Nara Anjani Sukma berada di situasi harus menikah dengan adik angkat pria yang akan melamarnya. Sakti Pradana tidak menduga ia akan bertukar jodoh dengan kakak angkatnya. Dua karakter bertolak belakang, pertemuan tak terduga dan pernikahan mendadak seperti tahu bulat, drama rumah tangga apa yang akan mereka jalani.
===
“Sudah siap ya, sekarang aku suamimu. Bersiaplah aku buat kamu bahagia jiwa dan raga.” Sakti Pradana.
“Aku penasaran, apa milikmu bisa sesakti namamu.” Nara Anjani Sukma
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Siapa Mereka
BAb 35
Tangan Nara bergerak mengusap tato di dad4 Sakti sambil berbaring dan dalam rangkulan suaminya. Baru saja menerima hukuman dari pria itu. Pengadilan yang aneh, siapa yang salah malah dihukum. “Hukuman enak,” ucap Sakti saat mereka memadu kasih.
“Ra, tanganmu begitu sama saja mancing huru hara. Tahu sendiri aku gampang bir4hi sama kamu. Udah menempel malah di us4p-us4p.”
“Diam, aku jadi capek mana ngantuk pula.”
“Ya sudah tidur saja. Nanti aku bangunkan.”
Tanggung, pikir Nara. Dia belum makan siang dan harus rapat untuk mendiskusikan siapa yang akan menjadi BA dari penjurian tadi. Menguap lalu merubah posisinya membelakangi Sakti.
“Kebiasaan suka belakangi suami.”
“Ngantuk, tanganmu kondisikan,” rengek Nara.
“Lah, aku cuma balas yang kamu lakukan tadi. Grepe-grepe.” Sakti terkekeh lalu menciumi tengkuk istrinya.
“Ra, kalau aku mendadak miskin, gimana?”
“Punya showroom, bahkan mau buka cabang. Sering drag race dan menang, gimana bisa miskin. Jangan bilang kamu mau nikah lagi,” sentak Nara lalu berbalik dan menjauhkan wajah Sakti.
“Ngaco ah. Aku bukan penganut poligami. Cukup kamu saja, sayang.”
“Terus ….”
Sakti menghela nafas lalu merebah dan menyilangkan tangan di belakang kepala menatap langit-langit kamar.
“Tadi aku pulang.”
Tidak melanjutkan ucapannya, pikiran dan pandangan Sakti menerawang. Nara menatap Sakti dengan tangan menyangga kepala.
“Kamu bertengkar?”
Sakti menggeleng. “Hubunganku dengan keluarga itu memang tidak harmonis, tapi aku berusaha menghormati mereka. Bagaimanapun aku diadopsi, rezeki yang aku dapatkan sekarang sedikit banyak karena mereka.”
Nara masih menyimak penjelasan Sakti.
“Ayah minta aku bantu usahanya. Aku jual showroom pun tidak akan cukup, apalagi modal tidak semua dari aku, Ra.”
“Temukan saja dengan Opa, dari awal tujuan mereka memang itu ‘kan?”
Sakti menoleh. “Kamu tahu?”
“Bisa ditebak. Jarang ada yang tulus, aku yakin opa sudah tahu itu. Bersyukur aku tidak menikah dengan Samir, bisa perang setiap hari. Biar aku yang atur pertemuan dengan Opa.”
“Jangan Ra. Nggak enak ke opa. Belum tentu usaha mereka stabil dan menguntungkan.”
“Biar opa yang putuskan. Dia sudah pengalaman 'kan ada Pak Ali, gampanglah itu.” Nara meraih ponselnya yang berdering. Sebagian badanya melewati wajah Sakti karena ponsel berada di atas nakas berseberangan dengannya.
“Ck, sengaja ‘kan?”
“Iya Wen,” jawab Nara. Sakti berulah, merebahkan tubuh Nara dan berulah lagi.
“Maaf, aku ganggu. Satu jam lagi, rapat kak.”
“Hm. Setengah jam lagi bawakan baju … ganti aku.” Nara menggigit bibir menahan suara dessahan.
“Sudah makan siang ka?”
Nara menggeleng.
“Sakti, diam,” bisik Nara. Namun, Weni dengan jelas bisa mendengar itu. “Pesankan sekalian, room service saja.” Nara mengakhiri pembicaraan, tidak ingin er4ngan dan dessahannya terdengar oleh Weni.
