Saat membuka mata, Anala tiba-tiba menjadi seorang ibu dan istri dari Elliot—rivalnya semasa sekolah. Yang lebih mengejutkan, ia dikenal sebagai istri yang bengis, dingin, dan penuh amarah.
"Apa yang terjadi? bukannya aku baru saja lulus sekolah? kenapa tiba-tiba sudah menjadi seorang ibu?"
Ingatannya berhenti disaat ia masih berusia 18 tahun. Namun kenyataannya, saat ini ia sudah berusia 28 tahun. Artinya 10 tahun berlalu tanpa ia ingat satupun momennya.
Haruskah Anala hidup dengan melanjutkan peran lamanya sebagai istri yang dingin dan ibu yang tidak peduli pada anaknya?
atau justru memilih hidup baru dengan menjadi istri yang penyayang dan ibu yang hangat untuk Nathael?
ikuti kisah Anala, Elliot dan anak mereka Nathael dalam kisah selengkapnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zwilight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 5 | Mau Putusin Selingkuhan
Beberapa hari berlalu, hampir semuanya berjalan dengan baik sesuai harapan. Nathael mulai dekat dengan Anala, para pelayan juga perlahan mengubah persepsi mereka, begitupun dengan hubungan baiknya dengan sang Mama. Sedangkan Elliot? ya... sepertinya masih agak susah, karena suaminya itu tetap menganggap perubahan Anala sebagai salah satu trik murahan.
Aku akan bikin kamu jatuh cinta lagi sama aku, El...
Tanpa Anala tau bahwa sedetikpun Elliot tak pernah berhenti mencintai istrinya. Mungkin saja rasa cintanya masih tertutup kecewa, mungkin saja rasa kasihnya masih tertutup luka. Siapa yang tau bahwa cinta dapat dibalut luka dan kecewa.
Kendati demikian, ada satu hal yang paling tidak berjalan dengan baik yaitu kenyataan bahwa Yohane masih saja menghubunginya tanpa kenal waktu.
Pagi-pagi sekali ketika Anala seharusnya sibuk menyiapkan kebutuhan anak dan suaminya. Benda pipih yang sengaja diletakkan diatas tempat tidur itu terus berdering tanpa kenal ampun.
"Ya Tuhan, orang gila ini kapan mau berhenti gangguin istri orang sih?!" suaranya frustasi dengan wajah bersungut kesal karena merasa terganggu dengan panggilan di ponselnya.
Anala menggigit jarinya sambil melangkah bolak-balik disekitar tempat tidur. Wajahnya gelisah, hatinya tak tenang. Sementara Elliot diseberang sisi ranjang yang lain terus memperhatikan tingkah istrinya yang semakin aneh.
"Aduhh berisik!!"
Elliot yang sejak tadi sibuk memasang baju mulai merasa risih dengan deringan ponsel yang terus memekak telinga. Tanpa mengalihkan fokusnya pada kemeja yang sedang dikenakan, mulutnya pun angkat bicara. "Lebih baik kamu angkat telfonnya, aku pusing dengerin itu terus dari tadi. Ponsel kamu ganggu waktu tenang ku."
Anala menyipitkan mata sambil berdiri berkacak pinggang menatap Elliot. "Mana ada suami yang nyuruh istrinya angkat telfon pria lain dengan senang hati kayak kamu?"
Elliot terlihat menghela napas, tatapannya tetap datar. "Aku udah nggak peduli lagi soal hubungan kamu sama dia. Aku udah capek nasehatin kamu tapi hasilnya apa?" kini kemejanya sudah terpasang, lengkap dengan kancing di bagian lengan yang menelisik tepat kedalam lubangnya.
Matanya beralih pada Anala, rahangnya menegang persis seperti menahan sesuatu dihatinya. "Kamu tetap nggak berubah! kamu tetap nggak mau ninggalin dia."
Anala terpaku membisu, membiarkan seluruh fakta menghujam titik terdalam dihatinya. Ia hanya bisa menunduk sambil mengepalkan tangan dalam diam.
