Sebuah karya yang menceritakan perjuangan ibu muda.
Namanya Maya, istri cantik yang anti mainstream
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.Fahlefi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Riboet
Pagi hari, Maya mendapati Gilang tidur di ruang tengah. Entah jam berapa laki-laki itu pulang semalam. Bau rokok masih menempel di bajunya. Maya tidak membangunkannya, Gilang sudah terbiasa seperti ini. Berdebat, ribut dan keluar rumah dan pulang larut. Maya tidak ingat kapan terakhir kali mereka berdua hidup normal sebagai pasangan suami istri. Seperti malam sebelum tidur mereka berbincang ringan, bercerita mengenai anak, mengenai pekerjaan, mengenai segala hal untuk berbagi. Jadi hal seperti ini sudah normal-normal saja.
Maya memutuskan beberes rumah, merendam pakaian, juga menyapu halaman. Setelah semua pekerjaan selesai Maya memberanikan diri untuk mengambil dompet Gilang yang tergeletak di samping tubuhnya. Maya menghela nafas melihat isinya.
Didalamnya ada beberapa lembar uang 20 ribuan, tiga lembar uang 50 ribu dan selembar uang 100 ribu. Maya cepat-cepat mengambil 50 ribunya sebelum Gilang bangun. Lalu meletakkannya kembali.
Setelahnya Maya pun belanja untuk kebutuhan dapur. Cukup untuk masak hari ini saja.
Maya sebenarnya takut mengambil uang itu. Tapi ketakutannya masih kalah dengan takutnya ia melihat Sari merengek lapar. Lagian perut Maya juga sudah lama tidak diisi oleh makanan yang layak. Mengambil selembar duit dari suaminya sendiri tentu bukan sebuah dosa. Itu sudah beberapa kali dilakukannya. Entah Gilang sadar atau tidak, tapi yang jelas ia juga punya hak atas uang itu.
"Eh Maya, tumben pagi-pagi gini udah belanja?" Sapa seorang ibu yang berbelanja di warung.
Maya tersenyum tipis, "Iya Mbak, soalnya isi dapur udah kosong."
"Lagian kamu harus sering-sering belanja di warung ini, jangan belanja bulanan di kota terus. Biar makin kenal sama warga-warga sini." Celetuk seorang ibu lagi.
"Maklumlah bu, suami Maya kan kerjanya kantoran, PNS lagi. Pasti ya.. kalau dipikir-pikir mana level belanja di warung kecil."
Maya hanya tersenyum kecil mendengar celetukan ibu-ibu itu. Dalam hatinya penuh sesak. Belanja bulanan? Memang benar Gilang seorang PNS, bukan berarti kehidupan mereka baik-baik saja.
"Eh ya, kemarin kalau gak salah Mas Gilang nyumbang banyak di acara 17an? Kamu beruntung sekali Mbak Maya, udah suaminya PNS, baik pula." Kata ibu-ibu itu lagi.
Mata Maya membulat mendengar perkataan mereka.
"Nyumbang?" Tanya Maya terkejut.
"Iya, malah mas Gilang katanya penyumbang terbesar."
Maya meremas jemarinya. Padahal, ia kemarin saja cuma makan pucuk ubi, Sari bahkan sekolah dengan sepatu sudah robek.
"Mbak Maya nggak tahu?"
"Eh, itu.. iya Bu, saya hampir lupa." Maya buru-buru menutupi keterkejutannya. Tidak mungkin ia bilang kalau Gilang itu pelitnya luar biasa, lebih mementingkan luar dari pada rumah tangganya.
Maya mempercepat belanjanya dan pergi dari sana sebelum hatinya bertambah panas.
Di rumah Maya masih memikirkan perkataan ibu-ibu di warung. PNS? Donatur terbesar? Suami baik?
'Ciihh'
Maya ingin meludah, emosinya memuncak, dadanya panas karena kontras yang begitu nyata antara kelakuan Gilang di luar dan di dalam rumah. Meskipun Maya baik, tapi ia tidak bisa sesabar batu yang tahan untuk diinjak terus dan diam di tempat.
"May, buatkan aku kopi." Suara Gilang terdengar dari ruang tengah saat Maya sedang mengulek cabe. Rupanya laki-laki itu sudah bangun.
Maya terus mengulek cabe sambil membayangkan kalau yang diuleknya itu adalah wajah Gilang. Ia pura-pura tidak mendengar.
"Maya! Kamu denger nggak sih? Buatin aku kopi!!" Suara Gilang semakin keras.
Emosi yang memuncak membuat bibir maya bergetar dan menjawab, "Buat sendiri! Setan!" Katanya dengan nada sedikit tinggi, tapi melemah saat mengatakan kata terakhir.
Gilang pun langsung berdiri dari tempat ia tidur dan menuju ke dapur.
"Barusan kamu ngomong apa? Sesekali kamu itu harus menjadi istri yang baik. Kamu nggak tahu kalau aku ngantuk?"
"Kalau ngantuk ya tidur, bukan minum kopi." Ucap Maya tanpa menoleh.
Dada Gilang naik turun melihat Maya yang melawan.
"Kamu ngelawan aku? Ingat, aku itu suami kamu!"
Dengan bibir yang cemberut Maya akhirnya mengalah. Ia membuatkan kopi. Ia malas ribut meski hatinya masih panas.
Itulah hebatnya Maya, meskipun ia tahu kalau suaminya kasar dan tidak peduli, uang 50 ribu yang diambilnya tadi dia sisihkan untuk membeli kopi. Karena ia tahu Gilang pasti minta kopi kalau melihatnya belanja. Ia masih memikirkan suaminya.
Setelah selesai membuat kopi Maya melanjutkan memasak.
Di ruang tengah Gilang asyik bermain hp dan menyeruput kopi buatan Maya. Sesekali ia terkikik melihat video-video tok-tok, konten-konten lucu seolah hidupnya tidak punya tanggungan.
Maya yang capek di dapur sesekali melirik tingkah suaminya itu. Ingin sekali ia melempar wajan, melempar gelas kaca paling besar tepat di wajah Gilang. Tapi Maya sadar kalau itu akan membuatnya masuk penjara.
Jika saja bukan karena Gilang adalah pilihan hatinya dulu, jika bukan karena Sari anak mereka, Maya tidak punya alasan lagi untuk bertahan dengan laki-laki brengsek itu.
"May, kamu jadi mencari kerja?" Ucap Gilang tiba-tiba.
"Jadi." Maya menjawab pendek.
"Ingat, kamu itu masih ada tanggung jawab di rumah. Jangan gara-gara pekerjaan kamu lupa tugas disini."
Maya ingin sekali meremas mulut suaminya itu. Tapi Maya tetap berusaha tenang. Padahal, ia memutuskan mencari kerja karena Gilang tidak pernah memberinya uang yang cukup.
"Kalau abang ngasih aku duit cukup, aku nggak akan mungkin mau kerja." Ucap Maya akhirnya.
Gilang menoleh ke arah dapur, ke arah Maya yang berdiri sambil melotot padanya.
Tapi Gilang sepertinya hari ini punya suasana hati yang baik. Ia tidak tersinggung malah tertawa kecil melihat istrinya berdiri dengan bibir yang mengerucut.
"Udahlah, terserah kamu saja. Biar kamu tahu jika mencari pekerjaan itu susah, apalagi di kampung seperti ini!" Kata Gilang lalu menyesap kopinya yang masih hangat.