Di tahun 2070, nama Ethan Lawrence dirayakan sebagai pahlawan. Sang jenius muda ini telah memberikan kunci masa depan umat manusia: energi tak terbatas melalui proyek Dyson Sphere.
Tapi di puncak kejayaannya, sebuah konspirasi kejam menjatuhkannya.
Difitnah atas kejahatan yang tidak ia lakukan, sang pahlawan kini menjadi buronan nomor satu di dunia. Reputasinya hancur, orang-orang terkasihnya pergi, dan seluruh dunia memburunya.
Sendirian dan tanpa sekutu, Ethan hanya memiliki satu hal tersisa: sebuah rencana terakhir yang brilian dan berbahaya. Sebuah proyek rahasia yang ia sebut... "Cyclone".
(Setiap hari update 3 chapter/bab)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35: Saudara Melawan Saudara
Hari ketiga penahanan rumah Ethan Pradana dimulai dengan keheningan yang memekakkan telinga. Layar berita dimatikan. Komunikator dimatikan. Dia duduk sendirian di sofa besar berwarna krem di apartemen Direktur-nya yang kini terasa seperti mausoleum, menatap kosong ke luar jendela kaca raksasa.
London di bawah sana bergerak seperti biasa. Pod-pod meluncur, orang-orang berjalan terburu-buru. Dunia terus berputar, tidak peduli bahwa dunianya sendiri telah berhenti.
Dia belum tidur. Setiap kali dia memejamkan mata, dia melihat wajah Clara Vega—tersenyum padanya di apartemen Nate, lalu lenyap dalam kilatan putih di rekaman Prometheus. Dia mendengar teriakan Nate—*KAU MEMBUNuhnya! AKU MEMBENCIMU!*—bergema di benaknya.
Dia tahu Nate sedang berduka. Dia tahu Nate marah. Tapi dia tidak tahu seberapa dalam luka itu sampai dia melihat berita kemarin. Pemakaman Clara Vega disiarkan langsung—sebuah acara media yang diatur dengan sempurna oleh kantor Rostova. Nate berdiri di sana, di samping peti mati virtual, wajahnya seperti topeng batu, menolak untuk berbicara kepada pers. Dia tampak hancur, sendirian.
Dan Ethan, pria yang seharusnya berdiri di sampingnya, pria yang Clara coba selamatkan, terjebak di menara ini, dicap sebagai monster yang bertanggung jawab atas kematiannya.
Rasa bersalah menggerogotinya seperti asam. Dia *memang* bertanggung jawab. Bukan karena kelalaian, tetapi karena kenaifan. Karena membiarkan dirinya dibutakan oleh ambisi dan kepercayaan pada orang yang salah. Dia telah menandatangani surat kematian Clara, sama pastinya seperti jika dia sendiri yang menekan tombol peledak itu.
Dia perlu bicara pada Nate. Dia perlu meminta maaf. Dia perlu... dia tidak tahu apa. Tapi dia harus mencoba.
Dia bangkit, berjalan ke panel komunikasi di dinding—satu-satunya yang masih aktif, saluran aman langsung ke keamanan gedung. Dia ragu-ragu. Meminta untuk menghubungi Nate akan mencurigakan. Itu akan melanggar perintah isolasinya.
Saat itulah bel pintunya berbunyi.
Bukan bip elektronik standar. Tapi suara bel fisik kuno—sesuatu yang dia pasang khusus untuk Nate dan Luna, sebagai lelucon tentang paranoia-nya.
Jantung Ethan melompat. Mungkinkah?
Dia berlari ke pintu, mengabaikan protokol keamanan. Dia menekan tombol interkom video.
Di layar kecil, wajah Nate Reyes menatapnya balik.
Tapi itu bukan Nate yang dia kenal. Mata Nate merah dan bengkak karena kurang tidur dan menangis, tetapi tatapannya dingin dan keras seperti baja Mars. Dia tidak mengenakan jaket kulitnya; dia mengenakan setelan hitam formal—setelan pemakamannya.
"Nate?" bisik Ethan, tidak percaya. "Bagaimana kau...?"
"Buka pintunya, Ethan," kata Nate, suaranya datar, tanpa emosi.
Ethan ragu-ragu. Penjaga di luar... "Tapi keamanannya..."
"Aku bilang pada mereka aku punya 'informasi penting' untuk penyelidikan," kata Nate dingin. "Rupanya, namaku masih punya sedikit pengaruh. Sekarang, buka pintunya."
Ethan menekan tombol buka. Pintu berat itu mendesis terbuka. Nate melangkah masuk, melewati Ethan tanpa menatapnya, dan berjalan ke tengah ruang tamu yang luas. Dia melihat sekeliling—pada kemewahan steril, pada jendela raksasa, pada cangkir cokelat pecah yang belum dibersihkan Ethan dari lantai.
"Tempat yang bagus," kata Nate pelan. "Pemandangan yang indah... untuk merencanakan pembunuhan massal."
Ethan tersentak seolah ditampar. "Nate, tidak seperti itu. Aku bisa jelaskan."
Nate akhirnya berbalik menghadapnya. Dan kebencian di matanya begitu murni, begitu kuat, hingga membuat Ethan mundur selangkah.
"Jelaskan?" ulang Nate, suaranya bergetar karena amarah yang tertahan. "Jelaskan apa, Ethan? Jelaskan bagaimana kau mengabaikan peringatanku? Jelaskan bagaimana kau lebih mempercayai Thorne daripada aku? Jelaskan memo sialan yang kau tandatangani itu?"
"Aku tidak tahu apa isinya!" kata Ethan putus asa. "Aku bersumpah, Nate! Aku tidak membacanya! Aku terlalu fokus pada..."