Sementara itu, Elliot beralih mengambil dasi dari laci wardrobe. Ia memilih dasi paling cocok untuk dipakai kali ini. Saat ia akan melilitkan dasi itu, tangan Anala lebih dulu mengambilnya dari tangan Elliot. "Aku aja yang pasangin dasi kamu."
Wanita itu mulai berjinjit untuk memasangnya pada kerah kemeja Elliot dengan gerakan paling hati-hati. "Kamu jadi tambah tinggi banget, aku makin susah nyamain tinggi kita."
Mata Elliot sekilas melebar sebelum berganti jadi datar. "Buat apa kamu bahas itu sekarang? apa kamu mulai berpikir kalau tingginya Yohane lebih ideal?"
Anala menghentikan gerakannya, lalu menyerungut menatap Elliot. "Apaan sih, orang lagi nggak mau berantem. Heran banget nggak pernah berhenti jadi cowok nyebelin."
Anala bicara dengan jarak yang dekat, hingga Elliot terpaksa menolehkan kepalanya ke arah lain sambil berdehem pelan. Daripada meladeni ucapan Anala sebelumnya, Elliot lebih memilih mengganti topik pembicaraan ke arah lain.
"Tumben kamu nggak memprioritaskan selingkuhan diatas suami sendiri? lagi berantem?" suara itu jelas sengaja mengejek, alisnya bahkan terangkat satu.
Anala tetap telaten memasangi dasi, matanya fokus pada benda panjang itu. "Aku kan udah bilang kalau sekarang aku mau berubah. Lagipula aku juga udah ganti ponsel, tapi entah kenapa dia masih bisa gangguin aku kayak gini," bicaranya tetap dengan nada santai, sedangkan tangannya sibuk bekerja.
Elliot hening sejenak. Ia selalu menahan napas setiap kali Anala memasang paksa dasi pada kerah bajunya. Istrinya yang pendek itu sampai susah payah berjinjit agar bisa meraih lehernya. Elliot yang peka pun sengaja menunduk agar istrinya itu tidak kesulitan.
garis bibirnya sedikit melengkung sambil bicara dalam diam Dasar cewek semampai (se-meter tidak sampai)
Matanya mulai fokus pada wajah Anala. Wajah yang dulu selalu memandangnya penuh cinta hingga suatu ketika berubah begitu saja. Perlahan matanya kembali berubah sendu. "Percuma ganti hp kalau kenyataannya dia udah tau semua nomor kamu."
Damn... kalimat itu sederhana, tapi berhasil menyentil seluruh dosa Anala. Wanita itu masih berusaha tenang, tangannya memperbaiki letak dasi suaminya agar simetris dan juga rapi.
Ia menarik napas dalam sambil menyemangati batinnya, Jangan tersinggung Anala, wajar kalau Elliot belum bisa percaya.
Setelah menghela napas panjang, Anala tersenyum ramah hingga matanya membentuk bulan sabit Tangannya yang lentik diletakkan dengan sensual dikedua bahu Elliot, matanya menatap dengan intens, ia menarik dasi itu hingga Elliot sedikit terdorong ke depan. kini jarak diantara mereka hampir tak ada.
Anala membisik sensual ditelinga Elliot. "Haruskah aku cium bibir kamu supaya kamu percaya kalau aku sama sekali nggak tertarik sama pria jelek itu?"
Mata Elliot membelalak, tubuhnya seolah dipaku hingga tak bisa bereaksi layaknya patung. Ada jeda yang ia ambil dalam tarikan nafas panjang. Kedua mata itu saling menatap dengan jarak dekat, pantulan wajah terlampir dikedua sisinya.
"Jangan gila, Anala!"
"Kenapa gila? kita bahkan udah punya anak." dia memiringkan kepalanya, tangannya dilingkarkan di leher Elliot. "Masa kamu canggung cuma karena ucapan remeh kayak gitu?"
Mata Elliot membelalak, nafasnya seperti berhenti sesaat. Namun tiba-tiba matanya berubah sendu ketika ia ingat ucapan Anala beberapa tahun yang lalu, "Mulai detik ini jangan pernah sentuh aku lagi!"
