"Harus berapa kali aku katakan, aku ini masih istri orang, dan aku tidak ingin menjadi seperti mereka dengan membiarkanmu terus mendekat dan memberiku perhatian. Aku harap kamu mengerti maksudku," kata Tiara penuh permohonan.
Senja menatapnya lekat. "Tiara, aku jelas mengerti apa maksudmu, tapi aku melakukan semua ini bukan untuk mengajakmu berselingkuh. Aku hanya ingin menunjukkan rasa cintaku padamu. Itu saja, tidak lebih."
Yaa Tuhan... Senja ini benar-benar keras kepala, membuat wanita itu bingung bagaimana lagi harus menghadapinya.
"Dan jika alasanmu mendorongku menjauh karena statusmu, aku akan memberimu jalan keluar. Aku akan membayar pengacara untuk mengurus perceraian kalian di pengadilan. Kamu di sini tinggal terima beres saja," kata Senja lagi menatap Tiara dengan ekspresi serius.
Baca cerita selengkapnya hanya di sini>>>
Dan jangan lupa follow IG @itayulfiana untuk lebih kenal dengan penulis😉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ita Yulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SETIA — BAB 35
POV Tiara
"Ardhaaan... Bunda kangen, Nak." Aku berlari pelang menghampiri putraku yang baru turun dari mobil. Kata Reyhan, dia baru saja membawanya bermain di Time Zone sampai puas, dan mereka baru pulang setelah hampir pukul 8 malam.
"Bunda...." Ardhan balas memelukku erat. "Bunda, kapan sih Bunda pulang ke rumah? Aku rindu tidur bareng Bunda."
Aku tersenyum, seraya melepas pelukan kami. Kutatap wajah putraku yang cemberut lamat-lamat, matanya sedikit berair, dengan kedua alis mengkerut. "Sabar ya, Sayang. Bunda pasti pulang, tapi tunggu sampai kondisi ayahmu membaik, yah."
Ardhan mengangguk paksa. Semenjak Mas Arkan dirawat di rumah sakit, yang mengurus Ardhan di rumah, mengantar jemputnya sekolah adalah Reyhan. Tapi terkadang digantikan oleh Bapak jika sedang ada jadwal kuliah pagi. Sementara saat malam hari, Ardhan tidur ditemani Reyhan kalau tidak tidur bersama ibu dan bapak.
"Anak Bunda happy gak mainnya? Kata Om Rey, kamu habis main sampai puas di Time Zone." Aku mengelus puncak kepalanya, mencoba mengalihkan perhatian dengan mengubah topik pembicaraan. Cara itu berhasil, karena ekspresi Ardhan yang tadinya sendu mendadak jadi antusias.
"Happy banget dong, Bund," katanya, tersenyum dengan lebar, lalu berlari pelan membuka pintu mobil bagian belakang. "Bund, lihat! Aku punya banyak mainan baru."
Aku yang penasaran segera berjalan mendekat. Mataku langsung membulat kala melihat jok penumpang bagian paling belakang full dengan kardus mainan baru.
"Astaga, Sayang, dari mana kamu mendapatkan mainan sebanyak ini?" Jelas aku merasa sangat terkejut, sebab yakin Reyhan tak mampu membeli semuanya, ditambah Ardhan juga tidak pernah diberikan uang jajan berlebihan. Jadi, pertanyaan yang kini muncul membebani otakku adalah, dari mana mereka mendapatkan uang untuk membeli semua ini.
"Rey, coba jelaskan padaku, dari mana semua mainan ini?" tanyaku pada Reyhan yang sejak tadi diam saja di balik kemudi.
"Tanya sendiri aja sama Ardhan, Kak, gak usah aku yang jawab," ucap Reyhan, dan tanpa aku bertanya kembali, Ardhan sudah mulai menjelaskan padaku.
"Ini semua teman Bunda yang belikan."
Keningku berkerut. "Teman Bunda? Teman Bunda yang mana, Dhan?"
"Om Daddy, Bund. Dia orangnya baik banget. Aku suka."
"Om Daddy itu siapa, Sayang? Seingat Bunda, Bunda gak punya teman yang namanya Daddy," kataku. Ardhan terdiam, sementara perasaanku mendadak tak baik. Satu-satunya orang yang bisa menjawab pertanyaanku dengan jelas hanyalah Reyhan, tidak ada yang lain lagi. "Rey, jelaskan. Jangan diam aja. Siapa om Daddy yang dimaksud oleh Ardhan? Kamu pasti tahu siapa orang itu.
Reyhan sempat terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku, "Om Daddy yang dimaksud Ardhan adalah... bang Senja."
***
Tanganku menggenggam erat ponsel yang kutempelkan di telinga, jantungku berdegup kencang seperti mau meledak! Aku berjalan bolak-balik seperti singa di kandang di depan ruang ICU. Sudah dering ketiga, tetapi Senja belum juga menjawab panggilanku, membuatku merasa semakin marah saja.
"Dia pasti sengaja mengabaikan panggilanku," ucapku, mencoba untuk melakukan panggilan sekali lagi, tapi tetap saja panggilanku tak dijawab. Akhirnya, aku memutuskan untuk berhenti dan lebih memilih mengirim pesan saja : Tolong jangan berlebihan dalam mendekati putra saya.
Saya tidak menyangka bahwa ternyata kamu orangnya selicik itu.
Ardhan itu masih sangat polos, tidak pantas jika kamu menyogoknya dengan banyak mainan hanya agar dia menyukai kamu.
Dan juga, jangan mengajari anak saya untuk memanggil kamu ayah, karena ayahnya yang sesungguhnya masih ada dan masih hidup.
Aku menghela napas kasar setelah mengirim beberapa pesan ke nomor WhatsApp Senja. Semoga saja dia membacanya dan segera sadar diri.