"Pada dirimu sendiri!" teriak Nate. "Pada proyek sialanmu! Pada Hadiah Nobelmu! Pada warisanmu! Kau begitu sibuk menjadi 'Ethan Pradana, Pahlawan Rakyat', kau lupa pada orang-orang kecil yang kau injak dalam perjalananmu ke puncak!"
"Itu tidak benar!"
"Tidak benar?!" Nate mengeluarkan data-padnya—yang sama yang berisi video Prometheus. Dia melemparkannya ke meja kopi kaca dengan suara keras. "Lihat itu! Lihat wajah-wajah mereka! Para pekerja yang kau sebut akan kau selamatkan! Lihat bagaimana mereka diperlakukan! Lihat bagaimana mereka mati! Dan kau... kau menandatanganinya!"
"Aku dijebak!" seru Ethan. "Thorne berbohong padaku! Rostova memanipulasiku!"
"OH, SEKARANG KAU PERCAYA PADAKU TENTANG ROSTOVA?!" Nate tertawa, tawa yang terdengar seperti pecahan kaca. "Terlambat, Ethan! Sudah terlambat!"
Dia melangkah maju, begitu dekat hingga Ethan bisa mencium bau alkohol murah samar di napasnya. "Clara percaya padamu," bisik Nate, suaranya pecah. "Dia pergi ke Mars untukmu. Dia pikir kau pahlawan yang dijebak. Dia pergi untuk mencari kebenaran yang akan menyelamatkanmu."
Dia mencengkeram bagian depan kemeja Ethan. "Dan kau membunuhnya."
"Tidak!" Ethan mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman Nate sekuat baja. "Itu kecelakaan! Maksudku... itu sabotase! Aku bisa membuktikannya! Aurora..."
"Jangan sebut nama mesin sialan itu!" bentak Nate, mendorong Ethan ke belakang hingga dia tersandung sofa. "Ini bukan salah mesin! Ini salahmu! Kelalaianmu! Kesombonganmu!"
Dia berdiri menjulang di atas Ethan, gemetar karena marah dan duka. "Dia memberiku ini," kata Nate, suaranya kini bergetar hebat. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah chip data kecil. "Pesan terakhirnya. Terenkripsi. Aku baru bisa membukanya pagi ini."
Ethan menatap chip itu, hatinya terasa dingin.
"Dia bilang... dia bilang dia menemukan bukti sabotase," lanjut Nate, air mata kini mengalir di pipinya tanpa dia sadari. "Dia bilang Thorne... dan Rostova... mereka sengaja melakukannya. Dia bilang dia akan mengirimkannya padaku." Dia menatap Ethan, matanya penuh tuduhan. "Tapi dia tidak pernah berhasil. Karena keamanan di sana terlalu ketat. Keamanan yang kau setujui dalam memo sialan itu!"
Ethan tidak bisa bernapas. Jadi Clara *tahu*. Dia hampir berhasil. Dan dia... dia telah membantu membungkamnya.
"Nate, aku tidak tahu..." bisik Ethan, rasa bersalah mengancurkan sisa pertahanannya.
"Tentu saja kau tidak tahu!" Nate tertawa lagi, tawa putus asa. "Kau tidak pernah tahu! Kau hidup di duniamu sendiri! Dunia persamaan dan hadiah Nobel! Kau tidak pernah benar-benar melihat kami, kan? Aku, Luna... Clara... kami hanya karakter pendukung dalam cerita epikmu!"
"Itu tidak benar! Kalian keluargaku!"
"Keluarga tidak melakukan ini!" teriak Nate. "Keluarga tidak mengorbankan satu sama lain demi ambisi! Keluarga tidak menandatangani surat kematian!"
Dia menendang meja kopi kaca itu. Kaca pecah berhamburan. Data-pad berisi video Prometheus jatuh ke lantai, layarnya retak.
"Aku membencimu," bisik Nate, menatap Ethan dengan mata penuh kebencian dan kehancuran. "Aku membencimu karena telah menjadi semua yang kita benci. Kau menjadi mereka, Eth. Kau menjadi monster itu."
Ethan hanya bisa menatapnya, air mata mengalir di wajahnya sendiri sekarang. Dia ingin berteriak bahwa itu tidak benar, bahwa dia dijebak, bahwa dia masih Ethan yang sama. Tapi kata-kata itu terasa hampa. Mungkin Nate benar. Mungkin dia *telah* berubah.
Nate berbalik, berjalan menuju pintu. Dia berhenti, tangannya di gagang pintu.
"Aku selesai," katanya pelan, tidak menoleh ke belakang. "Kita selesai. Jangan pernah hubungi aku lagi. Jangan pernah sebut namaku lagi."
Dia berhenti sejenak. "Kau bukan saudaraku lagi."
Pintu mendesis terbuka. Nate melangkah keluar. Pintu mendesis tertutup.
Ethan ditinggalkan sendirian di tengah kehancuran—kaca pecah, cokelat kering di lantai, dan hatinya sendiri yang terasa hancur berkeping-keping.
Dia telah kehilangan segalanya. Proyeknya. Reputasinya. Kebebasannya. Dan sekarang... saudaranya. Satu-satunya keluarga yang dia miliki.
Dia merosot ke lantai di antara pecahan kaca, tidak peduli jika itu melukainya. Dia meringkuk, memeluk lututnya, dan untuk pertama kalinya sejak dia masih kecil di panti asuhan, Ethan Pradana menangis. Menangis tersedu-sedu, tangisan seorang pria yang benar-benar sendirian di alam semesta.
Badai telah datang. Dan dia telah menelannya utuh.