Kalimat yang berhasil membuatnya hancur dalam satu tarikan napas. Cahaya matanya meredup, ingatan itu berhasil memadamkan tensi yang mulai bangun dari nalurinya.
Sambil menolehkan kepala Elliot menjauhkan tubuh Anala darinya. Ia tak berani menatap, karena apapun tentang Anala masih jadi hal paling mendebarkan dihatinya. "Berhenti bertingkah kekanakan, Anala! jangan melewati batas yang kamu bangun diantara kita."
Matanya tegas, rahangnya mengeras. Anala bisa lihat urat lehernya menegang. Elliot memilih mundur dan mengambil jarak sejauh mungkin dari istrinya. Ia memperbaiki dasinya yang mulai longgar, lalu meraih kunci mobil yang tergelatak diatas nakas. "Aku berangkat kerja dulu!"
Tangan Anala mengepal kuat. Elliot membuat usahanya seolah tak berarti apa-apa, padahal ia sudah berusaha sekeras mungkin. "Kamu mau berangkat gitu aja?" suaranya ditahan agar tak meledak, ia menatap Elliot yang terlihat datar, lalu berusaha mendekat dan menghalangi langkah Elliot.
Pria itu mengernyit hingga keningnya berkerut. "Apalagi yang kamu mau?" tak ada keramahan dari nada suaranya.
Anala mengepalkan tangan lalu menunjuk Elliot dengan kasar. "Suami macam apa yang berangkat kerja tanpa ngasih kecupan kening buat istrinya?!"
Elliot terdiam, tak lama kemudian bibirnya menyunggingkan smirk sarkas. "Emangnya selama ini kamu masih anggap aku suami kamu?"
Keadaan pun makin panas. Anala menggeleng tak percaya dengan kata-kata yang terlontar dari mulut suaminya.
"Elliot... kamu—"
"Aku nggak mau berdebat karena hal kayak gini. Lebih baik kita jalani hari seperti biasanya, kamu yang sibuk dengan Yohane dan aku yang cukup bahagia dengan Nathael. Tolong sabar sedikit lagi sampai Nathael bisa nerima perceraian kita." itu bukan sekedar basa-basi melainkan hal yang ditekankan dengan pasti.
Elliot melewati Anala dengan langkah berat, jasnya belum terpasang sempurna—hanya disampir pada lengan kirinya. Anala pun terdiam membisu, jantungnya seperti ditusuk sembilu. Pedih dan terasa menyakitkan. Tatapannya bergetar, tubuhnya tak berani bertanya lebih jauh karena itu mungkin terasa menyakitkan bagi Elliot. Wanita itu menggigit bibir bawahnya, ingin sedikit melampiaskan rasa frustasinya.
Namun tak bisa, amarah itu itu akhirnya meledak menjadi luapan kata. "Memangnya kamu pikir aku mau hubungan kita kayak gini? dikasih tau pun kamu nggak akan percaya!" suaranya bergetar, air mata mulai jatuh disekitar pipinya. Anala yang cengeng dan gampang mewek itu kini telah kembali. "Aku benar-benar nggak merasa pernah ngelakuin itu, Elliot!"
Entah Elliot mendengarnya atau tidak, yang pasti tak ada respon yang diberikan. Langkahnya tetap terdengar menjauh, bahkan semakin jauh.
Kini, Anala duduk dilantai sambil memangku kedua lututnya. Air matanya jatuh, dadanya terasa sesak. Perkataan Elliot menusuk hatinya, bukan karena ia merasa dijelekkan, melainkan karena pria itu pun mengatakannya dengan tatapan yang penuh luka. Mereka seperti dua orang yang saling menggenggam luka dihatinya.
"Aku bukan orang yang seperti itu." lirih Anala kemudian, tangannya menghapus jejak air mata yang perlahan terus menumpuk. "Kamu pikir aku nggak frustasi setelah berada diingatan kacau kayak gini? ini juga sulit buat aku, El..."
