Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sisa Harap
"Mas, aku pulang dulu, ya," pamit Bela pada suaminya.
Leo mengerutkan kening. "Sayang, kenapa cepat sekali. Bukannya kamu bilang mau lanjut ronde kedua setelah aku bangun?" godanya dengan senyum genit.
Bela mendesah pelan. "Aku sih mau-mau aja, Mas, tapi capek. Kamu tadi hajar aku sampai rasanya mau mampus," balasnya dengan cibiran setengah manja.
Leo terkekeh, menaikan alis. "Tapi kamu suka, kan?"
Bela sempat terdiam, lalu tersenyum malu. "Iya sih... tapi tetap aja aku capek. Ya sudah, aku pamit dulu ya. Sekalian mau jemput Adrian."
"Ya sudah, hati-hati di jalan," ujar Leo sambil kembali bersandar.
"Hm," gumam Bela singkat sebelum keluar.
Begitu melangkah keluar, wajahnya berubah kesal. "Sial, di mana sih dia sembunyiin berkas itu..."
Bela mengendarai mobilnya menuju sekolah Adrian dengan wajah masam, pikirannya masih dipenuhi rasa kesal. Sesampainya di gerbang sekolah Adrian, Adrian sudah berdiri menunggunya sambil menatap jam tangan.
Begitu masuk ke dalam mobil, Adrian langsung membuka percakapan. "Bagaimana, Mom? Mommy sudah dapat berkas itu?" tanyanya penasaran.
Bela menghela napas berat, tangannya meremas setir. "Belum," jawabnya ketus, jelas terlihat kekecewaan di wajahnya.
Adrian menoleh, mengamati wajah ibunya, lalu mencondongkan tubuh. "Mom, jangan khawatir. Kita pasti bisa nemuin itu. Aku yakin."
Bela melirik sekilas, lalu mengangguk kecil. "Iya, Mommy juga yakin. Cuma... harus lebih hati-hati."
••
Calista tersenyum tipis, mengingat saat Xavier datang kerumahnya dan tanpa sadar memberinya kekuatan lewat obrolan sederhana.
"Makasih, Vier... kamu alasan aku masih bisa tersenyum sampai sekarang," bisiknya pelan.
Namun senyum itu perlahan memudar ketika kenyataan kembali menyapa. Usianya mungkin tak akan panjang. Tatapannya jatuh pada cermin di depannya, lalu tangannya terulur, menyentuh helaian rambut yang kembali rontok digenggamannya.
Calista menarik napas dalam, berusaha menahan gejolak di dadanya. "Aku harus kuat..." bisiknya lirih, seakan meyakinkan dirinya sendiri. Ia merapikan rambutnya yang jatuh di telapak tangannya, lalu menyembunyikannya di laci meja rias agar tak ada yang tahu. Dalam hati, Calista berharap Xavier tidak pernah melihat sisi rapuhnya ini. Karena di depan Xavier, ia ingin selalu terlihat seperti gadis yang ceria yang ia kenal—bukan seseorang yang sedang dihitung waktunya.
Tangannya meraih buku kecil berwarna merah muda yang selalu ia sembunyikan di bantal. Calista membuka halaman kosong, pena di tangannya bergetar. Ia menulis dengan hati-hati.
Xavier... kalau suatu hari aku gak bisa lagi tersenyum di depanmu, semoga tulisan ini bisa jadi bukti kalau kamu pernah jadi alasan terindah dalam hidupku.
Air matanya jatuh menodai tinta, namun cepat ia menghapusnya dengan punggung tangan, tak ingin kata-kata itu terlihat rapuh.
Ia menutup buku itu pelan dan memeluknya erat ke dada, seolah dengan begitu ia bisa menitipkan seluruh perasaan yang tak pernah ia ucapkan langsung. "Jangan pernah tahu dulu, ya... biar aku tetap jadi Calista yang kuat di matamu," bisiknya dengan senyum yang dipaksakan.
Ponsel Calista bergetar, layar menampilkan nama Xavier. Ini bukan pertama kalinya Xavier menelpon larut malam. Calista sudah mulai terbiasa dengan panggilan tak terduga itu, tapi tetap saja hatinya berdebar tiap kali nama Xavier muncul di layar ponsel. Ia segera mengangkatnya.
"Lo belum tidur?" suara Xavier terdengar datar, khas dirinya.
"Belum, ada apa Vier?" tanya Calista pelan, mencoba terdengar biasa meski hatinya hangat.
