Yunita, siswi kelas dua SMA yang ceria, barbar, dan penuh tingkah, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis saat orang tuanya menjodohkannya dengan seorang pria pilihan keluarga yang ternyata adalah guru paling killer di sekolahnya sendiri: Pak Yudhistira, guru Matematika berusia 27 tahun yang terkenal dingin dan galak.
Awalnya Yunita menolak keras, tapi keadaan membuat mereka menikah diam-diam. Di sekolah, mereka harus berpura-pura tidak saling kenal, sementara di rumah... mereka tinggal serumah sebagai suami istri sah!
Kehidupan mereka dipenuhi kekonyolan, cemburu-cemburuan konyol, rahasia yang hampir terbongkar, hingga momen manis yang perlahan menumbuhkan cinta.
Apalagi ketika Reza, sahabat laki-laki Yunita yang hampir jadi pacarnya dulu, terus mendekati Yunita tanpa tahu bahwa gadis itu sudah menikah!
Dari pernikahan yang terpaksa, tumbuhlah cinta yang tak terduga lucu, manis, dan bikin baper.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 — Bulan Madu Rahasia Guru dan Murid
Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin yang bercampur wangi kelapa muda. Ombak kecil berkejaran di bibir pantai, menciptakan irama alami yang menenangkan.
Di tengah pemandangan itu, seorang gadis dengan topi jerami duduk di kursi pantai, memegang es kelapa muda yang hampir tumpah. Gaun putih selututnya berkibar ditiup angin.
“Pak… aku masih gak nyangka, akhirnya kita beneran ke sini,” ucap Yunita sambil tersenyum lebar.
Dari balik kacamata hitam, Yudhistira menatapnya. Ia mengenakan kaus putih polos dan celana pendek hitam pemandangan langka bagi siapa pun yang mengenalnya sebagai guru killer di sekolah.
“Kan kamu yang minta liburan ke pantai. Katanya pengen lihat aku pakai kaus, bukan kemeja,” jawabnya datar.
“Tapi aku gak nyangka Bapak bisa kelihatan seganteng ini kalau gak pakai kemeja,” bisik Yunita setengah menggoda.
“Jadi selama ini aku gak ganteng?” tanya Yudhistira
“Ganteng sih… tapi kayak kepala sekolah. Sekarang lebih kayak cowok-cowok di drama Korea!”
Yudhistira meliriknya tanpa ekspresi. “Kamu nonton drama Korea terlalu sering.”
Yunita terkikik. “Tapi Bapak lebih keren dari mereka. Cuma… tolong jangan ngomel di pantai, ya. Nanti penyu pada minggat.”
“Kalau penyu bisa minggat karena aku ngomel, berarti suaraku luar biasa.” jawab Yudhistira
“Luar biasa nyebelin maksudnya!” sambung Yunita, lalu Yunita melemparkan pasir ke arah suaminya. Yudhistira refleks menghindar, tapi malah tertawa kecil. Tawa itu jarang muncul di sekolah, dan Yunita merasa hangat setiap kali mendengarnya.
Mereka menginap di sebuah vila kecil di pinggir pantai Lombok. Hanya berdua tanpa murid, tanpa gosip, tanpa jadwal rapat sekolah. Hanya mereka.
Malamnya, Yunita berjalan ke balkon sambil membawa dua cangkir cokelat panas. Lautan di depan mereka berkilau diterpa cahaya bulan.
“Pak…” katanya lembut.
“Hm?”
“Bapak bahagia gak, sekarang?”
Yudhistira menatap laut sejenak sebelum menjawab. “Bahagia itu relatif, tapi malam ini aku rasa cukup sempurna.”
Yunita menatapnya heran. “Bapak selalu jawab kayak dosen filsafat.”
“Kalimatmu barusan seperti catatan murid yang males berpikir.”
“Pak!!” protes Yunita sambil menepuk bahunya. “Aku serius.”
Yudhistira menatap wajah istrinya lama-lama, lalu berkata pelan, “Aku bahagia karena kamu selalu bikin hari-hariku penuh warna. Dulu hidupku cuma seputar angka, nilai, dan disiplin. Sekarang, ada tawa… ada kamu.”
Yunita menunduk malu, pipinya merona. “Bapak ngomong gitu bikin aku deg-degan.”
“Deg-degan karena cinta?”
“Karena kaget Bapak bisa seromantis itu.”
