya bahwa Lino hanyalah kakak tingkat yang baik, dan Jiya Han adalah sahabat yang sempurna. Dia tidak pernah menyadari bahwa di balik senyum manis Lino, tersembunyi obsesi mematikan yang siap membakarnya hidup-hidup. Sebuah salah paham merenggut persahabatannya dengan Jiya, dan sebuah malam kelam merenggut segalanya—termasuk kepercayaan dan masa depannya.
Dia melarikan diri, menyamar sebagai Felicia Lee, berusaha membangun kehidupan baru di antara reruntuhan hatinya. Namun, bayang-bayang masa lalu tidak pernah benar-benar pergi. Lino, seperti setan yang haus balas, tidak akan membiarkan mawar hitamnya mekar untuk pria lain—terutama bukan untuk Christopher Lee, saudara tirinya sendiri yang telah lama mencintai Yujin dengan tulus.
Sampai kapan Felicia harus berlari? Dan berapa harga yang harus dibayar untuk benar-benar bebas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Butik Vanté milik Kim Taehyung berdiri megah di kawasan Gangnam, jauh dari keramaian mall, tersembunyi di balik fasad kaca yang elegan dan minimalis. Tempat itu adalah cerminan sempurna dari sang pemilik: stylish, berani, namun menyimpan ketenangan di dalamnya.
Pukul lima sore, Yujin tiba. Suasana di dalam butik berbeda dengan di kampus. Di sini, Taehyung bukanlah 'dosen', melainkan 'Kim Designer'—seorang profesional yang intens dan penuh gairah.
Yujin segera diarahkan ke ruang desain pribadi Taehyung di lantai dua, sebuah studio luas yang dipenuhi manekin, gulungan kain impor, dan lampu gantung kristal yang memancarkan cahaya dramatis.
Taehyung sudah menunggunya, kini mengenakan kaus turtleneck hitam dan celana palazzo abu-abu, jauh lebih santai. Ia sedang meneliti cetakan pola dengan tatapan mata yang tajam.
"Kau tepat waktu, Asisten Lee," sambut Taehyung tanpa mengalihkan pandangan. "Duduklah, mari kita selesaikan neraka desain chiffon ini. Modelnya sudah menunggu."
Yujin meletakkan tasnya dan langsung bergerak ke meja kerja yang disediakan untuknya. Ia menyusun pensil, penggaris, dan perangkat desainnya dengan gerakan cepat dan efisien.
"Untuk gaun chiffon itu, saya sudah memotong pola dasarnya sesuai revisi. Tapi saya mengubah sedikit pada bagian bahu," jelas Yujin, langsung masuk ke mode profesional. "Saya merasa draping bahu asimetris akan memberikan efek yang lebih sinematis saat model bergerak."
Taehyung akhirnya mendongak. Ia menyilangkan tangan, mengamati Yujin yang berbicara dengan penuh keyakinan. Di butik inilah sisi ambisius Yujin muncul, sisi yang tertutupi oleh sifat pendiamnya di kampus.
"Sinis. Asimetris. Menarik," gumam Taehyung. "Tunjukkan padaku."
Yujin berdiri, mengambil chiffon berwarna midnight blue dari gulungan terdekat, dan mulai mendrapingnya pada manekin di tengah ruangan. Jari-jari lentiknya bergerak lincah, membentuk lipatan kain dengan presisi yang mengejutkan untuk usianya yang masih muda.
Di bawah cahaya studio, keahlian Yujin terlihat jelas. Ia bekerja dengan intensitas yang tinggi, kadang menggigit bibir bawahnya saat menemukan pola yang rumit. Rasa kantuk dan lelah yang ia rasakan semalam seolah hilang ketika ia menyentuh kain.
Mereka berdua tenggelam dalam proses kreatif selama hampir dua jam. Percakapan mereka hanya seputar bias cut, tekstur, dan fitting. Mereka adalah duo yang sempurna: Taehyung dengan ide-ide out of the box-nya, dan Yujin dengan keahlian teknisnya yang detail.
Namun, sekitar pukul tujuh malam, Yujin tiba-tiba terhenti.