“Minggir, aku harus bersiap.”
“Sebentar, kita main cepat.”
***
Sakti masih bersandar pada head board, bersedekap dengan selimut menutup bagian bawah tubuhnya. Memperhatikan Nara yang sedang bersiap. sudah mandi dan memakai ganti dibawakan oleh Weni. Hanya setelan blouse putih dan rok cream. Rambut diikat ekor kuda dengan poni. Aksesoris kalung membuat penampilannya semakin menawan.
“Tidak usah menor, ngapain sih muka diwarna warni gitu.”
“Tidak usah bawel, siapa pula yang berantaki riasan aku tadi.”
Sakti berdecak. “Besok-besok pake yang agak panjang, itu kalau kamu duduk pasti tersingkap.” Maksud Sakti tentu saja rok yang dipakai Nara. Rasanya tidak rela, bagian tubuh indah istrinya dilihat orang lain.
“Pakai kaftan aja sekalian,” sahut Nara, memakai lagi heelsnya lalu menyemprotkan parfum.
“Wangi kamu ini Ra, ampun ya. Menggoda. Lihat punyaku langsung bereaksi lagi.” Nara mengambil bantal sofa dan dilemparkan pada Sakti yang langsung ditangkap. “Ingat kamu sudah punya suami, jangan menarik perhatian laki-laki.”
“Mereka aja yang baper dan mesum, aku tidak pernah tebar pesona dan sengaja menarik perhatian.”
Mendengar itu, Sakti mencibir.
“Udah beres ke sini lagi ya. Kita menginap aja-lah.”
“Perkembangan akta nikah kita gimana? Kok lama sih.”
“Kenapa? Udah nggak sabar aku hamili ya,” ejek Sakti lalu terkekeh.
“Tau ah.” Menahan diri untuk tidak mengatakan kalau dia tidak nyaman saat Sakti mengeluarkan di luar karena khawatir Nara hamil sementara legalitas pernikahan mereka belum ada. Seakan tujuan mereka bercint4 hanya karena hawa n4fsu.
“Nanti aku hubungi, seharusnya minggu ini sudah selesai.”
“Aku jalan.” Nara mendekat lalu mencium pipi Sakti.
“Hm.”
“Jangan khawatir, walaupun kamu miskin mendadak, kita bisa buka usaha dan kamu yang handle. Kalau mau, kamu bisa aku orbitkan, tapi sayang aku nggak mau.”
Sakti terkekeh. “Bucin.”
“Kamu yang bucin.” Nara meninggalkan kamar itu, ternyata Weni sudah menunggu tidak jauh dari lift dan menyampaikan pesan serta panggilan di ponsel kerja milik Nara.
“Tidak usah, tawaran untuk Sakti tidak usah dilanjut.”
“Tapi pihak mereka ingin bertemu dengan Mas Sakti dan Kak Nara, agak maksa juga.”
Pintu lift terbuka, Nara dan Weni melangkah masuk lalu menekan tombol lantai tujuan mereka.
“Nanti aku hubungi balik, setelah rapat. Kamu ingatkan saja.”
Sedangkan di kamar, Sakti menerima telpon dari Adi Wisesa. Rumah sakit untuk tes DNA sudah diputuskan. Menggunakan dua pilihan, satu rekomendasi dari Sakti dan satu lagi dari pihak Adi.
“Boleh siapkan sampelnya dan serahkan ke rumah sakit. Sepertinya Anda sibuk, jadi biar tim kami yang menjemput.”
“Iya, nanti aku kabari,” sahut Sakti.
“Baik. Jangan khawatir ada kecurangan karena kita sedang mencari bukti dan kepastian.”
“Ah iya, siapa mereka? Klien anda yang kemungkinan orang tuaku?” cecar Sakti.
“Itu ….”
\=\=\=\=\=
Abimanyu : Halah bucin
Sakti : kayak Lo nggak aja
Pandu : Kita jadi figuran di sini nggak sih? Pembaca gue mulai sepi
Kaisar : tau ya, author gak jelas
Sakti : Sogok aja pakai kuaci
apalagi sampe jilat lepehan sendiri
sakti harus keluarin kemampuan buat ngelawan orang2 penuh racunnn