Arjuna dikenal sebagai sosok yang dingin dan datar, hampir seperti seseorang yang alergi terhadap wanita. la jarang tersenyum, jarang berbicara, dan selalu menjaga jarak dengan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, saat bertemu dengan Anna, gadis periang yang penuh canda tawa, sikap Arjuna berubah secara drastis.
Kehangatan dan keceriaan Anna seolah mencairkan es dalam hatinya yang selama ini tertutup rapat. Tak disangka, di balik pertemuan mereka yang tampak kebetulan itu, ternyata kedua orangtua mereka telah mengatur perjodohan sejak lama. Perjalanan mereka pun dimulai, dipenuhi oleh kejutan, tawa, dan konflik yang menguji ikatan yang baru saja mulai tumbuh itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ivan witami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Melihat Elsa
“Juna, kamu sudah yakin mau masuk? Aku tahu ini berat, tapi kamu harus menghadapi semuanya,” suara Anna lembut dan tegas terdengar di lorong rumah sakit itu, menggema melewati dinding putih yang dingin.
Juna menarik nafas panjang, matanya tajam memandang pintu ruang perawatan di ujung koridor yang steril itu. Udara dingin membuat bulu kuduknya berdiri, tapi ada tekad yang tersembunyi di balik kerutan halus di dahi dan kelopak matanya yang berat. “Jujur, aku tidak ingin melihat Elsa, Anna... Itu hanya akan membuat semua luka ini semakin dalam,” kata Juna, suaranya hampir pecah.
Anna menggenggam tangan Juna dengan erat, seolah ingin menyalurkan kekuatan paling tulus yang ia miliki. “Justru karena itulah, kamu harus masuk dan menyelesaikan masa lalumu. Kalau tidak, kita tidak akan bisa melangkah ke depan bersama.”
Langkah mereka yang berani, meski penuh rasa takut, menapaki lantai rumah sakit yang berkilauan seperti kaca. Baru beberapa langkah, muncul sosok wanita cantik yang berdiri di depan pintu itu, wajahnya lelah tapi penuh kehangatan yang membungkus ruang dingin.
“Juna, Anna... Kalian datang juga,” sapa Nuri dengan senyum tipis yang menyembunyikan rasa khawatir dan sedikit keterpaksaan.
“Tapi seharusnya Anna tidak perlu ikut ke sini,” tambah Nuri pelan, pandangannya menolak untuk menerima sosok Anna sebagai bagian dari situasi ini, “aku nggak suka kalau Anna ikut lihat Elsa.”
Anna hanya diam di samping Juna, menunjukkan wajahnya tegas tapi ramah. Juna memicingkan mata, ada ketegangan yang hampir tak terlihat dalam tatapannya. “Nuri, Anna tunanganku. Aku tahu papaku kemarin bertemu denganmu dan memperingatimu agar tidak bicara tentang Elsa padaku. Aku datang ke sini atas usulan Anna. Terus kenapa kalau Anna ikut?” Suara Juna sedikit meninggi, tapi tetap rendah, penuh kewaspadaan.
“Ya, gak apa-apa sih. Ya sudah, ikut aku,” jawab Nuri dengan suara berat namun memaksa untuk seolah tenang. Ia lalu berjalan menuju ruang ICU dengan langkah cepat namun tersembunyi rasa malu dan tertekan.
Di depan pintu ruang ICU, udara terasa sunyi dan berat. Lampu-lampu neon berpendar dingin, memantul di lantai yang dipoles hingga mengkilap. Juna menekan tombol panggil, suara bip mesin tanda kedatangan dokter dan perawat segera menyambut mereka dengan nada yang rutin dan mekanis. Pintu akhirnya terbuka pelan, memperlihatkan ruangan putih bersih dengan selimut rumah sakit yang membungkus sosok perempuan kurus, rambut coklat gelapnya kusut terurai di atas bantal.
Juna menatap Elsa dengan rasa gemuruh di dadanya, suara batin yang bertempur antara dendam, cinta, dan kehilangan. Sementara Anna menunggu di luar, menatap lewat kaca pembatas seperti dunia mereka kini terpisah oleh tembok hampa dan dingin.
Juna menutup matanya sejenak, menghapus tetes air mata yang jatuh tanpa sadar. “Elsa,” lirihnya sambil menyeka air matanya, nadanya bergetar.
Elsa, mantan kekasihnya yang dulu begitu hidup, kini terbaring lemah tak berdaya. Tidak ada senyum manis atau tawa yang tersisa, hanya napas yang teratur oleh bantuan mesin. Tubuh kurusnya tampak rapuh seperti boneka yang mudah hancur hanya dengan sentuhan ringan.
“Maafkan aku, Elsa... untuk semua yang pernah terjadi, Sebenarnya aku marah, kecewa setelah tahu kalau kematianmu itu palsu, tapi kenapa kamu melakukan itu, Elsa?” kata Juna, suaranya hampir tak lebih dari bisikan. Hatinya hancur saat melihat keadaan Elsa yang jauh dari perempuan ceria yang dulu ia kenal.