"Hm... bantu gue kerja tugas buat besok," jawab Xavier singkat, seakan itu alasan utama.
Calista tersenyum kecil, merasa Xavier hanya mencari cara untuk tetap terhubung. "Tentu boleh, kirim aja fotonya. Kita bareng lewat VC, ya?"
"Hm, ya udah. Jangan lama-lama angkat, gue males nunggu," ucap Xavier dingin, tapi di ujung kalimatnya samar terdengar nada lega.
Calista terkekeh kecil, senyumnya kembali muncul. Padahal cuma alasan, tapi cukup bikin aku merasa lebih hidup, batinnya.
Panggilan Video akhirnya tersambung. Wajah Xavier muncul di layar, rambutnya agak berantakan seperti baru saja rebahan. Calista menahan senyum, sementara Xavier hanya melirik sebentar.
"Ngapain senyum-senyum? Gue belum ngomong apa-apa," katanya datar.
"Hehe, nggak kok. Jadi, tugas apa?" balas Calista sambil mengambil buku.
Xavier menghela napas pelan. "Matematika. Gue benci banget rumus ini." ia menatap kertasnya, lalu tanpa sadar mulai cerita. "Tadi siang gue ketiduran di kelas, terus guru malah nyuruh gue maju ngerjain soal... semua orang ketawa. Gue malas banget."
Calista terkikik mendengarnya. "Pantas kamu nelpon aku, biar gak ketahuan kalau sebenarnya pintar."
"Pintar apanya? Lo aja yang sok nyemangatin." Xavier bergumam, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit. Ia melanjutkan, "Lo tahu gak, pas gue jawab salah tadi, ada anak yang nyeletuk, katanya muka gue datar kayak papan tulis. Sumpah pengen gue timpuk pakai penghapus."
Calista tertawa semakin keras. "Astaga, itu jahat banget. Tapi... aku malah kebayan lucu, Xavier marah tapi mukanya tetap datar."
Xavier mengangkat alis, menatap layar dengan ekspresi dingin khasnya. "Lo ketawa terus... ya sudah, bagus deh. Itu yang gue mau."
Deg! Senyum Calista langsung melembut, menyadari di balik dinginnya, Xavier sebenarnya peduli.
Calista masih tersenyum sambil mengusap sudut matanya yang sedikit berair karena terlalu banyak tertawa. "Kamu... selalu bisa bikin aku lupa sama hal-hal berat."
Xavier diam sebentar, matanya menatap layar seakan ingin memastikan senyum itu nyata. "Ya sudah, berarti tujuan gue berhasil." ia berpura-pura sibuk menulis sesuatu di kertas, padahal senyumnya nyaris tak bisa disembunyikan.
"Tujuan?" tanya Calista heran.
"Biar lo nggak kepikiran aneh-aneh. Gue nggak suka liat lo diam dan kayak... nahan semua sendiri." ucapnya terdengar santai, tapi nada suaranya lebih jelas hangat.
Calista tertegun, hatinya hangat seakan semua beban menguap begitu saja. Malam ini, untuk pertama kalinya setelah lama merasa rapuh, ia bisa tertawa lepas hanya karena Xavier bercerita hal sederhana.
Obrolan mereka berlanjut sampai larut. Xavier masih sempat melemparkan candaan singkat sebelum akhirnya tak sadar tertidur di depan laptopnya.
Calista menatap layar dengan senyum kecil. "Selamat Malam, Vier..." bisiknya lembut. Tangannya perlahan menyentuh layar, seakan ingin meraih sosok di seberang sana.
Dalam hati, ia berdoa lirih, "Tuhan... kalau boleh, beri aku sedikit lebih banyak waktu. Aku masih ingin menikmati hari-hari ini, bersama dia."
Senyumnya bertahan, meski matanya perlahan berkaca-kaca.
Xavier sebenarnya tidak benar-benar tertidur. Matanya masih terbuka sedikit, menatap layar yang memperhatikan Calista mengusap kaca monitor seolah menyentuhnya. Seketika sudut bibirnya terangkat tipis, senyum langka yang jarang sekali muncul diwajahnya.
Beberapa menit kemudian, napas Calista mulai teratur. Gadis itu tertidur dengan wajah damai.
Xavier menatapnya sejenak lalu berbisik, "Tidurlah nyenyak, Calista."
Ia mengecilkan volume panggilan, membiarkannya tetap tersambung—seakan ingin tetap berjaga di sisi gadis itu, walau hanya lewat layar.