Ia menekan dahinya, matanya terasa panas dan kering. Pola di kertas sketsanya mulai terlihat kabur. Rasa lapar dan kelelahan total menyerang tubuhnya secara bersamaan.
"Yujin? Ada apa? Lipatan ini belum sempurna," tegur Taehyung, yang sedang sibuk memilih hardware untuk gaun tersebut.
"Maaf, Ssaem," Yujin berbisik, suaranya serak. Ia mencoba tersenyum meyakinkan, tapi gagal. "Saya... saya perlu istirahat sebentar. Mata saya terasa perih."
Taehyung menoleh sepenuhnya. Ia melihat Yujin yang tampak pucat, lingkaran hitam tipis di bawah matanya terlihat jelas. Ia ingat keluhan Yujin di kampus tadi siang.
"Astaga, Lee Yujin," Taehyung meletakkan barangnya dan berjalan mendekat. "Kau tidak bercanda tentang kurang tidur, ya? Kau terlihat seperti hantu mode."
Yujin hanya bisa tersenyum canggung. "Saya akan baik-baik saja setelah minum air."
Taehyung menggeleng, mengambil posisi duduk di kursi roda desainernya. "Tidak. Kau tidak akan baik-baik saja dengan air. Kau butuh nutrisi."
Tanpa bertanya, Taehyung meraih ponsel di sakunya dan menelepon asisten butik di lantai bawah.
"Tolong pesankan kita Japchae dan Tteokbokki paling pedas dari kedai di ujung jalan. Dan dua kaleng kopi espresso paling kental. Sekarang." Taehyung mengakhiri panggilan, kemudian menatap Yujin.
"Duduklah. Kita istirahat selama setengah jam," perintah Taehyung dengan nada yang kini terdengar lebih seperti seorang kakak yang tegas, bukan atasan.
Yujin merasa sedikit bersalah karena telah mengganggu alur kerja, tetapi merasa lega karena mendapat jeda lebih besar. Ia duduk di sofa beludru di sudut ruangan, memejamkan mata.
"Kau tahu, Yujin," Taehyung memulai, suaranya tenang. "Aku tahu aku membebanimu. Tapi alasanku memilihmu bukan hanya karena bakatmu."
Yujin membuka mata, menatap Taehyung.
"Kau gadis pekerja keras, jujur, dan tidak pernah mengeluh secara frontal," lanjut Taehyung. "Tapi yang paling penting, kau adalah satu-satunya orang di sini yang tidak melihatku sebagai 'Dosen Kim' atau 'Designer Kim' yang sempurna."
Taehyung tersenyum lembut. "Kau melihatku sebagai partner, sebagai rekan kerja. Dan kau berani mengeluh ketika aku keterlaluan."
"Tentu saja saya mengeluh," Yujin membalas dengan nada lebih santai. "Anda tahu tugas kuliah saya menumpuk, tapi Anda memaksa saya merancang gaun yang belum pernah ada di muka bumi ini."
"Nah, itu dia!" Taehyung tertawa. "Sikap itu. Itu membuat suasana kerja kita tidak kaku."
Yujin tahu Taehyung benar. Kedekatan profesional mereka sering kali melampaui batas formalitas usia dan jabatan, yang bagi Taehyung, sangat penting untuk kreativitas.
"Kita hanya terpaut lima tahun, Yujin," kata Taehyung, seolah membaca pikiran Yujin. "Di dunia seni dan mode, usia tidak penting. Yang penting adalah chemistry dan rasa hormat."
Tak lama kemudian, makanan datang. Aroma japchae dan tteokbokki pedas langsung memenuhi studio. Taehyung menyajikan makanan itu di meja kopi, mendorong sepiring penuh mie transparan dan sayuran ke hadapan Yujin.
"Makanlah yang banyak," desaknya. "Setelah ini, kau akan menjadi singa desain lagi."
Yujin mengambil sumpitnya. Meskipun lelah, rasa lapar membuatnya makan dengan lahap. Taehyung makan dengan tenang, sesekali mengamati Yujin.