Di sudut ruangan yang dipenuhi aroma antiseptik tajam, mesin-mesin berdengung pelan menemani kesunyian. Elsa terbaring, tampak seperti mayat hidup. Juna menatap wajah itu, seolah mencoba menggenggam kembali bayangan masa lalu yang kini menjadi mimpi yang sulit ia gapai.
"Elsa... Kamu harus tahu apa yang sebenarnya terjadi setelah kamu meninggal. Aku merasa hilang arah, sedih, tidak tahu harus bagaimana, hingga akhirnya aku tahu kematianmu itu palsu." Suara Juna serak terkenang segala memori yang tak sanggup ia ungkapkan.
Elsa yang tak mampu menjawab hanya bisa menarik nafas teratur berkat alat bantu napas.
Juna duduk di kursi samping ranjang, tangannya gemetar memegang tangan Elsa yang dingin. "Mengapa kamu melakukan semua ini? Kenapa kamu menyembunyikan penyakitmu dan membuat aku terus hidup dalam bayang-bayangmu.”
Anna menunggu di luar pintu, tangan terkepal pelan saat melihat Juna menggenggam tangan Elsa. Ia tahu ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ada masa lalu yang begitu manis mungkin saja Juna sedang mengingatnya.
Anna, menunduk lesu dan tersenyum tipis, ada rasa khawatir tetapi ia memilih untuk percaya pada Juna, bahwa semua akan baik-baik saja.
“Anna, kamu tidak ada apa-apanya dibanding Elsa.” terdengar suara Nuri membuat Anna tersentak.
Anna menoleh melihat Nuri berdiri di sampingnya.“Kenapa harus dibandingkan, Aku dan Elsa memang orang berbeda” jawab santai Anna dengan nada serius.
Nuri tersenyum tipis, rupanya Anna gadis yang tidak mudah terprovokasi.“Kamu tidak cemburu?”
“Cemburu sama orang sakit? Untuk apa?” Anna tersenyum tipis walau sebenarnya ia kesal dengan Nuri, sahabat tunangan itu.
“Kenapa kamu bilang begitu, Anna? Elsa masih bagian dari masa lalu Juna?” Nuri tiba-tiba melangkah mendekat, suaranya bergetar penuh rasa ingin tahu.
Anna menatap Nuri dengan tajam. "Masa lalu sudah berlalu, tapi tidak untuk dijadikan alasan untuk menyakiti orang yang masih ada di depan mata. Kalau Elsa tidak memalsukan kematiannya, dia juga tidak akan menjadi masa lalu Juna.”
Anna menatap tajam Nuri dengan berani, sedangkan Nuri tersenyum sinis lalu membuang pandangannya melihat Juna dan Elsa yang ada di dalam ruang ICU.
Anna memilih duduk di kursi tunggu, menyandarkan punggungnya, memejamkan matanya. Ia begitu lelah dengan pekerjaan yang harus diselesaikan dan juga harus menemani Juna melihat Elsa.
Juna menghapus air matanya, lalu melihat ke arah kaca pembatas, memastikan keberadaan Anna. Juna melihat Anna duduk dan sedang memejamkan mata, ia segera bangkit dan keluar, ia khawatir Anna kelelahan.
“Jun, sudah?” tanya Nuri tiba-tiba berdiri di samping pintu.
Juna sedikit terkejut tidak melanjutkan langkahnya.“Sudah.” Juna sekilas melihat Nuri lalu pandangannya ke arah Anna.
“Anna,” panggil Juna sambil menghampirinya.
Juna mengusap lembut pucuk rambut Anna.Anna membuka matanya dan melihat Juna.“Sudah?” tanya Anna sekilas menguap.
“Sudah, ya sudah kita kembali ke hotel,” ajak Juna.
“Jun, besok kamu datang ke sini lagi?” tanya Nuri.
Juna menggeleng pelan.“ Tidak, Nuri. Ini yang pertama dan terakhir. Jika terjadi sesuatu pada Elsa, tolong jangan kabari aku. Semuanya sudah selesai, sesuai janjiku pada Anna.”
“Jun, kamu serius ngomong begitu? Kamu tidak kasihan sama Elsa, dia melakukan itu demi kebahagiaan kamu,” cegah Nuri.
“Kebahagiaan yang mana?” Kamu tahu aku bagaimana saat dia mati saat itu. Sudahlah, Nuri. Aku sudah tidak mau berhubungan lagi dengan Elsa dan apapun yang menyangkut tentang dia. Masa depanku saat ini dan selamanya sama Anna.” Juna menarik tangan Anna dengan lembut lalu membawa Anna keluar dari ruangan rumah sakit itu.
Nuri terdiam, tidak bisa lagi berkata-kata. Hanya bisa memandangi kepergian Juna dan Anna.
“Lihat saja nanti Juna. Aku tidak bisa tinggal diam, kamu sudah memperlakukan Elsa seperti sampah,” batin Nuri penuh dendam.