Kumpulan kisah misteri menceritakan tentang cerita legenda misteri dan horor yang terjadi di seluruh negeri berdasarkan cerita rakyat. Dalam kisah ini akan di ceritakan kejadian-kejadian mistis yang pernah terjadi di berbagai wilayah yang konon mwnjadi legenda di seluruh negeri bahkan banyak yang meyakini kisah ini benar-benar terjadi dan sebagian kisah masih menyimpan kutukan sampai sekarang, Di rangkai dalam kisah yang menyeramkan membuat para pembaca seperti merasakan petualangan horor yang menegangkan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqbal nasution, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5b. Kubu Aneuk Manyak
Hari itu, daerah Pidie dipenuhi hiruk-pikuk. Hari pekan memang selalu menjadi waktu yang ditunggu—pasar penuh sesak dengan pedagang dan pembeli, suara tawar-menawar bersahutan, bau rempah, ikan asin, hingga suara lenguhan sapi dan kambing bercampur menjadi satu.
Di tengah keramaian itu, Ramli dan Murhaban sibuk menjaga dagangan mereka. Murhaban tengah menata kain dan kopi, sementara Ramli mengikat seekor kambing agar tidak lepas.
Di kejauhan, tampak Maisarah berjalan bersama seorang temannya. Wajahnya tertutup kain tipis, namun matanya yang bening menyorotkan keceriaan. Ia berhenti sejenak di depan lapak Ramli.
“Assalamualaikum, bang Ramli,” sapa Maisarah lembut.
Ramli tersenyum, meski hatinya bergetar. “Waalaikumussalam, dek Maisarah. Mari singgah, lihat-lihat dagangan kami.”
Murhaban yang sejak tadi menunduk, kini mengangkat wajahnya. Saat tatapannya bertemu dengan Maisarah, ada sejenak dunia seakan terhenti. Senyap di telinganya, hanya ada wajah ayu Maisarah yang membuat dadanya berdebar tak karuan.
Ramli, dengan polosnya, memperkenalkan,
“Ini sahabat sekaligus juragan daganganku, namanya Murhaban, asalnya dari Meulaboh. Dan ini…” suaranya sedikit bergetar, “Maisarah, tetanggaku sejak kecil.”
Maisarah tersenyum sopan, menunduk sedikit. “Senang berkenalan, bang Murhaban.”
Murhaban menelan ludah, mencoba menyembunyikan rasa yang tiba-tiba hadir. “Sama-sama, dek Maisarah. Kehormatan bagi saya bisa berkenalan.”
Percakapan singkat itu tak lebih dari beberapa kata. Namun di hati Murhaban, sesuatu mulai tumbuh—kekaguman yang tak ia duga.
Ramli tak menyadari apa yang terjadi di mata sahabatnya itu. Ia masih sibuk menunjukkan dagangan pada Maisarah dan temannya, sementara Murhaban hanya bisa menatap sekilas, takut jika tatapannya terbaca terlalu dalam.
Hari pekan itu bukan hanya mempertemukan pedagang dan pembeli, tetapi juga menautkan takdir tiga hati yang kelak akan diuji oleh waktu—Ramli, Maisarah, dan Murhaban.
Ketika Maisarah dan temannya melangkah meninggalkan lapak, Ramli menatap punggungnya dengan senyum getir, lalu kembali sibuk merapikan dagangan. Murhaban, sebaliknya, masih terdiam sejenak, seolah bayangan wajah Maisarah belum juga hilang dari pandangannya.
“Cantik, bukan?” tiba-tiba suara Ramli memecah lamunannya.
Murhaban tersentak, buru-buru menunduk. “Siapa?” tanyanya pura-pura tak mengerti.
Ramli terkekeh kecil. “Maisarah. Ia memang sederhana, tapi kecantikannya memikat. Semua pemuda di kampungku tahu itu. Hanya saja, hatinya sulit ditebak. Aku pun…” Ramli menghentikan kalimatnya, menarik napas dalam, “aku pernah menyatakan isi hatiku padanya. Tapi Maisarah menolakku dengan sopan. Katanya, aku hanya abang baginya.”
Murhaban menoleh, menatap sahabatnya itu dengan wajah iba. Tapi di balik matanya, ada gejolak lain yang berusaha ia sembunyikan—gejolak yang tumbuh sejak tatapan pertama tadi.
“Aku mengerti, Ramli,” ucap Murhaban perlahan. “Kadang yang kita harapkan tidak selalu menjadi milik kita. Tapi kau harus kuat.”
Ramli tersenyum tipis. “Aku sudah ikhlas. Mungkin memang bukan aku jodohnya. Tapi entahlah, Murhaban… setiap melihatnya, hati ini tetap bergetar.”
Murhaban hanya terdiam, menunduk dalam-dalam sambil meremas tangan di pangkuannya. Ia merasa bersalah, tapi juga tak kuasa menolak kenyataan bahwa dirinya pun kini mulai terpesona oleh Maisarah.
Hiruk pikuk pasar kembali terdengar di sekeliling mereka, namun di antara Murhaban dan Ramli, ada keheningan yang tak terlihat, sebuah rahasia hati yang kelak akan mengguncang persahabatan mereka.