"Bagaimana kuliahmu dengan Profesor Park? Sudah kau sampaikan keluhanku soal penilaian yang terlalu kaku?" tanya Taehyung iseng.
Yujin tertawa kecil, tawa yang sedikit nakal. "Belum. Saya tidak mau terlihat menyogok nilai, Ssaem. Saya akan mendapat nilai itu dengan kemampuan saya sendiri."
"Itulah Yujin Lee," Taehyung menggeleng bangga. "Terlalu baik, terlalu jujur, dan sedikit keras kepala."
Mereka menghabiskan waktu istirahat itu dengan candaan ringan. Yujin menceritakan kelakuan lucu temannya di kampus, sementara Taehyung bercerita tentang kebiasaan aneh model-model yang bekerja untuknya.
Momen-momen ini adalah katarsis bagi Yujin. Di sinilah ia bisa melupakan sejenak kesepian rumahnya dan tekanan tugas kuliah. Taehyung, meskipun bossy dalam urusan desain, adalah sosok yang menjaga sisi kemanusiaannya.
Namun, di luar sana, ada mata yang mengintai.
Tepat saat Yujin dan Taehyung sedang tertawa karena lelucon tteokbokki yang terlalu pedas, sebuah mobil hitam bergerak perlahan di jalanan butik Vanté. Jendela mobil itu diturunkan sedikit.
Di kursi kemudi, Lee Lino sedang memegang ponsel, seolah sedang menelepon seseorang. Namun, matanya tertuju ke lantai dua Butik Vanté.
Lino tidak bisa melihat detail wajah mereka, tetapi ia melihat bayangan dua orang yang tampak sangat akrab di jendela ruang desain. Ia melihat mereka makan bersama, tertawa, dan gestur mereka yang santai.
Ponselnya berdering, dan itu adalah Jiya. Lino segera menjawab, nadanya dibuat terdengar lelah dan tertekan.
"Ya, Jiya. Aku masih di rumah sakit Ayah. Ada masalah serius dengan administrasi. Tidak, aku belum makan,"
Lino berbohong, matanya tetap tertuju pada bayangan di Vanté. "Aku lelah sekali, Sayang. Kurasa aku harus lembur lagi malam ini."
"𝘈𝘴𝘵𝘢𝘨𝘢, 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪," terdengar suara Jiya yang khawatir di ujung telepon. "𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘭𝘶𝘱𝘢 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯, 𝘺𝘢, 𝘖𝘱𝘱𝘢. 𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘰𝘢𝘬𝘢𝘯𝘮𝘶."
Lino mengakhiri panggilan itu dengan senyum sinis. Jiya, yang kini ia yakini sedang berada di rumah, adalah alibi yang sempurna.
Lino memandang bayangan Yujin dan Taehyung lagi, amarahnya memuncak. Kedekatan profesional itu terlihat terlalu intim di mata obsesifnya.
𝘉𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘣𝘶𝘵𝘪𝘬, 𝘬𝘢𝘶 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘦𝘬𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘳𝘪𝘢 𝘭𝘢𝘪𝘯, 𝘓𝘦𝘦 𝘠𝘶𝘫𝘪𝘯? batin Lino.
Ia menekan pedal gas perlahan, bergerak menjauh dari Vanté. Ia tahu Yujin akan segera pulang. Dan ia akan menunggu. Strateginya kini berubah: ia harus menyusup masuk ke dalam ruang kerja Yujin di butik itu, atau lebih baik, ia harus lebih sering muncul di rumah Yujin.
Lino tidak akan membiarkan Taehyung menjadi penghalang ketiga. Yujin harus menyadari bahwa pria-pria lain hanya membawa masalah, sementara hanya Lino yang memberinya perhatian yang kekal.
Di lantai atas, Yujin menghabiskan sisa makanannya, merasa energinya pulih. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa keakraban santai dengan Taehyung di butik barusan telah menambah bahan bakar pada api obsesi Lee Lino. Ia hanya bersyukur, karena setelah ini, ia bisa pulang dan tidur selama dua jam sebelum kembali mengerjakan tugas kuliahnya yang tertunda.
.
.
.
.
.
.
.
— Bersambung —