Anala memilih bangkit dan menelungkupkan tubuhnya ke atas ranjang. Ia membenamkan wajahnya pada bantal dan menangis karena frustasi. "Aku juga nggak mau hidup tapi nggak ingat apa-apa kayak gini!"
Kini di kamar itu hanya tersisa Anala dan juga ponsel sialan yang tidak berhenti berdering sejak tadi. Berapa kali pun ia tolak, si penelepon tetap tak jera, seolah tak punya kerjaan lain selain mengganggu istri orang.
Aku nggak bisa biarin ini terus-menerus, aku harus temui Yohane!
Ia bangkit dari tidur tengkurapnya lalu meraih ponsel yang bergetar disebelahnya. Sebelum menekan ikon hijau itu, ia lebih dulu mengambil napas panjang.
"Halo Yohane!" suaranya tak ramah sama sekali.
Namun jawaban diseberang malah lembut, kontras dengan suaranya. "Sayang, ada apa? semingguan ini aku telfon nggak pernah diangkat. Sebenarnya ada apa? kamu berantem lagi sama suami bodoh kamu itu?"
Anala menyunggingkan sedikit ujung bibirnya, terlampau mual dengan panggilan Yohane. "Can you stop call me, Sayang?" ia menjeda kata, matanya tiba-tiba tertuju pada foto pernikahan yang terpampang jelas di dinding kamar tidur mereka. Senyumannya dan Elliot terlihat tulus, penuh cinta.
"Jangan beraninya kamu ngatain suamiku itu bodoh! kamu yang bodoh!"
Yohane tertawa renyah diseberang sana. Entah kenapa malah terdengar seperti orang idiot yang tidak paham suasana. Anala menyipitkan matanya, heran—disinisin kenapa malah bahagia?
"Kenapa kamu ketawa?"
"Abisnya kamu lucu banget, ngambek ya karena kita nggak ketemuan seminggu ini?"
"Ngambek apanya? malah aku bersyukur banget kalau kamu nggak hubungin aku lagi."
Pria itu terdengar menghela napas dengan kasar, Anala tebak dia pasti merasa heran. "Sayang, kamu kenapa sih? kamu merasa bersalah karena nggak jadi tranfser uang 20 juta yang minggu lalu aku minta?"
"Apaan sih? kamu kayak orang gila," sanggahnya makin tegas. Mau gimana pun Anala bicara sinis, dia tetap kokoh.
Tapi jawaban dari Yohane makin membuatnya gila. Seolah lagi ngobrol sama tembok. "Nggak apa-apa sayang, aku udah dapat uangnya kok jadi kamu nggak perlu merasa bersalah." Yohane mengatakan hal itu seolah sudah jadi kebiasaan baginya. "Oh iya kapan kamu kesini lagi? aku udah kangen banget sama kamu."
Anala sudah tak tahan lagi, ia meremas sprei yang kini diduduki dan dalam hitungan ketiga amarahnya pun meledak. "Berhenti bilang kangen dengan mesra sama adik iparmu sendiri. Dasar gila! kamu itu kakaknya Elliot, Yohane stress!"
Suasana jadi hening sejenak sebelum akhirnya suara Yohane kembali membuatnya muak.
"jangan marah ya sayang, nanti siang kita ketemu. Aku udah siapin hadiah buat kamu," suaranya tetap tenang tak terpengaruh sama sekali. Kepercayaan dirinya malah makin meningkat. Terbukti dari salam rindu yang dia berikan diakhir obrolan. "Dah sayangkuu, i Miss you..."
Tepat saat itu juga, Anala mematikan telfonnya dan membanting ponsel itu ke atas tempat tidur. Ia mengumpat cukup keras. "Dasar laki-laki sialan!!"
Anala sempat membaca beberapa pesannya dengan Yohane selama beberapa tahun ini, dan hal itu sangat mencengangkan. Benar kata Mama, antara Yohane dan dia memang sudah merencanakan pernikahan, namun hal itu masih tertunda karena Elliot enggan menceraikan Anala.
Aku harus selesaikan ini secepatnya. Aku nggak mau Yohane terus-terusan menganggu hidupku, aku harus temui dia dan akhiri hubungan gila ini!