*****
Malam itu, langit Pidie diterangi cahaya bulan separuh. Pasar yang siang tadi ramai kini sepi, hanya tersisa suara anjing kampung menggonggong dari kejauhan. Di sebuah rumah singgah sederhana tempat para pedagang beristirahat, Murhaban dan Ramli duduk berdampingan setelah seharian lelah berdagang.
Ramli merebahkan tubuhnya, menatap atap bambu di atas kepala. “Murhaban,” katanya lirih, “kau tahu… meski Maisarah menolak cintaku, aku tetap ingin menjaganya. Bukan sebagai calon istri, tapi sebagai adik yang sudah aku sayangi sejak kecil. Itu sudah cukup bagiku.”
Murhaban hanya mengangguk, menahan perasaan yang bergejolak di dadanya. Ia ingin berkata jujur bahwa hatinya terpikat pada Maisarah sejak pertama kali menatap mata bening gadis itu siang tadi. Namun kata-kata itu seakan terkunci. Bagaimana mungkin ia tega melukai sahabat yang sudah seperti saudara sendiri?
“Aku beruntung punya sahabat sepertimu, Murhaban,” lanjut Ramli dengan senyum tulus. “Kau selalu ada di sisiku. Seandainya aku kehilangan Maisarah, setidaknya aku tidak kehilangan kau.”
Kalimat itu menusuk hati Murhaban. Ia memalingkan wajah ke jendela, menatap bulan yang menggantung. Dalam hatinya, ia berbisik: Ramli, aku bersyukur atas persahabatan ini… tapi bagaimana jika hatiku mulai mencintai orang yang kau cintai?
Kesunyian menyelimuti ruangan. Ramli perlahan terlelap, napasnya teratur. Sementara Murhaban tetap terjaga, gelisah, hatinya berkecamuk antara persahabatan dan rasa cinta yang mulai tumbuh.
Di luar, angin malam berhembus lembut. Seolah membawa bisikan takdir bahwa jalan di hadapan mereka tidak akan lagi mudah, sebab antara mereka dan Maisarah, akan terjalin sebuah cerita.
Hari pekan kembali tiba di Pidie. Hiruk-pikuk pasar sama ramainya seperti biasa: suara ibu-ibu menawar kain, bau ikan asin bercampur dengan aroma rempah, dan teriakan pedagang yang menawarkan dagangannya.
Murhaban duduk di lapak dagangan, sementara Ramli sedang pergi mengantar sapi pesanan seorang saudagar kaya ke kampung sebelah. Untuk pertama kalinya, Murhaban menjaga dagangan sendirian.
Di tengah kesibukan pasar itu, Maisarah muncul bersama temannya, sama seperti pertemuan sebelumnya. Ia berhenti di depan lapak Murhaban, kali ini tanpa Ramli.
“Assalamualaikum, bang Murhaban,” sapa Maisarah sopan.
Murhaban tersenyum, wajahnya sedikit tegang namun penuh hormat. “Waalaikumussalam, dek Maisarah. Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Ramli sedang tidak di tempat, ia mengantar pesanan ke rumah saudagar.”
Maisarah tersenyum kecil, lalu menunduk sambil menatap kain yang terlipat rapi di meja dagangan. “Ramli memang selalu sibuk. Ia lelaki baik, pekerja keras. Aku sering kagum melihat ketulusannya.”
Murhaban menatapnya dengan mata teduh. “Benar. Ramli memang lelaki baik. Aku pun merasa beruntung bisa bersahabat dengannya.”
Sejenak hening, hanya terdengar hiruk-pikuk pasar. Maisarah menatap Murhaban sekilas, dan di balik tatapan itu, Murhaban merasakan sesuatu yang berbeda. Ada kehangatan yang membuat dadanya berdebar.
Maisarah mengalihkan pandangan, lalu berkata, “Bang Murhaban… kau berbeda dengan kebanyakan pedagang. Cara kau berbicara, tatapanmu, membuat orang merasa dihargai.”
Murhaban tersenyum, namun dalam hatinya ada gelombang yang sulit ia kendalikan. “Maisarah… terima kasih atas kata-kata itu. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi entah kenapa… sejak pertama kali bertemu denganmu, hatiku merasa tenang.”
Maisarah terdiam, wajahnya memerah. Ia menunduk, pura-pura sibuk merapikan selendang. “Tuan Murhaban… jangan bicara seperti itu. Aku takut salah menafsirkan.”
Murhaban menunduk, suaranya lirih. “Aku tidak ingin salah. Aku hanya berkata jujur. Sejak itu… ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku sulit melupakan.”
Maisarah menghela napas pelan. Senyum samar muncul di bibirnya, meski hatinya berkecamuk. Ada sesuatu dalam diri Murhaban yang berbeda dari Ramli—ketenangan, wibawa, dan tatapan yang tulus.
Sejenak, dunia pasar yang riuh seakan menghilang. Hanya ada mereka berdua, berdiri di antara kain dagangan dan hiruk suara manusia. Itulah awal mula benih cinta yang perlahan tumbuh, meski keduanya tahu jalan ini tidak akan mudah—karena di antara mereka ada Ramli, sahabat yang begitu berarti.