Yudhistira tersenyum tipis, lalu menyesap cokelat panasnya. “Kadang, romantis itu muncul tanpa latihan. Sama kayak kamu spontan, tapi ngena.”
Yunita hanya bisa memeluk dirinya sendiri, mencoba menutupi wajah yang merah padam. Tapi jantungnya berdebar, benar-benar berdebar.
---+
Keesokan paginya, mereka berjalan di sepanjang pantai sambil bergandengan tangan. Langit biru jernih, burung-burung terbang rendah. Yunita mengenakan topi jerami yang sama, sementara Yudhistira menenteng kamera kecil.
“Pak, Bapak mau foto aku gak?” tanya Yunita sambil menatap laut.
“Kalau aku jawab ‘tidak’, kamu marah?”
“Banget!”
“Kalau aku jawab ‘ya’, kamu minta foto seratus kali?”
“Dua ratus!”
“Berarti aku tetap rugi.”
“Pak!!!”
Yunita mendorong bahunya, membuat Yudhistira tertawa kecil. Akhirnya, ia mengangkat kamera dan mulai memotret.
“Lihat ke kiri sedikit. Senyum.”
Klik.
“Sekarang lompat kecil.”
Klik.
“Sekarang pose natural.”
Yunita langsung pura-pura tersandung dan tertawa. “Gitu natural?”
“Kalau kamu jatuh beneran, baru natural.”
“Pak Yudis jahat banget, aku istri loh!”
“Justru karena istri, aku tahu kamu kuat.”
Yunita memelototinya, tapi bibirnya tak bisa menahan senyum.
Siangnya, mereka duduk di bawah pohon kelapa sambil makan nasi bungkus. Yunita membuka bekal yang dibelinya dari warung pinggir jalan.
“Bapak yakin mau makan ini?” tanyanya sambil menunjuk sambal merah menyala.
“Kenapa tidak?”
“Pedasnya bisa bikin naga nangis, Pak.”
“Kalau naga aja bisa nangis, berarti aku cuma keringetan.”
Tiga menit kemudian, Yudhistira batuk keras sambil mencari air mineral.
Yunita terbahak. “Tuh kan! Aku udah bilang!”
“Pedasnya… ekstrem,” ujar Yudhistira dengan wajah merah padam.
“Minum nih, Pak,” kata Yunita sambil menyerahkan air, masih tertawa. “Tapi lucu banget, lihat Bapak sampai kepedesan.”
“Lucu bagi kamu, tapi bagi lidahku tragedi.”
Mereka berdua tertawa sampai perut sakit. Tak ada guru, tak ada murid, tak ada peraturan. Hanya dua orang yang saling jatuh cinta dengan cara sederhana.
Malam terakhir di Lombok, mereka duduk di pinggir pantai sambil menatap bintang. Angin lembut berhembus, dan suara ombak menjadi latar alami.
“Pak…” bisik Yunita.
“Hm?”
“Kalau aku belum jadi murid Bapak dulu, kira-kira kita bakal ketemu gak?” tanya Yunita
Yudhistira menatap bintang. “Mungkin. Tapi gak akan dengan cara yang sama.”
“Berarti takdir ya, Pak?” ujar Yunita
“Bisa jadi,” ujarnya pelan. “Kamu muncul di saat aku butuh seseorang untuk mengingatkan bahwa hidup gak selalu harus kaku.”
“Dan Bapak muncul di hidupku waktu aku lagi kehilangan arah.”
Mereka saling berpandangan. Tak ada kata-kata lagi. Hanya suara ombak, dan detak jantung yang seirama.
Yunita lalu menyandarkan kepalanya di bahu Yudhistira. “Janji ya, setelah ini jangan sibuk banget. Aku gak mau cuma ketemu Bapak di ruang guru.”
“Kalau kamu rajin bantu di sekolah, kita bisa ketemu tiap hari.”
“Pak!! Aku ngomong serius!”
Yudhistira tersenyum, lalu mengusap rambutnya. “Baiklah. Aku janji, akan ada waktu buat kita. Karena kamu bukan cuma bagian dari sekolahku, kamu rumahku.”
Yunita terdiam. Air matanya menetes, tapi bukan karena sedih.
“Bapak tahu gak,” katanya pelan, “itu kalimat paling romantis yang pernah aku dengar.”
Bersambung.
yo weslah gpp semangat Thor 💪 salam sukses dan sehat selalu ya cip 👍❤️🙂🙏